EQ Mentor Certification Batch XII


Kelas EQ Mentor Certification ini adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia sejak 2010. Kelas ini secara komprehensif dan praktis, akan memberikan Anda kemampuan untuk:

  • Memahami apakah Kecerdasan Emosi (EQ) yang sesungguhnya dan bagaimana dampaknya yang begitu luar biasa untuk seluruh aspek kehidupan kita.
  • Memahami kesalahan-kesalahan penerapan EQ. Banyak orang sudah mendengar soal Kecerdasan Emosi, tetapi hingga kini masih sangat sedikit yang benar pemahamannya dan benar-benar bisa mempraktekkannya
  • Menguasai penggunaan Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan pekerjaan maupun personal
  • Menggunakan Kecerdasan Emosi (EQ) untuk mengelola hubungan dengan orang lain mulai dari hubungan kerja hingga hubungan personal dan keluarga.

Selama 3 hari dalam 12 sesi, Anda akan dituntun dengan sangat praktis oleh Josua Iwan Wahyudi, satu dari sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia, yang berhasil menemukan Cristal EQ Model, yaitu sebuah metode praktek EQ yang sangat mudah dan sederhana untuk diaplikasikan oleh siapapun dalam keadaan apapun!

WITH SUPER BONUSES!

Untuk semakin memperdalam dan memperkuat penguasaan Anda terhadap EQ, kami juga akan memberikan kepada Anda 7 BONUS LUAR BIASA:

  1. ShifThink Emotional Intelligence Test (SEIT), yaitu tes Kecerdasan Emosi (EQ) yang memotret gambaran kompetensi EQ Anda secara menyeluruh. Dengan standar internasional, SEIT menjadi satu-satunya tes EQ di Indonesia yang memberikan gambaran utuh mengenai kondisi EQ Anda.
  2. ShifThink Personality Assessment (SPA), yaitu tes personaliti sekaligus tes daya tahan emosional Anda dalam menghadapi tekanan. Termasuk juga di dalamnya Anda akan mendapatkan gambaran komplit mengenai kecenderungan perilaku dan pola berpikir Anda.
  3. Emotional Root Test (ERT), yaitu tes untuk memetakan akar pola-pola emosi Anda, sehingga dalam waktu sangat singkat, Anda dapat menemukan apa akar penghambat yang selama ini membuat Anda menjadi tidak produktif.
  4. Tes S.O.P.A.N, yaitu tes untuk mengetahui apa yang menjadi tombol emosional penggerak Anda. Melalui tes ini kita juga bisa menggunakannya untuk memetakan tombol emosional orang lain.
  5. Buku E-Factor senilai Rp 150.000,-, satu-satunya buku Kecerdasan Emosi (EQ) yang paling komprehensif, sekaligus praktis dan aplikatif di Indonesia. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, didesain dengan sangat atraktif, namun kaya akan tips dan panduan praktis yang ampuh sekaligus mendalam!
  6. Biodot Stress Assessor, sebuah alat khusus untuk mendeteksi tingkat ketegangan / stres Anda. Alat yang diimpor dari Amerika ini sangat akurat dan cepat dalam memberikan Anda gambaran situasi Anda dan bisa digunakan kapanpun dimanapun secara cepat dan mudah!
  7. Panduan 30 hari EQ Accelerator, yaitu sebuah buku yang berisi tuntunan sederhana untuk dibaca dan dipraktekkan setiap hari selama 30 hari. Dengan mengikuti perjalanan tuntunan dari buku ini, dalam 30 hari Anda akan mengalami pertumbuhan Kecerdasan Emosi yang sangat signifikan. Buku ini juga bisa Anda pakai untuk bahan coaching awal dengan klien maupun orang yang Anda mentor!

Mengingat kelas ini sangat eksklusif, penuh dengan pembelajaran yang interaktif dan juga praktek-praktek personal yang mendalam, maka kami membatasi peserta untuk kelas ini hanya 12 orang saja! Karena itu segeralah bertindak cepat untuk mendaftarkan diri Anda!


PilPres: Ujian Kecerdasan Emosi


Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sikap dan perilaku kita, didorong oleh perasaan (emosi) sebagai penekan tombol “enter” (eksekutornya). Memang betul, rasio dan pikiran kita terus bercampur aduk dengan perasaan di dalam proses kita membuat penilaian, kesimpulan, maupun keputusan. Tetapi, perasaan tetaplah sang eksekutor akhir.

Itu sebabnya, walau rasio kita berkata “ini benar” tetapi ketika hati kita merasa “ada yang salah”, kita tetaplah ragu-ragu untuk bertindak, karena kita tidak memiliki sang eksekutor (yaitu emosi kita) untuk menekan tombol “action”.

Hal ini sudah diteliti dan diperkuat dengan sebuah kejadian dimana seorang pasien sakit ayan yang menjalani operasi dan ketika bagian syaraf tertentu di otak yang berhubungan dengan emosi diputus, maka pasien sangat kesulitan untuk membuat keputusan, bahkan untuk aktifitas sesederhana memasang kancing baju.

