PilPres: Ujian Kecerdasan Emosi


Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sikap dan perilaku kita, didorong oleh perasaan (emosi) sebagai penekan tombol “enter” (eksekutornya). Memang betul, rasio dan pikiran kita terus bercampur aduk dengan perasaan di dalam proses kita membuat penilaian, kesimpulan, maupun keputusan. Tetapi, perasaan tetaplah sang eksekutor akhir.

Itu sebabnya, walau rasio kita berkata “ini benar” tetapi ketika hati kita merasa “ada yang salah”, kita tetaplah ragu-ragu untuk bertindak, karena kita tidak memiliki sang eksekutor (yaitu emosi kita) untuk menekan tombol “action”.

Hal ini sudah diteliti dan diperkuat dengan sebuah kejadian dimana seorang pasien sakit ayan yang menjalani operasi dan ketika bagian syaraf tertentu di otak yang berhubungan dengan emosi diputus, maka pasien sangat kesulitan untuk membuat keputusan, bahkan untuk aktifitas sesederhana memasang kancing baju.

Masalahnya, siapa yang berperan untuk mengendalikan si emosi ini? Jika dia yang akan menjadi eksekutor pendorong semua tindakan kita, bukankah berbahaya jika emosi ini dibiarkan liar tak terkendali, atau dikendalikan oleh hal-hal di dalam diri kita, yang tidak kita kenali dan ketahui? Atau bahkan dikendalikan oleh orang lain?

Inilah yang sering terjadi. Banyak orang stres ketika ditanya, “Kenapa kamu stress?”, mereka menjawab “tidak tahu, pokoknya stres aja…”. Banyak orang melakukan bermacam-macam hal karena dorongan perasaan mereka tanpa tahu mengapa perasaan itu bisa muncul dan entah sejak kapan perasaan itu menguasai mereka.

Dalam berbagai seminar tentang Kecerdasan Emosi (EQ), saya berulang-ulang menyatakan bahwa mayoritas manusia, hidup dengan mode “auto-pilot”. Mereka bagaikan robot organik, yang hidup setiap hari hanya untuk menjalankan program tindakan-tindakan yang sudah disodorkan oleh perasaan-perasaan yang menguasai mereka.

Contoh, setiap kali berada dalam situasi yang berisi orang-orang yang tak Anda kenal semuanya, apa yang akan Anda lakukan? Beberapa orang biasanya akan mengajak kenalan orang di sampingnya. Beberapa orang memilih duduk di pojokan menyendiri. Beberapa orang berkeliaran membagi-bagi kartu nama sambil “soak akrab sok dekat”. Nyaris semua perilaku itu terjadi “begitu saja” seperti sebuah program yang di’enter.

Kita memang sadar saat melakukannya. Kita tidak pingsan. Tapi, sebenarnya pikiran tidak sadar kitalah yang melakukannya. Program-program otak kitalah yang melakukannya. Itu sebabnya saya menyebutnya sebagai robot organik.


APA HUBUNGANNYA DENGAN PILPRES?

Saya mengamati, dalam suasana Pilpres ini, banyak orang yang bersikap dan bertindak, karena dorongan-dorongan perasaan yang sangat kuat sekali. Dalam berkampanye, dalam berorasi, dalam adu argumentasi di sosmed, dalam berdebat, dalam deklarasi dan konferensi pers, maupun dalam percakapan informal di warung dan kafe-kafe.

Ada yang digerakkan oleh dorongan emosi kecintaan pada negara, ada yang didorong oleh emosi kemarahan pada ketidakadilan, ada yang didorong oleh emosi takut akan kerusuhan, ada yang didorong oleh emosi kebanggaan sebagai pembela negara. Bermacam-macam sekali, tetapi tidak satupun yang bergerak tanpa dorongan emosi.

Serasional apapun pembelaan, penjelasan, analisa, dan pembenaran yang mereka ungkapkan. Pada akhirnya, di hulu dan akarnya, selalu ada sebuah pemicu emosional yang membuat semuanya benar-benar terlaksana dalam bentuk perkataan, tindakan, dan sikap.

Sekarang pertanyaan lebih jauhnya lagi. Apakah perasaan-perasaan yang mendorong itu, adalah hasil dari program internal Anda sendiri yang Anda juga tidak tahu kapan, dimana, dan kenapa terbentuknya. ATAU, perasaan yang mendorong Anda adalah HASIL PEMROGRAMAN DARI PIHAK TERTENTU? ATAU dorongan perasaan itu adalah hasil pemrograman dari kesadaran Anda sendiri?

Tidak mudah memang membedakan ketiganya.

Perasaan manusia begitu mudah dimanipulasi. Jika Anda belajar tentang mekanisme kerja otak manusia, Anda akan mengerti betapa banyaknya celah yang bisa dipakai untuk mem’program perasaan seseorang dalam waktu singkat dan efektif.

Itu sebabnya, dalam Kecerdasan Emosi (EQ), kemampuan dasar yang paling mendasar yang akan selalu diajarkan di awal adalah: SELF AWARENESS, kesadaran diri. Baru kemudian SOCIAL AWARENESS, kesadaran akan lingkungan sekitar (baik manusia lain maupun alam dan kehidupan).

Bagian AWARENESS ini mengajarkan kepada kita untuk selalu AWAKE (bangun), dan memeriksa, apakah perkataan, sikap, dan perilaku saya ini memang adalah hasil pilihan sadar saya dan bukan karena sedang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan celah emosional saya?

Bayangkan kalau ada orang yang memiliki “lubang emosional” di rasa berharga, dan dia mencoba “menambalnya” dengan mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Lalu ada orang yang bisa membaca gejala itu dan kemudian “memanipulasi” orang itu dengan memberi “makan” pujian dan sanjungan untuk kemudian menanamkan “program-program” perasaan tertentu, sehingga menghasilkan tindakan tertentu. Inilah yang saya ceritakan tadi, orang ini baru saja menjadi korban manipulasi emosi dan semua perbuatannya hanyalah hasil dari pemrograman dari orang lain.

