Apa Kecerdasan Emosi Itu?

Pada tahun 1994, majalah Time memuat ulasan panjang mengenai EQ (Emotional Quotient). Ulasan itu berusaha menunjukkan fakta-fakta yang menguatkan dugaan bahwa ternyata untuk berhasil dalam kehidupan, EQ (atau Kecerdasan Emosi) memainkan peranan yang lebih penting dari IQ (kecerdasan Intelektual).

Sejak saat itu, Kecerdasan Emosi mulai menjadi populer dan banyak perusahaan maupun organisasi mulai sadar untuk mengembangkan EQ karyawannya.

Di Indonesia sendiri, istilah EQ walaupun sudah banyak didengar, namun sayang pemahaman orang mengenai EQ sendiri masihlah sangat minim. Paling-paling, orang hanya mengetahui bahwa Kecerdasan Emosi adalah sama dengan pandai mengelola emosi. Namun, apa yang dimaksud dengan “pandai mengelola emosi” itu sendiri belumlah dipahami dengan benar.

Masih sangat banyak orang yang mengira bahwa EQ berkaitan dengan soal “marah-marah”. Banyak peserta pelatihan saya yang datang di sesi pertama dengan wajah tak senang lantaran dia merasa perusahaannya cukup konyol mengirimkan dia mengikuti training EQ. Dia merasa perusahannya “menuduhnya” tukang marah sehingga mengirimnya untuk belajar EQ.

Kecerdasan Emosi bukan cuma sekedar ilmu untuk mengendalikan kemarahan. Kecerdasan Emosi juga bukan ilmu soal menjadi bersimpati dengan orang lain. Dengan pemahaman yang salah seperti ini, maka banyak orang berpikir bahwa Kecerdasan Emosi (EQ) adalah ilmu untuk menjadi “orang baik” (nice guy). Padahal, itu adalah pemahaman yang jauh menyimpang dari pengertian yang sesungguhnya.

Sedikitnya orang yang benar-benar mendalami Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia, ditambah orang-orang yang “sok tahu” serta mengajarkan EQ secara serampangan, menjadikan Kecerdasan Emosi (EQ) yang tadinya sangat powerful dan luar biasa dalam menolong hidup kita untuk sukses, menjadi dianggap tak penting dan “cuma gitu aja” pengaruhnya.

 

JADI APA SEBENARNYA KECERDASAN EMOSI ITU?

Sudah ada banyak buku yang menulis soal EQ, tapi seringkali definisi mereka soal Kecerdasan Emosi malah bisa rumit dan membingungkan. Maka, di artikel ini, saya ingin menjelaskan sebuah definisi yang mudah dan sederhana.

Kecerdasan Emosi adalah kemampuan untuk mengerti perasaan apa yang terjadi dalam diri seseorang, dan bisa memakai perasaan itu untuk menghasilkan keputusan/tindakan yang lebih produktif.

Contohnya. Banyak orang tidak sadar bahwa dirinya stres. Banyak orang sadar dirinya stres tapi tidak tahu harus di’apa’kan rasa stres itu. Banyak orang tidak mengerti kenapa dia bisa merasa sedih tiap kali diabaikan. Banyak orang tidak sadar dia membeli sesuatu karena perasaannya lagi tidak baik. Banyak orang tidak mengerti bahwa lawan bicaranya sudah bosan mendengar dia ngomong. Banyak orang tidak mengerti bagaimana berhadapan dengan orang yang gampang marah. Dan masih panjang lagi daftarnya…

Semua contoh di atas adalah contoh bagaimana EQ dibutuhkan dalam hidup kita.

Bahkan, berbagai riset sahih sudah membuktikan bahwa Kecerdasan Emosi (EQ) sangat menentukan kualitas leadership, menaikkan tingkat penjualan para salesman, melipatgandakan kinerja dan produktifitas kerja karyawan, membuat customer service lebih efektif, menaikkan angka keberhasilan pendidikan, mempermudah komunikasi dan terjadinya kerjasama tim, serta secara personal, EQ menolong terciptanya pernikahan yang lebih bahagia dan kehidupan pribadi yang lebih memuaskan.

Apalagi di era digital sekarang ini, EQ lebih-lebih menjadi sebuah kebutuhan mutlak untuk dikuasai karena hasil riset menunjukkan banyak orang menjadi lebih mudah depresi dan moodnya terganggu setelah berselancar di media sosial. Itu sebabnya muncul istilah “Digital Emotional Quotient”, yaitu sebuah ilmu yang membahas soal bagaimana menerapkan EQ untuk kehidupan bersosialisasi dalam dunia digital.

