Emotional Toxic Leader

Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.

Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.

Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!

Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:

“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”

Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.

Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:

 

EMOTIONAL VACUUM

Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.

Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.

Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.

Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.

 

RUNAWAY LEADERSHIP

Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.

Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.

Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.

Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.

Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.

Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.

 

PEMERDAYAAN

Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.

Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.

Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.

Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.

Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.

Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

 

Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.

Selamat memimpin!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


MELATIH EMOSI ANAK SEJAK DINI MELALUI DONGENG

Seperti kita ketahui, anak-anak sangat menyukai cerita-cerita dongeng ataupun fiksi. Tapi tahukah Anda bahwa dongeng dan cerita anak-anak mempengaruhi dirinya hingga dewasa? Tidak heran jika Anda masih menjumpai orang dewasa yang masih menyukai super hero atau pun tokoh-tokoh dari cerita fiksi lainnya seperti cerita fairy tale yang pernah mereka ketahui. Anak perempuan yang menyukai tokoh-tokoh putri atau pun para anak laki-laki yang memimpikan dirinya sebagi tokoh jagoan yang bisa memerangi kejahatan membuat film-film yang diproduksi oleh Disney, Dreamworks, Warner Bross dan rumah produksi lainnya tidak pernah kehabisan penggemar.

Cobalah tengok isi bioskop saat pemutaran film-film seperti Captain America, The Avengers, maupun film animasi macam Tangled, Frozen, The Croods, bahkan hingga film yang sangat “khayal” seperti Transformers. Penonton yang memenuhi bioskop bukan hanya anak-anak, tapi malah lebih banyak orang dewasa (terutama yang ketika kanak-kanak pernah “berjumpa” dengan sosok-sosok di film itu melalui komik, cerita, maupun animasi kartun).

Mungkin bagi beberapa orang, dongeng hanya sekedar cerita khayalan saja tapi tidak bagi anak-anak. Kreatifitas seseorang terbentuk dari daya imajinasinya dan imajinasi itu ada di masa kanak-kanak, khususnya di usia golden age (1-5 tahun). Masa dimana setiap orang di sekeliling anak tersebut khususnya orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengan dirinya akan membentuk dan mempengaruhi cara hidup mereka di masa depan.

Tahukah Anda dongeng memiliki kekuatan yang sangat besar untuk psikologi anak dan kecerdasan emosi mereka? Anda bisa melatih kecerdasan emosi anak melalui mendongeng. Indonesia memiliki kaya akan cerita dongeng dari berbagai daerah, seperti cerita Si Kancil. Sayangnya tidak banyak diterapkan oleh orang tua di masa sekarang. Anak-anak lebih banyak disuguhi oleh media elektronik seperti tv dan video games sebagai pilihan orang tua dalam mengasuh anak saat ini. Ketidakseimbangan emosi dalam diri anak pun terjadi.

Dengan mendongeng, Anda bisa mengekspresikan emosi melalui suara-suara binatang yang ada di cerita tersebut atau suara gemuruh petir dan juga suara lainnya dengan berbagai intonasi dan tekanan. Anak-anak jadi mengenal berbagai emosi dari ekspresi suara, wajah dan gerakan Anda. Secara tidak langsung, Anda merangsang kreatifitas dan pengenalan terhadap berbagai macam ekspresi emosi.

Anda bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin Anda wariskan untuk bekal hidup mereka di masa depan dengan memilih cerita dongeng yang sesuai. Sehingga anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan cerita tersebut seperti kejujuran, ketekunan, hormat, dan nilai-nilai lainnya.

Kualitas waktu yang dibentuk dari budaya mendongeng akan membantu mempererat kedekatan hubungan emosional Anda dengan anak Anda. Ada masa dimana anak Anda akan sulit memberikan waktu untuk mendengarkan Anda karena dunianya sudah berubah. Sebuah penelitian menyebutkan rata-rata setiap orang mengingat peristiwa berkesan dan membekas adalah ketika di masa kecil, yaitu peristiwa yang mengandung emosi baik itu peristiwa yang menyedihkan atau pun yang menyenangkan. Dan tentunya Anda pasti menginginkan anak-anak Anda mengingat Anda melalui peristiwa yang menyenangkan bersamanya. Jadi, mulailah luangkan waktu untuk melakukan “dongeng sebelum tidur”, Anda takkan menyangka betapa dahsyat hasil dari waktu 20 menit yang Anda sisihkan untuknya… Sesuatu yang pasti takkan Anda sesali seumur hidup!