Masalahnya, siapa yang berperan untuk mengendalikan si emosi ini? Jika dia yang akan menjadi eksekutor pendorong semua tindakan kita, bukankah berbahaya jika emosi ini dibiarkan liar tak terkendali, atau dikendalikan oleh hal-hal di dalam diri kita, yang tidak kita kenali dan ketahui? Atau bahkan dikendalikan oleh orang lain?

Inilah yang sering terjadi. Banyak orang stres ketika ditanya, “Kenapa kamu stress?”, mereka menjawab “tidak tahu, pokoknya stres aja…”. Banyak orang melakukan bermacam-macam hal karena dorongan perasaan mereka tanpa tahu mengapa perasaan itu bisa muncul dan entah sejak kapan perasaan itu menguasai mereka.

Dalam berbagai seminar tentang Kecerdasan Emosi (EQ), saya berulang-ulang menyatakan bahwa mayoritas manusia, hidup dengan mode “auto-pilot”. Mereka bagaikan robot organik, yang hidup setiap hari hanya untuk menjalankan program tindakan-tindakan yang sudah disodorkan oleh perasaan-perasaan yang menguasai mereka.

Contoh, setiap kali berada dalam situasi yang berisi orang-orang yang tak Anda kenal semuanya, apa yang akan Anda lakukan? Beberapa orang biasanya akan mengajak kenalan orang di sampingnya. Beberapa orang memilih duduk di pojokan menyendiri. Beberapa orang berkeliaran membagi-bagi kartu nama sambil “soak akrab sok dekat”. Nyaris semua perilaku itu terjadi “begitu saja” seperti sebuah program yang di’enter.

Kita memang sadar saat melakukannya. Kita tidak pingsan. Tapi, sebenarnya pikiran tidak sadar kitalah yang melakukannya. Program-program otak kitalah yang melakukannya. Itu sebabnya saya menyebutnya sebagai robot organik.


APA HUBUNGANNYA DENGAN PILPRES?

Saya mengamati, dalam suasana Pilpres ini, banyak orang yang bersikap dan bertindak, karena dorongan-dorongan perasaan yang sangat kuat sekali. Dalam berkampanye, dalam berorasi, dalam adu argumentasi di sosmed, dalam berdebat, dalam deklarasi dan konferensi pers, maupun dalam percakapan informal di warung dan kafe-kafe.

Ada yang digerakkan oleh dorongan emosi kecintaan pada negara, ada yang didorong oleh emosi kemarahan pada ketidakadilan, ada yang didorong oleh emosi takut akan kerusuhan, ada yang didorong oleh emosi kebanggaan sebagai pembela negara. Bermacam-macam sekali, tetapi tidak satupun yang bergerak tanpa dorongan emosi.

Serasional apapun pembelaan, penjelasan, analisa, dan pembenaran yang mereka ungkapkan. Pada akhirnya, di hulu dan akarnya, selalu ada sebuah pemicu emosional yang membuat semuanya benar-benar terlaksana dalam bentuk perkataan, tindakan, dan sikap.

Sekarang pertanyaan lebih jauhnya lagi. Apakah perasaan-perasaan yang mendorong itu, adalah hasil dari program internal Anda sendiri yang Anda juga tidak tahu kapan, dimana, dan kenapa terbentuknya. ATAU, perasaan yang mendorong Anda adalah HASIL PEMROGRAMAN DARI PIHAK TERTENTU? ATAU dorongan perasaan itu adalah hasil pemrograman dari kesadaran Anda sendiri?

Tidak mudah memang membedakan ketiganya.

Perasaan manusia begitu mudah dimanipulasi. Jika Anda belajar tentang mekanisme kerja otak manusia, Anda akan mengerti betapa banyaknya celah yang bisa dipakai untuk mem’program perasaan seseorang dalam waktu singkat dan efektif.

Itu sebabnya, dalam Kecerdasan Emosi (EQ), kemampuan dasar yang paling mendasar yang akan selalu diajarkan di awal adalah: SELF AWARENESS, kesadaran diri. Baru kemudian SOCIAL AWARENESS, kesadaran akan lingkungan sekitar (baik manusia lain maupun alam dan kehidupan).

Bagian AWARENESS ini mengajarkan kepada kita untuk selalu AWAKE (bangun), dan memeriksa, apakah perkataan, sikap, dan perilaku saya ini memang adalah hasil pilihan sadar saya dan bukan karena sedang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan celah emosional saya?

Bayangkan kalau ada orang yang memiliki “lubang emosional” di rasa berharga, dan dia mencoba “menambalnya” dengan mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Lalu ada orang yang bisa membaca gejala itu dan kemudian “memanipulasi” orang itu dengan memberi “makan” pujian dan sanjungan untuk kemudian menanamkan “program-program” perasaan tertentu, sehingga menghasilkan tindakan tertentu. Inilah yang saya ceritakan tadi, orang ini baru saja menjadi korban manipulasi emosi dan semua perbuatannya hanyalah hasil dari pemrograman dari orang lain.