Kesadaran diri adalah sebuah bentuk intervensi terhadap “program-program” yang coba ditanamkan kepada orang lain. Cara paling simpel yang selalu saya ajarkan di kelas EQ adalah: PAUSE. Coba berhenti dulu sebelum berucap atau bertindak (atau membuat status sosmed!).

Lalu kemudian bertanyalah pada diri-sendiri, benarkah ini pilihan sadar saya? Atau jangan-jangan ini kebiasaan berulang saya setiap kali bertemu situasi yang semacam ini? Atau yang lebih bahaya, jangan-jangan ada pihak tertentu yang ingin saya merasa seperti ini dan bersikap seperti ini?

Andaikan, seluruh rakyat Indonesia mengerti konsep dasar dari Kecerdasan Emosi (EQ) ini, tentu kegaduhan pasca Pilpres tidak akan seriuh sekarang (walaupun mungkin juga jadi “kurang seru” yah…).

Tapi sayang, meski istilah Kecerdasan Emosi (EQ) sudah didengungkan dimana-mana, sudah banyak orang yang (entah benar-benar memahami atau tidak) mengajarkannya dimana-mana. Tapi ternyata, masih sangat sedikit yang benar-benar memahami bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan, terutama di masa-masa pasca Pilpres yang penuh dengan “aksi pemrograman” masif seperti saat ini.

Semoga artikel sederhana ini bisa menjadi semacam “wake up call” bagi kita semua, bahwa kita yang seharusnya menjadi tuan atas perasaan kita sendiri. Saat menulis ini pun, saya terus mencoba bertanya pada diri-sendiri, apa yang menggerakkan saya untuk menulis topik ini, apakah emosi saya sudah terkena “virus pemrograman” pihak tertentu?

Lebih jauh lagi, apa dampak tulisan ini kepada orang lain dan suasana keseluruhan?

Bukankah kita semua belajar agama dan belajar ilmu pengetahuan, supaya menjadi orang yang lebih bijaksana dan memiliki pengendalian diri? Mari kita mulai dengan mengambil kendali atas perasaan dan tindakan kita sendiri. Marilah kita menjadi orang-orang yang sadar diri. Marilah menjadi cerdas emosi.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Apa Kecerdasan Emosi Itu?

Pada tahun 1994, majalah Time memuat ulasan panjang mengenai EQ (Emotional Quotient). Ulasan itu berusaha menunjukkan fakta-fakta yang menguatkan dugaan bahwa ternyata untuk berhasil dalam kehidupan, EQ (atau Kecerdasan Emosi) memainkan peranan yang lebih penting dari IQ (kecerdasan Intelektual).

Sejak saat itu, Kecerdasan Emosi mulai menjadi populer dan banyak perusahaan maupun organisasi mulai sadar untuk mengembangkan EQ karyawannya.

Di Indonesia sendiri, istilah EQ walaupun sudah banyak didengar, namun sayang pemahaman orang mengenai EQ sendiri masihlah sangat minim. Paling-paling, orang hanya mengetahui bahwa Kecerdasan Emosi adalah sama dengan pandai mengelola emosi. Namun, apa yang dimaksud dengan “pandai mengelola emosi” itu sendiri belumlah dipahami dengan benar.

Masih sangat banyak orang yang mengira bahwa EQ berkaitan dengan soal “marah-marah”. Banyak peserta pelatihan saya yang datang di sesi pertama dengan wajah tak senang lantaran dia merasa perusahaannya cukup konyol mengirimkan dia mengikuti training EQ. Dia merasa perusahannya “menuduhnya” tukang marah sehingga mengirimnya untuk belajar EQ.

Kecerdasan Emosi bukan cuma sekedar ilmu untuk mengendalikan kemarahan. Kecerdasan Emosi juga bukan ilmu soal menjadi bersimpati dengan orang lain. Dengan pemahaman yang salah seperti ini, maka banyak orang berpikir bahwa Kecerdasan Emosi (EQ) adalah ilmu untuk menjadi “orang baik” (nice guy). Padahal, itu adalah pemahaman yang jauh menyimpang dari pengertian yang sesungguhnya.

Sedikitnya orang yang benar-benar mendalami Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia, ditambah orang-orang yang “sok tahu” serta mengajarkan EQ secara serampangan, menjadikan Kecerdasan Emosi (EQ) yang tadinya sangat powerful dan luar biasa dalam menolong hidup kita untuk sukses, menjadi dianggap tak penting dan “cuma gitu aja” pengaruhnya.

 

JADI APA SEBENARNYA KECERDASAN EMOSI ITU?

Sudah ada banyak buku yang menulis soal EQ, tapi seringkali definisi mereka soal Kecerdasan Emosi malah bisa rumit dan membingungkan. Maka, di artikel ini, saya ingin menjelaskan sebuah definisi yang mudah dan sederhana.

Kecerdasan Emosi adalah kemampuan untuk mengerti perasaan apa yang terjadi dalam diri seseorang, dan bisa memakai perasaan itu untuk menghasilkan keputusan/tindakan yang lebih produktif.

Contohnya. Banyak orang tidak sadar bahwa dirinya stres. Banyak orang sadar dirinya stres tapi tidak tahu harus di’apa’kan rasa stres itu. Banyak orang tidak mengerti kenapa dia bisa merasa sedih tiap kali diabaikan. Banyak orang tidak sadar dia membeli sesuatu karena perasaannya lagi tidak baik. Banyak orang tidak mengerti bahwa lawan bicaranya sudah bosan mendengar dia ngomong. Banyak orang tidak mengerti bagaimana berhadapan dengan orang yang gampang marah. Dan masih panjang lagi daftarnya…

Semua contoh di atas adalah contoh bagaimana EQ dibutuhkan dalam hidup kita.

Bahkan, berbagai riset sahih sudah membuktikan bahwa Kecerdasan Emosi (EQ) sangat menentukan kualitas leadership, menaikkan tingkat penjualan para salesman, melipatgandakan kinerja dan produktifitas kerja karyawan, membuat customer service lebih efektif, menaikkan angka keberhasilan pendidikan, mempermudah komunikasi dan terjadinya kerjasama tim, serta secara personal, EQ menolong terciptanya pernikahan yang lebih bahagia dan kehidupan pribadi yang lebih memuaskan.