TIDAK HANYA SEKEDAR BICARA

Banyak orang yang mengira kalau mereka sudah fasih dalam berbicara, maka mereka menganggap bahwa diri mereka ahli dalam berkomunikasi.

Tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa sering berbicara dan ngobrol menunjukkan bahwa komunikasi mereka tidak ada masalah. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Komunikasi tidak melulu soal bagaimana kita berbicara, bahkan, seringkali ada banyak bentuk komunikasi yang sama sekali tidak melibatkan kata-kata dan ucapan verbal. Lalu, jika demikian, apa yang bisa kita lakukan agar kita benar-benar menjadi ahli komunikasi?

1. MENDENGAR

Saat berkomunikasi, banyak orang cenderung fokus mencoba menyampaikan apa maksud kita. Itu sebabnya banyak kasus dimana orang berlomba-lomba memotong pembicaraan. Bukan kebetulan sebuah pepatah muncul dan menjadi popular dengan pesannya, “manusia diciptakan memiliki 1 mulut dan 2 telinga supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara”.

Di dalam komunikasi ada saatnya mendengarkan dan ada saatnya berbicara. Mendengarkan di sini artinya  tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi menyimak. Menyimak akan memperlihatkan tanda keperdulian Anda terhadap apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Ketika Anda bertanya kepada orang lain, simaklah jawabannya. Jangan hanya perhatikan kata-kata yang mereka ucapkan, tapi juga bagaimana mereka berbicara. Ajukan pertanyaan yang menyambung pembicaraan. Perhatikan pendapat dan ide mereka. Komunikasi tanpa menyimak akan membuat komunikasi tidak berlangsung dengan baik.

Banyak kasus kesalahpahaman komunikasi dan konflik muncul bukan karena maksud yang tak tersampaikan, melainkan kita yang gagal menangkap apa maksud yang coba disampaikan orang lain.

2. MENYADARI AREA YANG LEMAH DAN MEMPERBAIKINYA

Kita perlu menyadari bahwa dengan hanya bertukar kata tidak menjamin komunikasi sudah baik. Hubungan yang harmonis sekali pun memiliki saat-saat dimana tiba-tiba komunikasi kita terasa tidak “nyambung”.

Komunikasi tidak hanya berbicara tentang apa yang ingin disampaikan, tetapi juga tahu kapan dan bagaimana menyampaikannya. Itu sebabnya, kita harus belajar mengevaluasi cara-cara kita dalam berkomunikasi, meminta feedback dari orang-orang terdekat kita, dan terbuka untuk belajar cara-cara orang lain.

Ingat, sama seperti dulu kita belajar berjalan, menulis, berhitung, menyetir mobil, dan banyak keahlian lainnya, begitu pula dengan komunikasi, kita perlu terus belajar menyempurnakan cara-cara komunikasi kita.

3. ENERGI EMOSI

Inilah faktor yang paling jarang disadari oleh kebanyakan orang. Komunikasi tidak hanya terjadi melalui apa yang terlihat, tetapi apa yang tak terlihat dari dalam diri kita juga turut berkomunikasi, yaitu energi emosional.

Sadar tak sadar, saat Anda marah, tanpa perlu mengeluarkan kata-kata dan menunjukkan dari wajah Anda, seringkali energi marah Anda bisa dirasakan oleh orang lain. Itu sebabnya, dalam berkomunikasi Anda harus menyadari energi apa yang Anda radiasikan kepada orang lain.

Banyak pemimpin mencoba memotivasi bawahannya namun ia meradiasikan energy pesimisme. Maka, meski kata-katanya adalah ucapan optimis, namun bawahannya bisa merasakan bahwa sebenarnya pemimpin mereka pesimis.

Itu sebabnya ahli komunikasi yang cerdas mampu melakukan “emotion switch”, yaitu mengubah energi emosi mereka dan mood mereka untuk mendukung isi komunikasi yang sedang mereka sampaikan kepada orang lain.

Nah, selamat berlatih kembali!