Kesadaran diri adalah sebuah bentuk intervensi terhadap “program-program” yang coba ditanamkan kepada orang lain. Cara paling simpel yang selalu saya ajarkan di kelas EQ adalah: PAUSE. Coba berhenti dulu sebelum berucap atau bertindak (atau membuat status sosmed!).

Lalu kemudian bertanyalah pada diri-sendiri, benarkah ini pilihan sadar saya? Atau jangan-jangan ini kebiasaan berulang saya setiap kali bertemu situasi yang semacam ini? Atau yang lebih bahaya, jangan-jangan ada pihak tertentu yang ingin saya merasa seperti ini dan bersikap seperti ini?

Andaikan, seluruh rakyat Indonesia mengerti konsep dasar dari Kecerdasan Emosi (EQ) ini, tentu kegaduhan pasca Pilpres tidak akan seriuh sekarang (walaupun mungkin juga jadi “kurang seru” yah…).

Tapi sayang, meski istilah Kecerdasan Emosi (EQ) sudah didengungkan dimana-mana, sudah banyak orang yang (entah benar-benar memahami atau tidak) mengajarkannya dimana-mana. Tapi ternyata, masih sangat sedikit yang benar-benar memahami bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan, terutama di masa-masa pasca Pilpres yang penuh dengan “aksi pemrograman” masif seperti saat ini.

Semoga artikel sederhana ini bisa menjadi semacam “wake up call” bagi kita semua, bahwa kita yang seharusnya menjadi tuan atas perasaan kita sendiri. Saat menulis ini pun, saya terus mencoba bertanya pada diri-sendiri, apa yang menggerakkan saya untuk menulis topik ini, apakah emosi saya sudah terkena “virus pemrograman” pihak tertentu?

Lebih jauh lagi, apa dampak tulisan ini kepada orang lain dan suasana keseluruhan?

Bukankah kita semua belajar agama dan belajar ilmu pengetahuan, supaya menjadi orang yang lebih bijaksana dan memiliki pengendalian diri? Mari kita mulai dengan mengambil kendali atas perasaan dan tindakan kita sendiri. Marilah kita menjadi orang-orang yang sadar diri. Marilah menjadi cerdas emosi.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Ternyata, Marah Itu Boleh?


Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak boleh marah dan memandang kemarahan sebagai sesuatu yang buruk. Itu sebabnya banyak orang merasa bahwa marah adalah sebuah momok yang harus dihindari, dihilangkan, dan dibuang dari hidup kita.

Masalahnya, sejak kecil sampai dewasa, kita amat sangat jarang diajari mengenai bagaimana harus mengelola kemarahan di dalam diri kita. Program pendidikan formal yang kita ikuti mengajarkan berbagai pengetahuan canggih namun sangat minim mengajarkan kita soal anger management.

Maka, banyak persepsi negatif yang muncul soal marah. Padahal, dalam Kecerdasan Emosional (EQ), semua emosi/perasaan itu sebenarnya netral dan tergantung kepada bagaimana kita mampu mengelolanya, termasuk marah.

Banyak sekali kesalahpahaman soal Kecerdasan Emosi (EQ) ini. Hampir sebagian besar orang yang saya temui, berpikir bahwa kalau seseorang itu memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, maka dia tidak akan pernah marah. Cara berpikir ini masih terkait dengan paradigma kita yang terbentuk sejak kecil bahwa marah itu selalu diasosiasikan dengan hal yang buruk dan negatif.

Itu sebabnya juga, cukup banyak peserta pelatihan saya yang “komplain” kenapa perusahaannya mengirim dirinya untuk mengikuti workshop Kecerdasan Emosi (EQ). Mereka umumnya berkata, “Saya nggak pernah marah-marah lho pak… Saya juga nggak ada gangguan emosi lho…”

Sekali lagi, pemikiran ini muncul akibat persepsi negatif kita soal marah.

 

> PENTING DIBACA: “Media Sosial Bisa Menumpulkan Kecerdasan Emosi”<<

 

JATI DIRI ‘MARAH’ YANG SESUNGGUHNYA

Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy. ~Aristoteles

Kalimat Aristoteles ini menyingkapkan kepada kita, bahwa marah memiliki sisi lain yang tidak selalu buruk. Bahkan jika dikelola dengan benar, marah bisa menjadi sebuah kekuatan produktif yang luar biasa.

Banyak sekali karya-karya besar dihasilkan oleh dorongan rasa marah yang produktif. Sebagai contoh cepat saja, Richard Branson membuat Virgin Air karena dia mengalami pelayanan yang buruk dari sebuah maskapai penerbangan yang membuat dia kehilangan waktu dan peluang bisnisnya.  “Kemarahan”nya, mendorongnya untuk membuat maskapai penerbangan sendiri dan malah kemudian menjadi salah satu bisnis andalannya.

Banyak karya-karya dan keputusan-keputusan besar saya yang luar biasa, juga didorong oleh rasa marah terhadap sebuah keadaan atau situasi.