Apalagi di era digital sekarang ini, EQ lebih-lebih menjadi sebuah kebutuhan mutlak untuk dikuasai karena hasil riset menunjukkan banyak orang menjadi lebih mudah depresi dan moodnya terganggu setelah berselancar di media sosial. Itu sebabnya muncul istilah “Digital Emotional Quotient”, yaitu sebuah ilmu yang membahas soal bagaimana menerapkan EQ untuk kehidupan bersosialisasi dalam dunia digital.

Perasaan-perasaan kita sangatlah menentukan keputusan-keputusan kita. Tanpa kesadaran dan pengelolaan yang cerdas, maka perasaan kita bisa “liar” tak terkendali dalam mengarahkan kita kepada keputusan-keputusan yang tidak produktif.

Ini juga alasan mengapa World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai 1 dari 10 kemampuan yang mutlak wajib dikuasai di tahun 2020.

Sudahkah Anda memahami soal Kecerdasan Emosi ini? Sudahkah Anda menguasainya? Sudahkah tim Anda dan organisasi Anda memahami pentingnya EQ?

Saatnya meng’upgrade diri. Mulailah belajar Kecerdasan Emosi (EQ) dari sumber yang benar. Mulai dari membaca artikel-artikel di website ini dan follow akun intagram saya – @josuaiwanwahyudi (saya sering posting berbagai informasi tentang EQ). Supaya Anda menjadi lebih efektif dan produktif dalam mengambil keputusan.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Burnout Karena Kerjaan?

Kadang-kadang (dan bagi beberapa orang seringkali), kondisi pekerjaan bisa memberikan kita tekanan yang terus-menerus dan membuat kita menjadi kewalahan. Kelelahan secara mental dan kondisi “burn out” bisa memberikan berbagai ancaman mulai dari gangguan kesehatan, hingga stabilitas emosional dan mood yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi produktifitas kinerja dan cara kita berhubungan dengan orang lain.

Kondisi burn out seringkali dianggap wajar oleh para pekerja profesional di perkotaan dan dianggap memang bagian dari kehidupan sehari-hari yang harus dijalani. Inilah yang membuat para pekerja di perkotaan modern hari ini, jarang menyadari bahwa kesehatan mental dan emosional mereka sudah terganggu.

Bagaimanakah menghadapi kondisi burnout ini?

Setidaknya ada 3 hal sederhana yang bisa Anda lakukan saat Anda mengalami keadaan yang membuat Anda kewalahan dan burnout secara mental. Kecerdasan Emosi (EQ), menawarkan 3 alternatif praktis berikut ini:

 

KEJUTKAN DIRI ANDA

Apa maksudnya?

Begini, seringkali seseorang menjadi burnout karena ia membiarkan dirinya berada dalam pusaran tekanan rutinitas yang terus-menerus, tanpa ada kesempatan untuk “keluar” sejenak dari pusaran tersebut. Ini pula yang umumnya terjadi ketika kita sedang “asyik” mengerjakan sesuatu sampai lupa makan dan jeda.

Bahkan, meskipun kelihatannya kita sedang mengerjakan sesuatu yang kita sukai, tetap saja tekanan yang diberikan kepada mental, pikiran, dan jiwa Anda berjalan secara terus-menerus tanpa henti. Apalagi, kalau Anda melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak Anda sukai, maka efek tekanannya akan meningkat berlipat-lipat.

Kondisi ini yang kemudian bisa mengakibatkan Anda menjadi burnout.

Maka, Anda perlu memberikan “kejutan” pada diri Anda dengan melakukan sebuah “intermezzo” yang sama sekali berbeda. Ijinkan diri Anda keluar dari lingkungan pusaran yang sedang keruh tersebut. Tidak peduli sesingkat apapun, sebuah intermezzo kejutan, akan sangat menolong untuk me”refresh” kembali kapasitas mental Anda.

Itu sebabnya, saya menyarankan untuk Anda melakukan hal-hal yang sama sekali berbeda, pergi ke tempat-tempat yang sangat berbeda, bertemu dengan orang-orang di luar pekerjaan dan membicarakan berbagai hal berbeda. Bahkan, memakai kostum yang di luar kebiasaan atau mengubah tempat kerja di luar rutinitas saja, juga bisa memberikan pengaruh nyata.

.

>> Perlu Dibaca: “Bagaimana Menghadapi Bos Baperan?” <<

.

LATIHAN PELARUTAN

Apa lagi maksudnya?

Begini, setiap tekanan mental yang kita terima secara harian, sebenarnya perlu dilarutkan, diendapkan, lalu “didaur ulang” hingga tidak menyisakan efek-efek lagi kepada diri kita.

Masalahnya, kita hidup di kondisi budaya masyarakat modern yang tidak memiliki kesadaran sama sekali akan situasi ini. Kita menjalani hari-hari kita dengan begitu sibuknya, bahkan kita bisa tidur sambil dalam keadaan memikirkan pekerjaan kita (atau malah tidur di meja kerja kita?!).

Ini yang membuat tekanan-tekanan mental yang kita terima tiap hari tidak ter”daur ulang” dengan baik dan keesokannya hari, kita tidak memulai dari titik fresh, melainkan masih membawa beban kemarin. Dengan terus bertambah setiap hari, maka hanya tinggal tunggu waktu sampai beban itu berlebihan dan kita masuk dalam keadaan kewalahan atau burnout.

Maka, kita perlu berlatih untuk memiliki waktu-waktu “penguraian”. Ini bisa dilakukan melalui meditasi, memiliki waktu teduh dimana kita bisa mendengar musik sambil menenangkan pikiran, atau menikmati alam sambil rileks, atau melakukan olahraga, atau hanya sesimpel melakukan rileksasi 10 menit sebelum tidur.

Intinya, Anda harus membiasakan diri, memiliki waktu teduh setiap hari, terutama sebelum Anda tidur atau sesudah Anda mengakhiri semua kesibukan rutin Anda.