MEMBANGUN INTEGRITAS

Banyak orang mengira bahwa promosi, peningkatan karir, pertumbuhan bisnis, atau kemajuan hidup, hanya didasarkan pada kerja keras, keahlian-keahlian, dan sikap optimis. Sedikit orang yang sadar bahwa ada sebuah faktor penting yang memang tampak “kecil” namun efeknya sangat besar. Faktor tersebut bernama Integritas.

Bayangkan jika Anda memiliki bawahan yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Bayangkan Anda berbisnis dengan orang yang bisa berubah-ubah isi janji dan perkataannya. Bayangkan jika sebuah perusahaan tidak memegang komitmen dan prinsip yang mereka publikasikan. Mungkinkah orang lain mau berhubungan lebih lanjut?

Disinilah integritas berperan penting dalam mengokohkan kaki kita di jalur kemajuan.

Bahkan, dalam banyak kasus, orang yang memiliki integritas akan lebih dipercaya daripada mereka yang hanya sekedar ahli tapi sulit dipercaya. Karena itu, cobalah lihat bagaimana “level” integritas Anda… Sudahkah Anda menerapkan 4 indikator integritas sederhana berikut ini:

1. Setia dan tidak meremehkan hal-hal kecil

Kita sering menganggap remeh keteledoran-keteledoran kecil. Kita seringkali tidak ambil pusing dengan “pengingkaran-pengingkaran” kecil. Tapi tahukah Anda? Jika Anda melakukan berulang kali dan terus menerus, tanpa Anda sadari, Anda membangun suatu kebiasaan baru yang membuat orang lain perlahan-lahan bisa melihat bahwa ternyata Anda bukan orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Bangun komitmen dan jaga konsistensi secara terus menerus untuk setia terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang Anda pegang meski mengandung resiko kehilangan kenyamanan Anda.

2. Melakukan secara konsisten apapun situasinya

Kebudayaan di sekeliling kita membangun suatu gaya hidup perasaan yang bernama “tidak enak”. Hal ini yang membuat seseorang terlihat “plin-plan” dan tidak konsisten sehingga ia kehilangan integritasnya. Belajarlah untuk mulai konsisten dalam hal-hal yang sederhana dulu. Misalnya, jika Anda sudah berkomitmen untuk tidak buang sampah sembarangan, maka meski berada di lingkungan yang semuanya membuang sampah dan Anda diminta untuk membuangkan sampah teman di jalan, berusahalah memegang komitmen Anda secara konsisten meski di situasi sulit. Disitulah karakter integritas Anda diperkuat.

3. Membangun budaya kepercayaan.

Membangun kepercayaan tentunya tidak mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan perlu terus dijaga. Anda bisa mulai membantu menciptakan budaya ini di lingkungan kerja Anda. Belajarlah melakukan apa yang sudah Anda janjikan atau katakan, dan beranilah menanggung akibat dari tindakan-tindakan Anda. Banyak orang dianggap kurang berintegritas karena melempar tanggung jawab saat terjadi kesalahan.

4. Berperilaku seperti sedang diawasi

Seringkali ditemukan para pekerja di perusahaan hanya bekerja secara optimal jika ada yang mengawasi atau ada atasan. Mulai sekarang, berusahalah melakukan yang terbaik meski tidak sedang diawasi. Contoh sederhana, taatilah lampu merah meski tidak ada polisi yang mengawasi, karena disitulah integritas kita diuji. Integritas justru dipraktekkan bukan saat dilihat orang, melainkan pada saat tidak ada siapa-siapa disana.

Percayalah, orang yang memiliki integritas kuat, tak akan pernah kekurangan dukungan. Orang yang memiliki integritas, meski melewati masa sulit, akan selalu ada orang lain yang menolong dan memberi jalan padanya, karena integritas seperti nyala cahaya di tengah malam, begitu langka namun terlihat jelas oleh orang lain.


EQ Coaching Indonesian Idol 2014

Tanggal 5 April 2014, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, kembali dipercaya untuk memberikan EQ Coaching kepada finalis Indonesian Idol, kali ini Master Trainer EQ Indonesia memberikan tips melakukan “mood management” kepada Husein, Gio, Virzha, dan Ubay (minus Yuka dan Nowella yang sedang sakit), yang masih bertahan dalam babak 6 besar Indonesian Idol 2014.