Artinya, marah tidaklah selalu buruk. Marah bisa menjadi produktif kalau kita tahu cara mengelolanya. Disinilah istilah Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi lebih jelas, yaitu sebuah kecerdasan/keahlian dalam mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri kita maupun orang lain, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Dengan begitu, secara garis besar, maka kemarahan bisa dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu kemarahan yang destruktif dan kemarahan yang produktfi (marah dengan EQ).

Bedanya ada dimana?

Marah yang destruktif adalah marah yang di luar kendali kita. Umumnya, ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan atau reaksi OTOMATIS dari diri kita. Ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan pelampiasan energi yang tak tertahankan dari dalam diri kita. Biasanya ini terjadi karena terlalu lama memendam kekesalan dan tidak tahu bagaimana mengelolanya.

Tentu saja marah yang destruktif bukanlah hal yang baik. Umumnya, jenis marah inilah yang sering kita jumpai sehingga menimbulkan kesan negatif yang kuat dan membuat kita berpikir bahwa marah selalu jelek.

Tetapi, marah yang produktif, adalah jenis marah seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles, yaitu marah dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

Marah yang produktif adalah marah yang terukur, bahkan terencana. Kita menyadari adanya rasa marah itu dan memang dengan sengaja “menggunakan” energi marah itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang penting.

Ciri-ciri marah produktif adalah:

  1. Kita melakukannya dengan SADAR dan memang kita sedang memilih untuk mengungkapkan kemarahan kita.
  2. Kita tahu kepada siapa kita mengarahkan kemarahan kita, jadi bukan sekedar “hajar semua”
  3. Kita tahu untuk apa kita mengungkapkan kemarahan kita, dan kita memang sudah merencanakan untuk menggunakan marah kita untuk menghasilkan keadaan tertentu (misalnya, ingin mengajari tim kita untuk lebih disiplin, atau ingin melatih anak kita agar bisa respek).
  4. Memberikan pesan solutif yang membangun. Biasanya, marah yang destruktif isinya cuma pelampiasan kekesalan dan seringkali malah menyakiti. Tapi marah produktif, isi pesannya justru ingin membangun dan mengarahkan untuk sesuatu yang lebih baik.
  5. Tahu kapan berhenti. Kalau marah destruktif, kita tak bisa mengendalikan kapan untuk berhenti karena kita “disetir” oleh luapan emosional kita. Tapi marah produktif, kendalinya ada di kita. Kitalah yang memilih kapan kita berhenti.

 

> GRATIS DOWNLOAD Premium Workbook 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi<<

 

TAK MUDAH TAPI BISA

Saya yakin diantara Anda yang membaca artikel ini, banyak yang berpikir “Wah, susah ya marah produktif…”. Itu sebabnya, Aristoteles berkata bahwa “kekuatan” ini tidak dimiliki oleh semua orang (meski semua orang bisa marah).

Ini adalah sebuah kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih. Orang-orang yang memiliki tingkat Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, biasanya mampu mengelola dan memanfaatkan rasa marah mereka untuk tujuan-tujuan yang produktif.

Tapi setidaknya, dari artikel ini, kita belajar bahwa ternyata marah tidak selalu negatif. Marah bahkan bisa menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa dipakai untuk meningkatkan produktifitas. Itu sebabnya, melatih Kecerdasan Emosional (EQ), menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan, terutama kalau kita adalah seorang pemimpin.

Dengan Kecerdasan Emosional (EQ), maka kita bisa mengolah perasaan-perasaan kita (termasuk marah), menjadi aset yang berharga untuk kemajuan hidup kita.

Selamat “berlatih marah”!


>> HARUS TAHU: “Emotional Toxic Leader” ~ Baca Sekarang Juga!<<

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Memahami Karyawan Gen-Y

Sudah 5 tahun terakhir ini, dunia kerja dan bisnis mengalami pergeseran yang cukup drastis. Salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan kultur yang didorong percepatan perkembangan teknologi yang menggila, sehingga menghasilkan generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya.

Para karyawan di kantor mulai diisi oleh mayoritas dari angkatan Gen-Y yang tampak seperti “makhluk” berbeda. Pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan seolah menjadi tidak relevan lagi bagi mereka.

Itu sebabnya, manajemen dan kepemimpinan perlu untuk berubah. Perusahaan yang mampu memberdayakan dan memobilisasi karyawan Gen-Y, akan menerima keuntungan produktifitas yang besar. Sementara mereka yang gagal menyikapi Gen-Y, akan kehilangan daya saingnya secara perlahan.

Namun, keragaman dan luasnya jarak sosial di Indonesia, memunculkan problem tersendiri. Para karyawan Gen-Y di Indonesia, sedikit berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia yang memiliki corak budaya, jarak persebaran geografis yang luas, serta rentang ekonomi sosial yang jauh, menyebabkan pembentukan Gen-Y yang juga bervariasi.