Sesi “penguraian” atau “daur ulang” ini sangatlah penting untuk membuat Anda selalu dalam keadaan siap “tempur” keesokan harinya dan memastikan Anda memiliki kualitas istirahat yang maksimal di malam harinya.

.

>> Perlu Dibaca: “Ternyata Marah Itu Boleh?” <<

.

REWARD DIRI ANDA

Setiap kali Anda menyelesaikan dan melewati sebuah fase yang “berat” secara mental, belajarlah untuk menghadiahi diri Anda sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan.

Misalnya, setelah melewati sebuah project yang sangat melelahkan atau ketika Anda sudah menyelesaikan sebuah masalah tertentu yang menyita pikiran, hadiahi diri Anda sendiri dengan apa yang memang benar-benar bisa menyenangkan Anda.

Sisihkan sebagian waktu dan uang Anda untuk momen-momen seperti ini.

Mengapa? Karena tubuh Anda akan belajar bahwa sebuah fase yang berat akan berujung pada sesuatu yang manis, sehingga di kemudian hari ketika Anda berhadapan dengan situasi berat lagi, pikiran bawah sadar Anda akan menolong Anda untuk mengeluarkan daya tahan terbaik Anda karena mengetahui akan ada “reward” di balik situasi berat yang sedang dihadapi.

 

Setidaknya 3 tips sederhana ini akan menolong Anda melewati masa-masa burnout dalam hidup Anda. Selamat menjadi cerdas emosi!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Apakah Saya Cerdas Emosi?

Istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient – EQ), menjadi populer di tahun 1994 setelah seorang jurnalis bernama Daniel Goleman mempublikasikan kumpulan riset dan jurnal serta menuliskannya dalam sebuah buku berjudul “Emotional Intelligence”.

Kini, EQ menjadi sebuah kemampuan penting yang diakui oleh banyak ahli di berbagai bidang, sebagai sebuah kemampuan wajib bagi siapapun yang ingin hidupnya berhasil. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi / Emotional Quotient, sebagai salah satu dari 10 kemampuan wajib yang harus dimiliki untuk mampu menjadi berhasil di tahun 2020.

Masalahnya, meski istilah Kecerdasan Emosi / EQ ini sudah banyak didengung-dengungkan dimana-mana, tetapi sayangnya masih sedikit orang (terutama di Indonesia) yang benar-benar paham apakah yang dimaksud dengan Kecerdasan Emosi / EQ ini.

Dalam buku Kecerdasan Emosi yang saya tulis berjudul “E-Factor”, saya menyederhanakan pemahaman mengenai EQ menjadi : “Kemampuan untuk menyadari dan mengelola perasaaan diri-sendiri maupun orang lain untuk memberikan hasil yang lebih produktif”.

Poin utamanya, yang menjadi dasar dari kemampuan Kecerdasan Emosi ini adalah:

  • Apakah kita MENYADARI pola-pola perasaan yang muncul dari dalam diri kita maupun orang lain?
  • Apakah kita mampu MENGELOLA atau melakukan sesuatu dengan perasaan yang sudah kita kenali itu?
  • Apakah hasil pengelolaan kita memberikan dampak yang lebih PRODUKTIF?

.

EMOTIONAL AWARENESS

Misalnya, ketika kita sedang stres, apakah kita MENYADARI bahwa kita sedang stres dan memahami seperti apa perilaku kita saat stres. Atau, ketika ada orang lain yang sedang tidak nyaman dengan cara berbicara kita, apakah kita MENYADARI bahwa orang tersebut merasa tidak nyaman dengan kita?

Inilah yang disebut dengan tahap KESADARAN, yang menjadi dasar paling awal dari kemampuan Kecerdasan Emosi / EQ ini.

Dalam berbagai keadaan, kita menjumpai masih banyak orang yang tidak sadar bahwa ia sedang memiliki perasaan tertentu ataupun tidak peka dengan perasaan orang lain. Ketika kita tidak memiliki kesadaran ini, akan ada banyak masalah komunikasi yang bisa terjadi dan merusak hubungan kita dengan orang lain.

.

EMOTIONAL MANAGEMENT

Langkah kedua setelah menyadari adalah memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dalam menanggapi perasaan yang ada.

Misalnya, ketika kita tahu bahwa atasan kita selalu terganggu kalau ada orang yang selalu memberi alasan setiap kali melakukan kesalahan. Apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda cuma sekedar tahu lalu membiarkannya? Apakah Anda malah mengeluh dan kesal karena itu? Apakah Anda cuek saja dan tidak peduli?

Sikap Anda dalam meresponi perasaan orang lain menjadi ukuran apakah Anda memiliki Kecerdasan Emosi / EQ yang baik atau tidak.

.

>> Baca juga: “Ternyata Marah Itu Boleh?” <<

.

PRODUCTIVE RESULT

Akhirnya, dari hasil sikap dan respon pengelolaan yang Anda lakukan, apakah hasilnya menjadi lebih produktif? Atau setidaknya, apakah hasilnya memang merupakan sesuatu yang sudah Anda pilih untuk terjadi seperti itu?

Orang yang memiliki Kecerdasan Emosi / EQ adalah orang yang tidak mudah tertekan oleh situasi di sekitarnya karena dia selalu memiliki kemampuan untuk bersikap dan mengelola respon-responnya terhadap apa yang ia alami. Tidak heran, riset membuktikan bahwa orang-orang yang karir dan kehidupannya sangat bagus, mayoritas memiliki tingkat EQ di atas rata-rata.

Latihlah Kecerdasan Emosi / EQ Anda. Untuk langkah sederhana, Anda bisa mulai menggunakan “Panduan 7 Hari Cerdas Emosi” yang saya buat dan bisa Anda download secara gratis. Dengan menggunakan panduan ini, Anda akan meletakkan dasar yang baik untuk meningkatkan Kecerdasan Emosi / EQ Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Menghadapi Bos “Baper”


Sebagaimana uniknya setiap manusia, begitu pula dengan para bos / atasan / pemimpin di kantor kita. Jika Anda memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bekerja di berbagai organisasi, dan sempat memiliki lebih dari 5 atasan, mungkin Anda mengerti betapa variatifnya seorang “atasan”.