Dalam sesi EQ Coaching ini, Josua Iwan Wahyudi memberikan 3 tips praktis yang bisa dipraktekkan dengan sangat singkat untuk meningkatkan mood dan perasaan kita terutama dalam menghadapi kompetisi yang ketat, menghadapi situasi sulit yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan dalam menghadapi perjuangan meraih target.

Dengan memberikan banyak contoh nyata baik di industri musik maupun industri diluar musik, Master Trainer EQ  Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, mencoba menunjukkan betapa pentingnya memiliki mood yang stabil dan memiliki kemampuan emotional management yang bisa memunculkan best performance dalam kondisi apapun. Dalam sesi ini, setiap finalis semakin menyadari betapa pentingnya memiliki mood management yang baik agar selalu bisa memberikan penampilan terbaik.


“Rahasia Keunggulan” bersama Ciputra Group

Pada bulan Februari dan Maret 2014, Ciputra Group kembali mengundang Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, untuk memberikan seminar “Rahasia Keunggulan” untuk brokers gathering yang diselenggarakan di 2 tempat, yaitu di Banjarmasin dan Samarinda. Perkembangan bisnis properti yang dirasakan oleh Ciputra Group di luar pulau Jawa, membuat mereka tetap ingin mempertahankan keunggulan mereka menjadi pemain utama di berbagai wilayah di Indonesia.

Itu sebabnya, di 2 lokasi yang berbeda ini, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi memberikan 4 tips praktis bagaimana menjadi pribadi yang unggul dalam situasi dan keadaan apapun. Seminar ini bukan sekedar seminar motivasi karena Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, bukan hanya memberikan suntikan semangat saja, tetapi juga memperlengkapi setiap peserta dengan berbagai trik untuk memiliki kemampuan membaca orang dengan cepat, menyesuaikan gaya komunikasi yang tepat dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri di atas rata-rata, dan juga tips menghadapi keadaan-keadaan sulit yang terjadi.

Di hadapan sekitar 100-150 orang di tiap kota, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, membawakan seminar ini dengan fun, memberikan simulasi langsung untuk membuat peserta memahami materi dengan lebih baik, serta memberikan contoh-contoh nyata yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


Emosi Tidak Hanya Ada Pada Manusia?

Baru-baru ini dunia mulai dihebohkan dengan berita mengenai pengembangan sebuah teknologi mutakhir di Eropa. Teknologi ini bertujuan membuat sebuah robot yang bisa memiliki emosi. Robot ini dikenal dengan istilah robot humanoid, yaitu robot yang bisa membangun ikatan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya. Uniknya, robot ini juga bisa mendeteksi emosi manusia melalui aktivitas non verbal seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah, bahkan mahir membaca perasaan orang lain meskipun komunikasi tersebut cukup panjang. Hal ini dikarenakan ‘otak’nya di desain dengan jaringan syaraf pikiran manusia sehingga mampu mengingat segala interaksi dengan banyak orang yang berbeda. Robot ini juga bisa mengalami stres atau pun marah jika ia merasa tidak nyaman dengan manusia yang berinteraksi dengannya.

Selain teknologi robot, ada juga penelitian emoticon terbaru untuk aplikasi chatting yang sedang dikembangkan di Jepang. Jika selama ini Anda mengekspresikan emosi Anda melalui simbol-simbol emoticon yang tersedia di aplikasi yang Anda gunakan, maka kini sedang dikembangkan bentuk emoticon yang berasal dari wajah Anda sendiri. Artinya, orang yang sedang berinteraksi dengan Anda akan lebih mudah membayangkan ekspresi wajah Anda, sehingga ber”texting” menjadi semakin terasa “live”.

Dapatkah Anda bayangkan betapa majunya teknologi saat ini? Emosi yang merupakan bagian kompleks dan unik dalam diri manusia berusaha “ditaruh” di sebuah benda mati dan aplikasi. Mungkin tokoh khayalan semacam Astro Boy dan Doraemon yang selama ini hanya ada di dalam kartun anak-anak sekarang, bisa-bisa segera menjadi nyata.