Meski ciri-ciri umum Gen-Y terdapat pada semua golongan, namun secara spesifik, di Indonesia, para karyawan Gen-Y bisa terbagi menjadi 3 golongan besar seperti yang tertera pada grafis informasi berikut ini:



Memahami klasifikasi ini, akan menolong kita untuk menganalisa dan memperhitungkan bagaimana kita akan membangun tim untuk perusahaan atau tim kita. Karena masing-masing klasifikasi memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan mengenali klasifikasi ini juga akan menolong kita untuk lebih memahami tim kita dan menemukan strategi yang tepat untuk memimpin mereka.

Tentu saja klasifikasi ini adalah sebuah generalisasi golongan, sehingga pasti ada ‘anomali’ yang terjadi di masing-masing golongan. Namun, setidaknya, klasifikasi yang dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan selama 5 tahun terakhir ini, akan bisa memberikan kita panduan dan gambaran umum dalam menyikapi para karyawan Gen-Y di sekitar kita.

Selamat memimpin para Gen-Y!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Emotional Toxic Leader

Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.

Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.

Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!

Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:

“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”

Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.

Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:

 

EMOTIONAL VACUUM

Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.

Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.

Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.

Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.

 

RUNAWAY LEADERSHIP

Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.

Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.

Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.

Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.

Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.

Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.

 

PEMERDAYAAN

Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.

Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.

Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.

Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.

Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.

Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

 

Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.

Selamat memimpin!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


3 Tanda Manajer Cerdas Emosi

Media online Norwich University mempublikasikan hasil pengumpulan data mereka, dan menyatakan bahwa para manajer hebat yang menjadi top performer di perusahaan mereka, ternyata 90% dari mereka memiliki kualitas kompetensi Kecerdasan Emosi (EQ) yang lebih tinggi dibandingkan para manajer pada umumnya.

Bahkan, perusahaan Pepsi yang melakukan survey internal dalam perusahaan mereka sendiri, menyatakan bahwa para manajer dan pemimpin yang secara konsisten terus mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) mereka, menolong perusahaan untuk meningkatkan omzet tahunan hingga 15-20%.

Dan yang jauh lebih menarik lagi, hasil penelitian dari Gallup menunjukkan bahwa para manajer yang Kecerdasan Emosi (EQ)nya ‘payah’, mengakibatkan karyawan resign 4 kali lebih banyak dibandingkan jika perusahaan itu memiliki pemimpin-pemimpin yang lebih cerdas emosinya.

Kalau mau dituliskan lagi, masih begitu banyak hasil penelitian yang menguatkan kenyataan bahwa Kecerdasan Emosi berperan jauh lebih penting daripada IQ dan kecerdasan intelektual di dalam leadership.

Pertanyaannya, seperti apakah yang disebut dengan pemimpin cerdas emosi itu? Apa tandanya seorang pemimpin memiliki EQ yang baik?

Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas beberapa indikator EQ yang bagus pada seorang pemimpin. Tidak akan cukup untuk dibahas seluruhnya, itu sebabnya saya hanya akan mengulas dengan singkat 3 indikator dasar saja.

 

SELF AWARENESS

Salah satu ciri seseorang yang memiliki Kecerdasan Emosi yang baik adalah dia memahami dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia bisa mengerti bagaimana pola moodnya, apa yang menjadi dorongan motivasional untuk dirinya, dan apa kekuatan, kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan menyadari kualitas dirinya sendiri, dia dapat mengatur dirinya sendiri agar bisa berkarya sesuai dengan ‘spec’ yang ia miliki.

Para manajer yang cerdas emosi, tahu bagaimana dia menempatkan dirinya agar dia bisa berfungsi maksimal. Dia tahu hal-hal apa yang harus dia hindari agar tidak merusak moodnya. Dia tahu keadaan-keadaan apa yang bisa merusak performanya dan dia mengerti bagaimana untuk menyiasatinya.

Sungguh tidak banyak orang yang benar-benar mengerti mengenai dirinya sendiri. Bahkan, dalam kelas-kelas pelatihan yang saya adakan, lebih dari 80% orang tidak menyadari pola-pola perilakunya sendiri dan tidak mengerti apa yang mengganggu dan merusak produktifitasnya.

 

BATTLE MANAGEMENT

Seorang pemimpin yang baik, tahu ‘pertempuran’ mana yang perlu ia menangkan dan mana yang perlu ia lepaskan. Seringkali, kita harus membiarkan beberapa ‘pertempuran’ terlihat kalah, dalam rangka untuk memenangkan keseluruhan ‘peperangan’.

Misalnya, kadang-kadang kita perlu untuk terlihat ‘mengalah’ kepada bawahan kita demi untuk memenangkan hatinya sehingga ke depannya justru kita bisa menggerakkan dia untuk tujuan yang lebih besar. Para pemimpin ber’EQ tinggi tahu betul kapan harus berjuang dan ngotot, dan kapan harus melepas dan merelakan terlihat kalah.

Masih banyak para manajer yang tidak mau ‘win-win’ dan selalu maunya menang sendiri. Bahkan dalam hal-hal kecil yang sepele, banyak pemimpin tidak mau mengalah dan merasa harus didahulukan, dimenangkan, dan diutamakan terus-menerus.