Diantara sekian tipikal seorang bos, salah satu yang mungkin bisa Anda jumpai adalah jenis atasan yang mudah “Baper” (bawa perasaan). Baper adalah istilah masa kini untuk menggambarkan seseorang yang sensitive perasaannya dan mudah dipengaruhi oleh kondisi perasaannya tersebut.

Istilah Baper sebenarnya banyak diberikan kepada anak-anak muda yang mudah menjadi sensi / “mellow”. Bahkan mereka bisa menjadi baper dengan tiba-tiba, atau karena alasan-alasan yang di luar dugaan (yang kadangkala menurut kita sepele). Namun, kasus baper ini rupanya juga bisa terjadi pada bos kita di kantor.

Jika kebetulan Anda menghadapi bos yang mudah baper, maka artikel ini akan memberikan kepada Anda beberapa tips praktis agar Anda tetap bisa bekerja secara produktif dan tetap bisa berkoordinasi secara efektif dengannya.

 

KENALI POLANYA

Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mengamati dan mengenali seperti apa pola baper yang sering terjadi pada bos Anda. Bentuk-bentuk kalimat seperti apakah yang bisa berpengaruh besar, sikap dan perilaku seperti apa, atau kejadian-kejadian apa yang bisa membuat bos Anda berubah ‘mood’nya.

Misalnya, ada bos yang menjadi sensi setiap kali kita kelupaan memberitahu tindakan-tindakan yang sudah kita eksekusi . Padahal, mungkin Anda mengambil tindakan itu karena instruksi yang pernah dia berikan sebelumnya. Namun, bos Anda berharap sebelum Anda mengeksekusi, Anda memberikan laporan dan meminta ijinnya lebih dulu. Ada bos yang bisa menjadi baper ketika ia merasa Anda tidak menginformasikan tindakan Anda dan terkesan “melangkahi” dia.

Mengenali pola-pola orang lain adalah bagian dari kemampuan Kecerdasan Emosional (EQ). Ketika Anda mengenali pola-pola perilaku atasan Anda, maka Anda akan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap tindakan-tindakan yang akan Anda lakukan kepada atasan Anda. Sehingga Anda mampu memilih sikap dan respon yang terbaik dalam situasi apapun.

 

JANGAN IKUT BAPER

Salah satu kesalahan terbesar yang terjadi adalah ketika mood atau perasaan bos kita sedang “tidak bagus”, kita ikut-ikutan menjadi terganggu. Jika itu yang terjadi, biasanya respon-respon kita menjadi tidak bagus. Bukan hanya respon kepada bos kita, tetapi juga bisa sampai mengganggu respon kita kepada rekan kerja, bawahan, dan bahkan teman dan kenalan lain di luar kantor.

Jika kita belajar soal Kecerdasan Emosional (EQ), kita akan mengerti bahwa emosi adalah energi. Ketika orang lain sedang menunjukkan emosi / mood yang kurang oke, mereka sedang meradiasikan energi yang tidak bagus kepada kita. Salah satu cara untuk  “menetralkan” situasi ini adalah dengan menjaga diri kita agar tetap dalam keadaan mood dan perasaan yang baik.

Dengan demikian, kita bisa meradiasikan energi emosi yang positif dan bahkan energi emosi itu bisa mempengaruhi bos kita dan membuatnya menjadi lebih baik. Tidak bisa dipungkiri, bahwa semua orang suka berada di dekat orang yang energi emosinya positif.

 

>> Penting Dibaca: 5 Tanda Karyawan Medioker! (Yang Kedua Epic Banget!) <<

 

AKOMODASI PERASAANNYA

Ketika bos Anda sedang baper, berusahalah untuk mengakomodasi perasaannya dengan kalimat-kalimat yang menenangkan. Misalnya, “Jangan khawatir pak, saya sudah memastikan ulang semuanya supaya keputusan yang terlanjur diambil, benar-benar bisa direvisi selambatnya besok”.

Salah satu kesalahan yang umum dilakukan oleh banyak orang adalah, ketika bosnya baper, dia sibuk beralasan, membela diri, atau menyalahkan pihak lain. Dengan cara demikian, kita malah memperburuk keadaan.

Lalu ketika dalam keadaan baper, urusan-urusan teknis menjadi tidak sepenting urusan perasaan, itu sebabnya kita jangan terjebak untuk banyak membahas urusan teknis lebih dulu. Sebisa mungkin ulurlah waktu untuk memberi ruang agar bos Anda menjadi “baikan” barulah kemudian Anda bisa melanjutkan pembahasan pekerjaan Anda.

 

HADAPI DENGAN BIJAK

Jika keadaan memang sangat buruk, terjadi berulang-ulang dan benar-benar mengganggu kinerja Anda. Maka hal terbaik yang bisa Anda lakukan adalah memilih waktu yang tepat untuk mendiskusikan hal ini dengannya. Memang tindakan ini cukup beresiko karena bisa saja menjadi penyebab baper episode berikutnya.

Tetapi, jika Anda melakukannya dengan ketulusan hati dan semangat untuk menjadi lebih baik, bos Anda akan bisa merasakannya dan itu akan menjadi bahan evaluasi yang baik bagi dirinya.

Banyak orang menjadikan bosnya yang baper sebagai bahan gosip, bahan pergunjingan di belakang, dan menjadi bahan olok-olok. Ini sikap yang bukan saja tidak ada manfaatnya sama sekali, tidak mengubah apa-apa, dan sekaligus berbahaya karena kalau sampai hal ini didengar oleh bos Anda, maka akan mengancam karir Anda sendiri.

Walaupun jenis bos baper memang tidak banyak dan tidak selalu akan Anda jumpai, tetapi penting bagi kita untuk melatih Kecerdasan Emosional (EQ) kita, karena akan sangat menolong kita dalam berkomunikasi  dan berhubungan dengan orang lain, termasuk para bos yang unik yang bisa saja Anda jumpai di kemudian hari.