Kehidupan di jaman sekarang khususnya di kota-kota besar dan negara-negara maju sudah membuat manusia memiliki tingkat individualis lebih tinggi dibanding dahulu. Perubahan kehidupan yang terjadi juga mempengaruhi cara manusia berinterkasi. Interaksi manusia banyak diperbantukan (atau malah digantikan?) dengan alat dan aplikasi komunikasi. Dimana kita juga bisa mengekspresikan perasaan kita dengan emoticon yang tersedia oleh aplikasi tersebut. Tidak hanya bisa membuat orang yang jauh menjadi dekat namun juga bisa membuat orang yang dekat menjadi jauh. Bahkan tidak sedikit konflik terjadi karena kesalahan pahaman.

Saya juga sempat menyaksikan berita bagaimana kehidupan beberapa orang yang tinggal bersama dengan manekin, boneka atau pun robot untuk menemani mereka yang tinggal sendiri. Sungguh unik bagaimana posisi yang pada dasarnya diisi oleh sesama manusia tapi dipilih dan digantikan dengan benda mati.

Namun, pertanyaannya, benarkah interaksi emosional manusia bisa di”program”kan dan bahkan bisa digantikan oleh teknologi digital? Memang sulit untuk menjawab ini karena kita tak pernah tahu masa depan. 100 tahun yang lalu kita tak pernah berpikir bahwa seluruh dunia bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat, namun begitu internet muncul, jarak dan waktu seolah bukan masalah lagi.

Sejauh ini, berdasarkan pengalaman nyata dan kasus yang terjadi di lapangan, maupun hasil survey di berbagai negara dan oleh berbagai ahli, teknologi hanya bisa mempermudah dan mempercepat interaksi namun tak pernah bisa menggantikan koneksi emosional yang ada. Bahkan berbagai seminar yang menggunakan “live streaming” tetap tak bisa memiliki efek koneksi emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan seminar yang “live” dimana sang pembicara benar-benar hadir dan berhadapan langsung di lokasi.

Begitu pula, semua emoticon dan bentuk pengganti ekspresi emosi yang ada hingga hari ini, bahkan tidak mampu mewakili separuh dari perasaan dan apa yang sedang terjadi dalam hati kita. Maka, pesan dari artikel ini adalah, jangan sampai kita mencoba menggantikan hubungan dan interaksi emosional dengan teknologi.

Bagaimanapun perjumpaan langsung tetap belum bisa terwakili oleh teknologi secanggih apapun.


BE A GOOD LEADER

Adakah pemimpin yang tidak ingin dihormati oleh bawahannya? Adakah pemimpin yang ingin bawahannya “mbalelo” alias tidak melakukan apa yang diperintahkan? Dan adakah pemimpin yang mau memiliki bawahan yang menentang dia, tidak patuh, dan malah membuat pekerjaan makin sulit? Tentu saja pemimpin yang normal tidak akan ada yang mau.

Namun, seringkali, bawahan yang tidak “perform” seperti yang kita harapkan, bukanlah karena mereka ingin bersikap seperti itu. Dalam buku berjudul “Leaders and Self Deception” yang diulis oleh Gallup Organization, dikatakan bahwa 50% pemimpin tidak sadar bahwa penyebab munculnya masalah adalah diri mereka sendiri.

Artinya, kadang-kadang kepemimpinan kitalah yang kemudian menciptakan orang-orang yang sulit dipimpin. Jadi, sebelum marah-marah dan menyalahkan orang lain, bagaimana kalau kita pelajari 3 hal sederhana mengenai kepemimpinan yang efektif, siapa tahu dengan mengubah cara Anda memimpin, masalah menjadi terselesaikan dengan lebih mudah.

1. Lakukan Terlebih Dahulu

Sampai saat ini, budaya meminta dan menuntut lebih banyak ditemukan termasuk di dalam perusahaan. Pemimpin ingin didukung, dipedulikan, dipatuhi dan dihormati tetapi tidak melakukan sikap yang sama kepada bawahannya. Sebagai seorang pemimpin, sangat dibutuhkan tindakan inisiatif dan bergerak lebih dahulu karena dukungan dan penghormatan akan tercipta ketika Anda dengan konsisten melakukannya. Perlakukan bawahan Anda (atau tim Anda) seperti Anda ingin diperlakukan dan jadikan mereka sebagai rekan kerja Anda.