Battle management adalah sebuah kompetensi yang membutuhkan ketenangan dan kematangan emosional yang tinggi karena biasanya, dalam sebuah perdebatan, perebutan, atau ‘pertempuran’, dorongan emosi kita begitu meluap-luap sulit dikendalikan. Namun para pemimpin cerdas emosi tahu betul bagaimana menjaga emosinya dan melihat keadaan dengan jernih.

 

EMOTIONAL MAKE UP

Emotional Make Up adalah sebuah kemampuan untuk mengolah emosi atau mood, supaya bisa dipakai untuk menampilkan sesuatu yang lebih produktif. Baik emosi yang terjadi dalam diri kita sendiri, maupun terutama emosi orang lain.

Sebagai contoh, jika ada seorang bawahan yang merasa tidak puas dengan rekan kerjanya karena merasa rekan kerjanya mendapat perlakukan yang lebih ‘dianak emaskan’ daripada dirinya. Seorang pemimpin ber’EQ tinggi akan mampu “mengolah” rasa tidak puas itu menjadi sebuah dorongan motivasional agar orang itu meningkatkan kinerjanya dengan lebih banyak lagi.

Inilah Emotional Make Up.

Tentunya untuk melakukan ini, sang manajer harus pandai membaca ‘tombol-tombol’ penggerak emosi bawahannya. Manajer itu harus empatik, peka dengan kecenderungan-kecenderungan bawahannya, dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa yang tepat untuk melakukan ‘make up’ emosi kepada bawahannya yang sedang tidak puas tersebut.

Jika kita mengamati, biasanya para pemimpin-pemimpin hebat, memiliki 3 kemampuan EQ dasar ini dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang tepat.

Jika Anda mau menjadi seorang pemimpin hebat dengan Kecerdasan Emosi yang tinggi, mulailah melatih diri di 3 area tersebut.

Selamat memimpin dengan cerdas emosi!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


MELATIH EMOSI ANAK SEJAK DINI MELALUI DONGENG

Seperti kita ketahui, anak-anak sangat menyukai cerita-cerita dongeng ataupun fiksi. Tapi tahukah Anda bahwa dongeng dan cerita anak-anak mempengaruhi dirinya hingga dewasa? Tidak heran jika Anda masih menjumpai orang dewasa yang masih menyukai super hero atau pun tokoh-tokoh dari cerita fiksi lainnya seperti cerita fairy tale yang pernah mereka ketahui. Anak perempuan yang menyukai tokoh-tokoh putri atau pun para anak laki-laki yang memimpikan dirinya sebagi tokoh jagoan yang bisa memerangi kejahatan membuat film-film yang diproduksi oleh Disney, Dreamworks, Warner Bross dan rumah produksi lainnya tidak pernah kehabisan penggemar.

Cobalah tengok isi bioskop saat pemutaran film-film seperti Captain America, The Avengers, maupun film animasi macam Tangled, Frozen, The Croods, bahkan hingga film yang sangat “khayal” seperti Transformers. Penonton yang memenuhi bioskop bukan hanya anak-anak, tapi malah lebih banyak orang dewasa (terutama yang ketika kanak-kanak pernah “berjumpa” dengan sosok-sosok di film itu melalui komik, cerita, maupun animasi kartun).

Mungkin bagi beberapa orang, dongeng hanya sekedar cerita khayalan saja tapi tidak bagi anak-anak. Kreatifitas seseorang terbentuk dari daya imajinasinya dan imajinasi itu ada di masa kanak-kanak, khususnya di usia golden age (1-5 tahun). Masa dimana setiap orang di sekeliling anak tersebut khususnya orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengan dirinya akan membentuk dan mempengaruhi cara hidup mereka di masa depan.

Tahukah Anda dongeng memiliki kekuatan yang sangat besar untuk psikologi anak dan kecerdasan emosi mereka? Anda bisa melatih kecerdasan emosi anak melalui mendongeng. Indonesia memiliki kaya akan cerita dongeng dari berbagai daerah, seperti cerita Si Kancil. Sayangnya tidak banyak diterapkan oleh orang tua di masa sekarang. Anak-anak lebih banyak disuguhi oleh media elektronik seperti tv dan video games sebagai pilihan orang tua dalam mengasuh anak saat ini. Ketidakseimbangan emosi dalam diri anak pun terjadi.

Dengan mendongeng, Anda bisa mengekspresikan emosi melalui suara-suara binatang yang ada di cerita tersebut atau suara gemuruh petir dan juga suara lainnya dengan berbagai intonasi dan tekanan. Anak-anak jadi mengenal berbagai emosi dari ekspresi suara, wajah dan gerakan Anda. Secara tidak langsung, Anda merangsang kreatifitas dan pengenalan terhadap berbagai macam ekspresi emosi.

Anda bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin Anda wariskan untuk bekal hidup mereka di masa depan dengan memilih cerita dongeng yang sesuai. Sehingga anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan cerita tersebut seperti kejujuran, ketekunan, hormat, dan nilai-nilai lainnya.