Selamat melatih Kecerdasan Emosional Anda!

 

> GRATIS DOWNLOAD! Panduan Premium 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi (EQ)! <<


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Ternyata, Marah Itu Boleh?


Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak boleh marah dan memandang kemarahan sebagai sesuatu yang buruk. Itu sebabnya banyak orang merasa bahwa marah adalah sebuah momok yang harus dihindari, dihilangkan, dan dibuang dari hidup kita.

Masalahnya, sejak kecil sampai dewasa, kita amat sangat jarang diajari mengenai bagaimana harus mengelola kemarahan di dalam diri kita. Program pendidikan formal yang kita ikuti mengajarkan berbagai pengetahuan canggih namun sangat minim mengajarkan kita soal anger management.

Maka, banyak persepsi negatif yang muncul soal marah. Padahal, dalam Kecerdasan Emosional (EQ), semua emosi/perasaan itu sebenarnya netral dan tergantung kepada bagaimana kita mampu mengelolanya, termasuk marah.

Banyak sekali kesalahpahaman soal Kecerdasan Emosi (EQ) ini. Hampir sebagian besar orang yang saya temui, berpikir bahwa kalau seseorang itu memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, maka dia tidak akan pernah marah. Cara berpikir ini masih terkait dengan paradigma kita yang terbentuk sejak kecil bahwa marah itu selalu diasosiasikan dengan hal yang buruk dan negatif.

Itu sebabnya juga, cukup banyak peserta pelatihan saya yang “komplain” kenapa perusahaannya mengirim dirinya untuk mengikuti workshop Kecerdasan Emosi (EQ). Mereka umumnya berkata, “Saya nggak pernah marah-marah lho pak… Saya juga nggak ada gangguan emosi lho…”

Sekali lagi, pemikiran ini muncul akibat persepsi negatif kita soal marah.

 

> PENTING DIBACA: “Media Sosial Bisa Menumpulkan Kecerdasan Emosi”<<

 

JATI DIRI ‘MARAH’ YANG SESUNGGUHNYA

Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy. ~Aristoteles

Kalimat Aristoteles ini menyingkapkan kepada kita, bahwa marah memiliki sisi lain yang tidak selalu buruk. Bahkan jika dikelola dengan benar, marah bisa menjadi sebuah kekuatan produktif yang luar biasa.

Banyak sekali karya-karya besar dihasilkan oleh dorongan rasa marah yang produktif. Sebagai contoh cepat saja, Richard Branson membuat Virgin Air karena dia mengalami pelayanan yang buruk dari sebuah maskapai penerbangan yang membuat dia kehilangan waktu dan peluang bisnisnya.  “Kemarahan”nya, mendorongnya untuk membuat maskapai penerbangan sendiri dan malah kemudian menjadi salah satu bisnis andalannya.

Banyak karya-karya dan keputusan-keputusan besar saya yang luar biasa, juga didorong oleh rasa marah terhadap sebuah keadaan atau situasi.

Artinya, marah tidaklah selalu buruk. Marah bisa menjadi produktif kalau kita tahu cara mengelolanya. Disinilah istilah Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi lebih jelas, yaitu sebuah kecerdasan/keahlian dalam mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri kita maupun orang lain, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Dengan begitu, secara garis besar, maka kemarahan bisa dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu kemarahan yang destruktif dan kemarahan yang produktfi (marah dengan EQ).

Bedanya ada dimana?

Marah yang destruktif adalah marah yang di luar kendali kita. Umumnya, ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan atau reaksi OTOMATIS dari diri kita. Ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan pelampiasan energi yang tak tertahankan dari dalam diri kita. Biasanya ini terjadi karena terlalu lama memendam kekesalan dan tidak tahu bagaimana mengelolanya.

Tentu saja marah yang destruktif bukanlah hal yang baik. Umumnya, jenis marah inilah yang sering kita jumpai sehingga menimbulkan kesan negatif yang kuat dan membuat kita berpikir bahwa marah selalu jelek.

Tetapi, marah yang produktif, adalah jenis marah seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles, yaitu marah dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

Marah yang produktif adalah marah yang terukur, bahkan terencana. Kita menyadari adanya rasa marah itu dan memang dengan sengaja “menggunakan” energi marah itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang penting.

Ciri-ciri marah produktif adalah:

  1. Kita melakukannya dengan SADAR dan memang kita sedang memilih untuk mengungkapkan kemarahan kita.
  2. Kita tahu kepada siapa kita mengarahkan kemarahan kita, jadi bukan sekedar “hajar semua”
  3. Kita tahu untuk apa kita mengungkapkan kemarahan kita, dan kita memang sudah merencanakan untuk menggunakan marah kita untuk menghasilkan keadaan tertentu (misalnya, ingin mengajari tim kita untuk lebih disiplin, atau ingin melatih anak kita agar bisa respek).
  4. Memberikan pesan solutif yang membangun. Biasanya, marah yang destruktif isinya cuma pelampiasan kekesalan dan seringkali malah menyakiti. Tapi marah produktif, isi pesannya justru ingin membangun dan mengarahkan untuk sesuatu yang lebih baik.
  5. Tahu kapan berhenti. Kalau marah destruktif, kita tak bisa mengendalikan kapan untuk berhenti karena kita “disetir” oleh luapan emosional kita. Tapi marah produktif, kendalinya ada di kita. Kitalah yang memilih kapan kita berhenti.

 

> GRATIS DOWNLOAD Premium Workbook 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi<<

 

TAK MUDAH TAPI BISA

Saya yakin diantara Anda yang membaca artikel ini, banyak yang berpikir “Wah, susah ya marah produktif…”. Itu sebabnya, Aristoteles berkata bahwa “kekuatan” ini tidak dimiliki oleh semua orang (meski semua orang bisa marah).

Ini adalah sebuah kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih. Orang-orang yang memiliki tingkat Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, biasanya mampu mengelola dan memanfaatkan rasa marah mereka untuk tujuan-tujuan yang produktif.