Seorang pakar kepemimpinan, Tim Elmore, berkata bahwa seorang pemimpin adalah seorang “tuan rumah”. Jika Anda sedang berkunjung ke rumah orang lain, siapa yang lebih aktif dan berinisiatif? Biasanya tuan rumah kan? Mereka akan lebih “serving” daripada si tamu. Begitu pula seorang pemimpin, seharusnya dia lebih aktif dan berinisiatif untuk melakukan lebih banyak dan lebih dulu, sehingga orang-orang yang ia pimpin bisa melihat bahwa bukan tanpa alasan Anda dijadikan pemimpin di atas mereka. Dengan demikian, akan muncul respek dan kemauan untuk mengikuti Anda.

2. Menciptakan Komunikasi yang Sehat

Banyak ditemukan komunikasi tak sehat yang terjadi antara bawahan dan atasan. Masih ada atasan yang lebih sering memberikan instruksi dan menagih target tanpa memperhatikan perkembangan dan hambatan yang dialami oleh bawahan. Bagaimanapun, seorang manusia tetap selalu ingin diperlakukan sebagai manusia.

Budaya kerja yang terlalu industrialis kadang-kadang menempatkan karyawan sebagai robot pekerja yang hanya dituntut hasil tanpa diperdulikan sisi kemanusiaan personalnya. Banyak sekali dijumpai atasan-atasan yang bahkan menganggap semua urusan personal ,perasaaan, dan hubungan adalah hal yang menghambat kinerja dan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Padahal, komunikasi yang sehat hanya bisa terbangun ketika kita concern dengan kehidupan di luar pekerjaan sang karyawan. Ketika kita bisa menyentuh sisi kemanusiaan bawahan, kita akan lebih mudah untuk mendiskusikan urusan pekerjaan, sehingga mungkin kita tak perlu lagi “menendang-nendang” si bawahan untuk bergerak.

3. Fokus ke Solusi

Setiap masalah dalam tim atau perusahaan Anda, tanggung jawab dan keputusan terakhir tetap ada di tangan Anda. Susahnya, banyak atasan ketika terjadi masalah, mereka hanya bisa marah, mencari siapa yang salah, dan memberikan tuntutan lebih banyak lagi. Padahal, seseorang dijadikan pemimpin karena dianggap lebih solutif daripada yang lain.

Ketika keadaan menjadi sulit, orang akan melihat dan bergantung pada pemimpin, itu sebabnya Anda harus melatih diri menjadi seorang “solution maker”. Anda boleh saja menegur, marah, dan mengingatkan, namun jangan lupa bahwa solusi harus selalu ada. Bawahan akan lebih menerima kemarahan dan teguran Anda ketika mereka bisa melihat bahwa Anda datang dengan solusi.

Jika orang lain yang malah lebih punya solusi dari Anda, bukankah seharusnya dia yang menjadi pemimpin?

So… Selamat menikmati menjadi pemimpin yang berkualitas!


Public Hypnotic Presentation Skill

Public training tahun 2014 diawali dengan dibukanya salah satu program unggulan Shifthink yaitu Advanced Hypnotic Presentation and Speaking. Program ini bersifat premium yang diadakan bagi pribadi yang berinteraksi dan berhadapan dengan banyak orang. Pelatihan ini tidak hanya untuk presentasi saja tetapi juga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta yang hadir tidak hanya dari professional kerja namun juga dihadiri oleh anak muda, salah satunya mahasiswa dan pengusaha muda yang ingin meningkatkan kemampuan berbicara.

Kelas ini diadakan selama 2 hari yang berlangsung pada tanggal 21-22 Februari 2014 di Hotel Ciputra, Jakarta. Hari pertama, Master Trainer EQ Indonesia,  Josua Iwan Wahyudi memberikan fundamental presentation skill. Dilanjutkan dengan penjelasan budaya yang mempengaruhi dalam menanggapi hypnosis. Para peserta turut aktif dalam menanyakan proses hypnosis dan berbagi pengalaman yang diketahui oleh mereka sehingga menjadikan pelatihan ini menjadi lebih interaktif dan mudah dipahami. Dan hari pertama, Bapak Josua mengakhiri dengan pembelajaran presentasi dari persiapan sampai dengan pasca presentasi. Selama sesi ini banyak diberikan perlengkapan presentasi yang menarik dengan simulasi yang sangat mudah dilakukan, beserta permainan-permainan magic yang membuat presentasi menjadi lebih fun.