Kualitas waktu yang dibentuk dari budaya mendongeng akan membantu mempererat kedekatan hubungan emosional Anda dengan anak Anda. Ada masa dimana anak Anda akan sulit memberikan waktu untuk mendengarkan Anda karena dunianya sudah berubah. Sebuah penelitian menyebutkan rata-rata setiap orang mengingat peristiwa berkesan dan membekas adalah ketika di masa kecil, yaitu peristiwa yang mengandung emosi baik itu peristiwa yang menyedihkan atau pun yang menyenangkan. Dan tentunya Anda pasti menginginkan anak-anak Anda mengingat Anda melalui peristiwa yang menyenangkan bersamanya. Jadi, mulailah luangkan waktu untuk melakukan “dongeng sebelum tidur”, Anda takkan menyangka betapa dahsyat hasil dari waktu 20 menit yang Anda sisihkan untuknya… Sesuatu yang pasti takkan Anda sesali seumur hidup!


TIDAK HANYA SEKEDAR BICARA

Banyak orang yang mengira kalau mereka sudah fasih dalam berbicara, maka mereka menganggap bahwa diri mereka ahli dalam berkomunikasi.

Tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa sering berbicara dan ngobrol menunjukkan bahwa komunikasi mereka tidak ada masalah. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Komunikasi tidak melulu soal bagaimana kita berbicara, bahkan, seringkali ada banyak bentuk komunikasi yang sama sekali tidak melibatkan kata-kata dan ucapan verbal. Lalu, jika demikian, apa yang bisa kita lakukan agar kita benar-benar menjadi ahli komunikasi?

1. MENDENGAR

Saat berkomunikasi, banyak orang cenderung fokus mencoba menyampaikan apa maksud kita. Itu sebabnya banyak kasus dimana orang berlomba-lomba memotong pembicaraan. Bukan kebetulan sebuah pepatah muncul dan menjadi popular dengan pesannya, “manusia diciptakan memiliki 1 mulut dan 2 telinga supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara”.

Di dalam komunikasi ada saatnya mendengarkan dan ada saatnya berbicara. Mendengarkan di sini artinya  tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi menyimak. Menyimak akan memperlihatkan tanda keperdulian Anda terhadap apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Ketika Anda bertanya kepada orang lain, simaklah jawabannya. Jangan hanya perhatikan kata-kata yang mereka ucapkan, tapi juga bagaimana mereka berbicara. Ajukan pertanyaan yang menyambung pembicaraan. Perhatikan pendapat dan ide mereka. Komunikasi tanpa menyimak akan membuat komunikasi tidak berlangsung dengan baik.

Banyak kasus kesalahpahaman komunikasi dan konflik muncul bukan karena maksud yang tak tersampaikan, melainkan kita yang gagal menangkap apa maksud yang coba disampaikan orang lain.

2. MENYADARI AREA YANG LEMAH DAN MEMPERBAIKINYA

Kita perlu menyadari bahwa dengan hanya bertukar kata tidak menjamin komunikasi sudah baik. Hubungan yang harmonis sekali pun memiliki saat-saat dimana tiba-tiba komunikasi kita terasa tidak “nyambung”.

Komunikasi tidak hanya berbicara tentang apa yang ingin disampaikan, tetapi juga tahu kapan dan bagaimana menyampaikannya. Itu sebabnya, kita harus belajar mengevaluasi cara-cara kita dalam berkomunikasi, meminta feedback dari orang-orang terdekat kita, dan terbuka untuk belajar cara-cara orang lain.

Ingat, sama seperti dulu kita belajar berjalan, menulis, berhitung, menyetir mobil, dan banyak keahlian lainnya, begitu pula dengan komunikasi, kita perlu terus belajar menyempurnakan cara-cara komunikasi kita.

3. ENERGI EMOSI

Inilah faktor yang paling jarang disadari oleh kebanyakan orang. Komunikasi tidak hanya terjadi melalui apa yang terlihat, tetapi apa yang tak terlihat dari dalam diri kita juga turut berkomunikasi, yaitu energi emosional.

Sadar tak sadar, saat Anda marah, tanpa perlu mengeluarkan kata-kata dan menunjukkan dari wajah Anda, seringkali energi marah Anda bisa dirasakan oleh orang lain. Itu sebabnya, dalam berkomunikasi Anda harus menyadari energi apa yang Anda radiasikan kepada orang lain.

Banyak pemimpin mencoba memotivasi bawahannya namun ia meradiasikan energy pesimisme. Maka, meski kata-katanya adalah ucapan optimis, namun bawahannya bisa merasakan bahwa sebenarnya pemimpin mereka pesimis.

Itu sebabnya ahli komunikasi yang cerdas mampu melakukan “emotion switch”, yaitu mengubah energi emosi mereka dan mood mereka untuk mendukung isi komunikasi yang sedang mereka sampaikan kepada orang lain.

Nah, selamat berlatih kembali!