Tapi setidaknya, dari artikel ini, kita belajar bahwa ternyata marah tidak selalu negatif. Marah bahkan bisa menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa dipakai untuk meningkatkan produktifitas. Itu sebabnya, melatih Kecerdasan Emosional (EQ), menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan, terutama kalau kita adalah seorang pemimpin.

Dengan Kecerdasan Emosional (EQ), maka kita bisa mengolah perasaan-perasaan kita (termasuk marah), menjadi aset yang berharga untuk kemajuan hidup kita.

Selamat “berlatih marah”!


>> HARUS TAHU: “Emotional Toxic Leader” ~ Baca Sekarang Juga!<<

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Memahami Karyawan Gen-Y

Sudah 5 tahun terakhir ini, dunia kerja dan bisnis mengalami pergeseran yang cukup drastis. Salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan kultur yang didorong percepatan perkembangan teknologi yang menggila, sehingga menghasilkan generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya.

Para karyawan di kantor mulai diisi oleh mayoritas dari angkatan Gen-Y yang tampak seperti “makhluk” berbeda. Pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan seolah menjadi tidak relevan lagi bagi mereka.

Itu sebabnya, manajemen dan kepemimpinan perlu untuk berubah. Perusahaan yang mampu memberdayakan dan memobilisasi karyawan Gen-Y, akan menerima keuntungan produktifitas yang besar. Sementara mereka yang gagal menyikapi Gen-Y, akan kehilangan daya saingnya secara perlahan.

Namun, keragaman dan luasnya jarak sosial di Indonesia, memunculkan problem tersendiri. Para karyawan Gen-Y di Indonesia, sedikit berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia yang memiliki corak budaya, jarak persebaran geografis yang luas, serta rentang ekonomi sosial yang jauh, menyebabkan pembentukan Gen-Y yang juga bervariasi.

Meski ciri-ciri umum Gen-Y terdapat pada semua golongan, namun secara spesifik, di Indonesia, para karyawan Gen-Y bisa terbagi menjadi 3 golongan besar seperti yang tertera pada grafis informasi berikut ini:



Memahami klasifikasi ini, akan menolong kita untuk menganalisa dan memperhitungkan bagaimana kita akan membangun tim untuk perusahaan atau tim kita. Karena masing-masing klasifikasi memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan mengenali klasifikasi ini juga akan menolong kita untuk lebih memahami tim kita dan menemukan strategi yang tepat untuk memimpin mereka.

Tentu saja klasifikasi ini adalah sebuah generalisasi golongan, sehingga pasti ada ‘anomali’ yang terjadi di masing-masing golongan. Namun, setidaknya, klasifikasi yang dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan selama 5 tahun terakhir ini, akan bisa memberikan kita panduan dan gambaran umum dalam menyikapi para karyawan Gen-Y di sekitar kita.

Selamat memimpin para Gen-Y!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


5 Tanda Karyawan Medioker

Konon, dari seluruh pekerja, biasanya kurang dari 10% jumlah karyawan yang tergolong dalam top peformer (karyawan berprestasi tinggi dan menduduki posisi-posisi terbaik). Sisanya? Merekalah yang disebut dengan karyawan medioker, alias karyawan “biasa-biasa saja”. Tentu saja masih ada diantara mereka yang tergolong masuk dalam kelompok karyawan under perform, alias karyawan yang termasuk siap untuk masuk daftar pecat.

Karena jumlah karyawan medioker sangatlah mendominasi dan menjadi mayoritas, maka saya ingin membahas apa saja ciri-ciri karyawan medioker ini, dan sekaligus memeriksa apakah kita memiliki “kelakuan-kelakuan” ini?

Ciri-ciri karyawan medioker ini saya rangkum dalam bentuk instagramable image post. Jadi, akan memudahkan untuk Anda juga berbagi melalui akun media sosial Anda, terutama Facebook dan Instagram.

Untuk memperoleh postingan semacam ini, saya merekomendasikan untuk Anda follow akun instagram @josuaiwanwahyudi.

Selamat menikmati:


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Media Sosial Menumpulkan Kecerdasan Emosi?

Sejak media sosial berkembang jauh, kini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Bagi generasi muda, media sosial nyaris tak bisa dihilangkan.

Hasil riset Hootsuite yang dipublikasikan pada Januari 2018, menyatakan bahwa secara rata-rata, dalam satu hari, penduduk di Indonesia bisa menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam untuk media sosial!

Jika dikurangi dengan waktu tidur 8 jam per hari, maka umumnya orang Indonesia “menaruh” 1/5 waktu hidupnya di media sosial setiap hari. Sebuah fenomena yang tidak bisa dianggap angin lalu.

Lalu, pertanyaan berikutnya. Apakah pola hidup digital seperti ini membawa pengaruh yang lebih positif atau jangan-jangan malah lebih banyak pengaruh negatifnya? Sebagai orang yang lama menggeluti Kecerdasan Emosi (EQ), saya ingin membahas fenomena ini dari sisi pengaruh media social terhadap perkembangan Kecerdasan Emosi (EQ) seseorang.

 

DISCONNECTED

Selama ini, kita selalu mengira bahwa media sosial berhasil menghubungkan kita dengan orang-orang yang tadinya mustahil untuk terhubung. Bahkan, berkat media sosial, kita bisa berdialog dengan figur publik yang tadinya tampak tak tersentuh.

Secara sekilas, media sosial berhasil meruntuhkan tembok jarak dan waktu dan berhasil membangun hubungan antar manusia dengan lebih luas dan fleksibel.

Tapi, apakah kita benar-benar terhubung?

Seorang psikolog sosial bernama Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together menuliskan hasil pengamatannya, bahwa akibat “koneksi” yang melimpah yang digelontorkan oleh media sosial, tanpa sadar justru malah mengisolasi kita dari lingkungan sosial itu sendiri. Itu sebabnya, kita melihat fenomena dimana satu keluarga duduk di meja makan dengan seluruh anggotanya menatap layar handphone tanpa terjadi komunikasi apapun satu sama lain.