Hari kedua, peserta lebih banyak terlibat secara praktek dalam melakukan presentasi. Pembelajaran hari pertama, mereka aplikasikan dengan content presentasi yang dibawakan. Setiap peserta mendapatkan banyak saran dan gambaran dari peserta lain dan juga dari Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi. Praktek presentasi yang dilakukan meningkatkan kepercayaan diri mereka di depan umum dan menyadari bahwa hypnotic presentation skill bisa dilakukan oleh siapa pun.

Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi juga memberikan banyak contoh dari berbagai para pembicara di berbagai negara, yang bisa membuka wawasan dan gambaran peserta lebih luas bahwa presentasi tidak hanya berkaitan dengan orang saja tetapi juga hal-hal teknis yang sangat mempengaruhi. Selain praktek, pelatihan hari kedua ini juga dipenuhi dengan banyak simulasi yang sangat variatif sehingga peserta memiliki pilihan-pilihan yang bisa diaplikasikan. Suasana hari kedua menjadi lebih menyenangkan, hal ini terlihat dari keterlibatan para peserta di setiap sesinya.

Selama 2 hari pelatihan membuat para peserta bisa mengalami secara langsung setiap materi yang diberikan. Para peserta juga melakukannya tidak hanya selama sesi di kelas tetapi juga berlangsung dalam suasana santai pada saat break dan lunch. Dengan kualitas materi yang berbobot, Hypnotic presentation skill & speaking yang dibawakan oleh Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi tetap terasa ringan, menyenangkan dan mudah diaplikasikan.


Bagaimana Level EQ Orang Indonesia?

Ini adalah pertanyaan yang sangat sering diajukan kepada saya dalam berbagai seminar, workshop, maupun training Kecerdasan Emosi (EQ) yang saya bawakan. Namun sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang mesti saya jelaskan dulu sebelumnya, agar Anda yang membaca artikel ini tidak salah paham.

Beberapa klarifikasi awal saya adalah:

1. Sampai saat ini belum ada survey atau riset yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk mengukur sampai seberapa level Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia. Selain karena mencari metode dan alat ukur EQ yang akurat adalah hal yang tidak mudah, juga budaya riset di Indonesia memang harus diakui belum terlalu berkembang.

2. Mengukur level EQ masyarakat Indonesia tidak semudah mengukur level EQ kebanyakan negara lain. Mengapa? Karena keragaman bangsa Indonesia yang sungguh amat luas, besar, dan variatif. Ambil contoh saja, mengukur level EQ negara akan sangat mudah karena negara mereka hanyalah sebuah kota dengan ragam budaya yang hanya ada 3 mainstream (india,melayu,cina). Begitu pula dengan Malaysia yang juga hanya memiliki 2 pulau besar. Sedangkan Indonesia? Mengukur level EQ di Jawa mungkin hasilnya akan sangat berbeda dengan pengukuran di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan berbagai daerah lain. Sehingga untuk menyebutkan kata “level EQ Indonesia” menjadi lebih sulit karena kemudian kita bertanya-tanya, apakah Jawa mewakili Indonesia? Ataukah ketika semua hasil dikumpulkan dan di’rata-rata’kan, itu akan cukup representatif untuk mewakili Indonesia secara keseluruhan?

3. EQ sendiri tidak melulu berbicara mengenai anger management atau stress management. EQ tidak melulu cuma bicara mengenai menahan marah, menjadi sabar, atau lebih empatik. Ada beberapa komponen yang membentuk EQ secara keseluruhan. Maka ketika kita menemukan seseorang yang sering marah, kita tak bisa serta merta menyebutnya sebagai orang yang EQnya rendah karena masih ada komponen-komponen lain yang harus dilihat. Disinilah orang seringkali salah menilai dan mengukur EQ.

Nah, maka berdasar klarifikasi di atas, setidaknya saya akan mencoba menjawab pertanyaan “seberapa cerdaskah EQ masyarakat Indonesia?”

Sekali lagi, analisa saya tentu bukanlah hal yang absolut dan bisa digunakan secara ilmiah, namun, sebagai orang yang belajar EQ selama 8 tahun terakhir ini, setidaknya dari pengalaman di lapangan, ada beberapa indikasi kualitatif yang bisa kita pakai untuk melihat gambaran EQ masyarakat Indonesia.