MEMBANGUN INTEGRITAS

Banyak orang mengira bahwa promosi, peningkatan karir, pertumbuhan bisnis, atau kemajuan hidup, hanya didasarkan pada kerja keras, keahlian-keahlian, dan sikap optimis. Sedikit orang yang sadar bahwa ada sebuah faktor penting yang memang tampak “kecil” namun efeknya sangat besar. Faktor tersebut bernama Integritas.

Bayangkan jika Anda memiliki bawahan yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Bayangkan Anda berbisnis dengan orang yang bisa berubah-ubah isi janji dan perkataannya. Bayangkan jika sebuah perusahaan tidak memegang komitmen dan prinsip yang mereka publikasikan. Mungkinkah orang lain mau berhubungan lebih lanjut?

Disinilah integritas berperan penting dalam mengokohkan kaki kita di jalur kemajuan.

Bahkan, dalam banyak kasus, orang yang memiliki integritas akan lebih dipercaya daripada mereka yang hanya sekedar ahli tapi sulit dipercaya. Karena itu, cobalah lihat bagaimana “level” integritas Anda… Sudahkah Anda menerapkan 4 indikator integritas sederhana berikut ini:

1. Setia dan tidak meremehkan hal-hal kecil

Kita sering menganggap remeh keteledoran-keteledoran kecil. Kita seringkali tidak ambil pusing dengan “pengingkaran-pengingkaran” kecil. Tapi tahukah Anda? Jika Anda melakukan berulang kali dan terus menerus, tanpa Anda sadari, Anda membangun suatu kebiasaan baru yang membuat orang lain perlahan-lahan bisa melihat bahwa ternyata Anda bukan orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Bangun komitmen dan jaga konsistensi secara terus menerus untuk setia terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang Anda pegang meski mengandung resiko kehilangan kenyamanan Anda.

2. Melakukan secara konsisten apapun situasinya

Kebudayaan di sekeliling kita membangun suatu gaya hidup perasaan yang bernama “tidak enak”. Hal ini yang membuat seseorang terlihat “plin-plan” dan tidak konsisten sehingga ia kehilangan integritasnya. Belajarlah untuk mulai konsisten dalam hal-hal yang sederhana dulu. Misalnya, jika Anda sudah berkomitmen untuk tidak buang sampah sembarangan, maka meski berada di lingkungan yang semuanya membuang sampah dan Anda diminta untuk membuangkan sampah teman di jalan, berusahalah memegang komitmen Anda secara konsisten meski di situasi sulit. Disitulah karakter integritas Anda diperkuat.

3. Membangun budaya kepercayaan.

Membangun kepercayaan tentunya tidak mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan perlu terus dijaga. Anda bisa mulai membantu menciptakan budaya ini di lingkungan kerja Anda. Belajarlah melakukan apa yang sudah Anda janjikan atau katakan, dan beranilah menanggung akibat dari tindakan-tindakan Anda. Banyak orang dianggap kurang berintegritas karena melempar tanggung jawab saat terjadi kesalahan.

4. Berperilaku seperti sedang diawasi

Seringkali ditemukan para pekerja di perusahaan hanya bekerja secara optimal jika ada yang mengawasi atau ada atasan. Mulai sekarang, berusahalah melakukan yang terbaik meski tidak sedang diawasi. Contoh sederhana, taatilah lampu merah meski tidak ada polisi yang mengawasi, karena disitulah integritas kita diuji. Integritas justru dipraktekkan bukan saat dilihat orang, melainkan pada saat tidak ada siapa-siapa disana.

Percayalah, orang yang memiliki integritas kuat, tak akan pernah kekurangan dukungan. Orang yang memiliki integritas, meski melewati masa sulit, akan selalu ada orang lain yang menolong dan memberi jalan padanya, karena integritas seperti nyala cahaya di tengah malam, begitu langka namun terlihat jelas oleh orang lain.


EQ Coaching Indonesian Idol 2014

Tanggal 5 April 2014, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, kembali dipercaya untuk memberikan EQ Coaching kepada finalis Indonesian Idol, kali ini Master Trainer EQ Indonesia memberikan tips melakukan “mood management” kepada Husein, Gio, Virzha, dan Ubay (minus Yuka dan Nowella yang sedang sakit), yang masih bertahan dalam babak 6 besar Indonesian Idol 2014.

Dalam sesi EQ Coaching ini, Josua Iwan Wahyudi memberikan 3 tips praktis yang bisa dipraktekkan dengan sangat singkat untuk meningkatkan mood dan perasaan kita terutama dalam menghadapi kompetisi yang ketat, menghadapi situasi sulit yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan dalam menghadapi perjuangan meraih target.

Dengan memberikan banyak contoh nyata baik di industri musik maupun industri diluar musik, Master Trainer EQ  Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, mencoba menunjukkan betapa pentingnya memiliki mood yang stabil dan memiliki kemampuan emotional management yang bisa memunculkan best performance dalam kondisi apapun. Dalam sesi ini, setiap finalis semakin menyadari betapa pentingnya memiliki mood management yang baik agar selalu bisa memberikan penampilan terbaik.