Tampaknya kita sedang berhubungan dengan orang lain, tapi realitanya, kita malah sedang terputus hubungan di dunia nyata.

Bahkan Sherry menyimpulkan, bahwa sejak manusia menjadikan media sosial sebagai bagian hidup, perasaan kesepian menjadi lebih mudah berkembang dan menguat ketimbang generasi yang hidup tanpa media sosial.

Mengapa fenomena ini terjadi? Saya yakin, karena hubungan kita di media sosial bukanlah hubungan yang nyata. Misalnya, ketika kita menulis “wkwkwkwkw”… Kita tidak sedang sungguh-sungguh tertawa, bahkan ada kemungkinan kita sedang marah.

Ketika kita tampak begitu akrab dalam obrolan di media sosial, belum tentu ketika kita bertemu dengan orangnya, kita benar-benar memiliki keakraban itu.

Artinya, ketika begitu aktif, sibuk, dan terhubung dengan berbagai orang di media sosial, sesungguhnya kita belum tentu benar-benar terhubung dengan mereka. Sementara, semua aktifitas digital itu, memutuskan hubungan kita dengan dunia nyata dan dengan orang-orang yang nyata di sekitar kita. Akibatnya, kita menjadi mudah merasa kesepian.

Dan satu hal lagi. Semua hubungan yang terjadi secara digital (terutama hanya melalui text), sangat minim melibatkan ekspresi emosional kita. Inilah yang membuat generasi muda modern menjadi sangat kaku secara ekspresi sosial, tidak peka dengan kebutuhan emosi orang lain, tidak bisa memiliki etika bersosialiasi dalam lingkungan yang nyata, dan kesulitan meresponi sikap komunikasi orang lain kepada mereka. Karena, media sosial sudah membuat mereka disconnected dengan dunia nyata.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCONTENT

Seorang peneliti sosial, Hanna Krasnova, bersama dengan beberapa rekan peneliti dari Jerman, melakukan riset pada para pengguna Facebook di tahun 2013 (media sosial paling banyak penggunanya di tahun itu).

Hasilnya, 1 dari 3 orang (sepertiga!) mengalami perasaan / mood yang lebih buruk setelah mengunjungi timeline di Facebook. Bayangkan jika ini terjadi setiap hari! Artinya, setiap hari kita terus dilatih untuk memiliki mood yang buruk hanya karena melihat-lihat timeline di media sosial.

Keadaan ini terjadi karena setiap kali melihat timeline, kita akan selalu menemukan orang-orang yang tampaknya hidupnya lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, lebih menyenangkan, lebih sukses, lebih kurus, dan lebih lebih lainnya!

Padahal, semua yang diposting orang-orang itu juga belumlah tentu kenyataannya.

Berapa banyak kita melakukan selfie dengan ekspresi dan wajah yang seru dan heboh, padahal kenyataannya saat berfoto (dan setelah berfoto) kita biasa-biasa saja. Tetapi, “image” seru itulah yang ditangkap orang-orang yang melihatnya dan mereka mulai membandingkan dengan keadaan mereka yang berbeda. Akibatnya, mereka menjadi cemburu, iri, dan merasa hidup mereka tidak sebagus hidup orang lain.

Dan jika kenyataan hidup mereka tidak memungkinkan mereka untuk “meniru” apa yang mereka lihat di timeline, saat itulah muncul perasaan depresi dan perasaan “kalah”.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCLOSURE

Era media sosial menjadi sebuah era keterbukaan. Tiba-tiba hal-hal yang tadinya tersembunyi dan rahasia menjadi begitu mudah terungkap dengan cepatnya.

Di satu sisi, hal ini juga mendorong para pengguna media sosial untuk lebih berani mengungkapkan diri. Tahun 2018 menjadi era kejayaan Youtube di Indonesia lantaran membanjirnya para Vlogger yang mengungkapkan diri mereka lewat video tampilan mereka.

Sayangnya, di dalam dunia digital, filterisasi dan pembatasan sangatlah sulit dilakukan. Artinya, semua pengguna media sosial, berapapun usianya dan apapun latar belakangnya, akan terpapar semua konten apapun. Termasuk konten maki-makian dan cerita-cerita basi mengenai kehidupan sebagian vlogger dan spammer.

Inilah yang kemudian juga mendorong para pengguna media sosial untuk tanpa berpikir panjang memasang status, foto, maupun video mereka dalam berbagai keadaan. Termasuk ketika konflik dengan pacar, marah dengan atasan di kantor, sedang perang dingin dengan suami, bahkan termasuk ketika tidak puas di “ranjang” sekalipun!

Lalu apa akibat dari budaya disclosure yang tak terkendali ini?

Inilah yang kemudian membangkitkan digital bullying dengan kuat. Karena akun media sosial yang dengan mudah dibuat “tersamar”, para netizen (istilah untuk penghuni dunia maya) menjadi jauh lebih berani untuk menilai, menyampaikan pendapat tajam, dan bahkan memaki-maki tanpa merasa terbebani. (toh, orang juga tidak tahu siapa jati diri mereka sebenarnya).

Akibat disclosure yang berlebihan, budaya digital bullying mendapatkan “makanan” untuk berkembang.

Sekali lagi, Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

Memang, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ada begitu banyak manfaat dari media sosial. Termasuk artikel inipun mayoritas dibaca akibat dari penyebaran lewat media sosial.

Namun, menggunakan media sosial membutuhkan Kecerdasan Emosi (EQ). Jangan sampai kita terjebak “dikonsumsi” oleh media sosial. Justru kita harus menjadi bijaksana dalam menggunakan media sosial agar Kecerdasan Emosi (EQ) kita tidak menjadi tumpul.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Emotional Toxic Leader

Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.

Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.

Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!

Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:

“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”

Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.

Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:

 

EMOTIONAL VACUUM

Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.

Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.

Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.

Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.

 

RUNAWAY LEADERSHIP

Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.

Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.

Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.

Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.

Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.

Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.

 

PEMERDAYAAN

Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.

Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.

Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.

Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.

Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.

Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

 

Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.

Selamat memimpin!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.