Untuk membuat Anda lebih mudah memahaminya, saya akan menggunakan salah satu indikator yang paling banyak digunakan dan paling besar porsinya untuk menganalisa level EQ seseorang, yaitu:

IMPULSE CONTROL

Semua pakar EQ dunia, mulai dari Daniel Goleman, Peter Salovey, Reuben Baron, hingga lembaga pengembang EQ terbesar dunia macam TalentSmart dan Six Seconds setuju bahwa salah satu elemen terpenting dalam EQ adalah skill untuk melakukan Impulse Control. Apakah yang disebut dengan Impulse Control ini? Inilah kemampuan untuk mengendalikan desakan-desakan atau hasrat untuk melakukan sesuatu yang muncul secara menggebu-gebu.

Contohnya, ketika Anda marah, Anda dengan segera berhasrat untuk menunjukkan kemarahan Anda (bisa dengan ngomel, teriak, memukul, atau apapun), kondisi seperti itulah yang disebut dengan “impulse” Anda sedang menggelora. Bukan cuma marah, bisa juga ketika Anda lapar, tiba-tiba Anda melihat steik seharga 300 ribu rupiah dan Anda begitu menggebu-gebu ingin membelinya meski Anda tahu bahwa uang Anda cukup terbatas. Saat itulah impulse Anda sedang bergelora juga.

Atau, ketika Anda pacaran dan sedang berada dalam nuansa romantis, lalu tiba-tiba nafsu seksual Anda bangkit dan ingin mengajak (maaf) ML pacar Anda, saat itu impulse Anda juga sedang bergelora. Dan contoh lain, ketika Anda sedang jalan-jalan di mal dan melihat SALE bertebaran, lalu Anda ingin sekali melakukan shopping tak terencana. Saat itulah impulse Anda bergelora.

Konon, orang yang EQnya cerdas, mampu memasang “kendali” atas impulse mereka. Penelitian Marshmallow Test membuktikan bahwa mereka yang memiliki impulse control, masa depannya 2-4 kali lebih bahagia dan lebih baik daripada mereka yang impulse controlnya lemah.

Maka, berdasar indikator pertama ini, menurut Anda, seberapakah impulse control orang Indonesia? Bagaimana dengan gejala para pengemudi di jalanan yang mudah sekali hilang kendali dan melakukan kekerasan di jalanan? Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang susah menahan diri untuk beli gadget baru dan tergolong konsumtif terhadap barang apapun? Bagaimana dengan pejabat negri ini yang mudah sekali dan tanpa punya rem untuk memuaskan nafsu korupsi mereka? Bisakah ini menjadi indikasi bahwa cukup banyak masyarakat kita yang impulse control’nya rendah?

Bagaimana dengan kebanyakan masyarakat kita yang belum bisa menerima perbedaan dan dengan segera “menantang” orang/pihak lain yang berseberangan dengan mereka? Bagaimana pula dengan banyaknya aksi sok hebat dan pamer kekuasaan oleh orang-orang yang baru saja naik levelnya sedikit, bukankah ini juga indikasi ketidakmampuan mereka menahan impulse mereka untuk show off?

Dengan satu indikator ini saja, kita bisa punya gambaran seperti apa kurang lebih kecerdasan emosi kebanyakan masyarakat Indonesia. Belum lagi kalau saya berbicara tentang indikator lain seperti level confident, level empati, level asertiftas, level self awareness, level social awareness, maupun level consequential thinking mereka.

Tentu saja, saya bukan menjelekkan bangsa Indonesia, karena saya sendiri juga orang Indonesia. Namun artikel ini ditulis, untuk menunjukkan betapa EQ adalah PR utama yang perlu diselesaikan untuk bangsa ini. Kecerdasan Emosi (EQ) harusnya menjadi “kurikulum” wajib untuk proses pendidikan. Bukan hanya di sekolah, tapi juga oleh orang tua kepada anak, atasan kepada bawahan, penjual dan konsumen, termasuk juga dalam proses politik, budaya berorganisasi, budaya berkomunikasi, dan juga budaya kita beragama.

Marilah dimulai dari diri kita sendiri untuk meng’upgrade level EQ kita

-Josua Iwan Wahyudi
@josuawahyudi