Perasaan-perasaan kita sangatlah menentukan keputusan-keputusan kita. Tanpa kesadaran dan pengelolaan yang cerdas, maka perasaan kita bisa “liar” tak terkendali dalam mengarahkan kita kepada keputusan-keputusan yang tidak produktif.

Ini juga alasan mengapa World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai 1 dari 10 kemampuan yang mutlak wajib dikuasai di tahun 2020.

Sudahkah Anda memahami soal Kecerdasan Emosi ini? Sudahkah Anda menguasainya? Sudahkah tim Anda dan organisasi Anda memahami pentingnya EQ?

Saatnya meng’upgrade diri. Mulailah belajar Kecerdasan Emosi (EQ) dari sumber yang benar. Mulai dari membaca artikel-artikel di website ini dan follow akun intagram saya – @josuaiwanwahyudi (saya sering posting berbagai informasi tentang EQ). Supaya Anda menjadi lebih efektif dan produktif dalam mengambil keputusan.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Memahami Karyawan Gen-Y

Sudah 5 tahun terakhir ini, dunia kerja dan bisnis mengalami pergeseran yang cukup drastis. Salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan kultur yang didorong percepatan perkembangan teknologi yang menggila, sehingga menghasilkan generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya.

Para karyawan di kantor mulai diisi oleh mayoritas dari angkatan Gen-Y yang tampak seperti “makhluk” berbeda. Pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan seolah menjadi tidak relevan lagi bagi mereka.

Itu sebabnya, manajemen dan kepemimpinan perlu untuk berubah. Perusahaan yang mampu memberdayakan dan memobilisasi karyawan Gen-Y, akan menerima keuntungan produktifitas yang besar. Sementara mereka yang gagal menyikapi Gen-Y, akan kehilangan daya saingnya secara perlahan.

Namun, keragaman dan luasnya jarak sosial di Indonesia, memunculkan problem tersendiri. Para karyawan Gen-Y di Indonesia, sedikit berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia yang memiliki corak budaya, jarak persebaran geografis yang luas, serta rentang ekonomi sosial yang jauh, menyebabkan pembentukan Gen-Y yang juga bervariasi.

Meski ciri-ciri umum Gen-Y terdapat pada semua golongan, namun secara spesifik, di Indonesia, para karyawan Gen-Y bisa terbagi menjadi 3 golongan besar seperti yang tertera pada grafis informasi berikut ini:



Memahami klasifikasi ini, akan menolong kita untuk menganalisa dan memperhitungkan bagaimana kita akan membangun tim untuk perusahaan atau tim kita. Karena masing-masing klasifikasi memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan mengenali klasifikasi ini juga akan menolong kita untuk lebih memahami tim kita dan menemukan strategi yang tepat untuk memimpin mereka.

Tentu saja klasifikasi ini adalah sebuah generalisasi golongan, sehingga pasti ada ‘anomali’ yang terjadi di masing-masing golongan. Namun, setidaknya, klasifikasi yang dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan selama 5 tahun terakhir ini, akan bisa memberikan kita panduan dan gambaran umum dalam menyikapi para karyawan Gen-Y di sekitar kita.

Selamat memimpin para Gen-Y!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Emotional Toxic Leader

Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.

Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.

Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!

Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:

“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”

Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.

Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:

 

EMOTIONAL VACUUM

Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.

Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.

Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.

Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.

 

RUNAWAY LEADERSHIP

Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.

Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.

Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.

Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.

Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.

Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.

 

PEMERDAYAAN

Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.

Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.

Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.

Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.

Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.

Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

 

Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.

Selamat memimpin!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


3 Tanda Manajer Cerdas Emosi

Media online Norwich University mempublikasikan hasil pengumpulan data mereka, dan menyatakan bahwa para manajer hebat yang menjadi top performer di perusahaan mereka, ternyata 90% dari mereka memiliki kualitas kompetensi Kecerdasan Emosi (EQ) yang lebih tinggi dibandingkan para manajer pada umumnya.

Bahkan, perusahaan Pepsi yang melakukan survey internal dalam perusahaan mereka sendiri, menyatakan bahwa para manajer dan pemimpin yang secara konsisten terus mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) mereka, menolong perusahaan untuk meningkatkan omzet tahunan hingga 15-20%.

Dan yang jauh lebih menarik lagi, hasil penelitian dari Gallup menunjukkan bahwa para manajer yang Kecerdasan Emosi (EQ)nya ‘payah’, mengakibatkan karyawan resign 4 kali lebih banyak dibandingkan jika perusahaan itu memiliki pemimpin-pemimpin yang lebih cerdas emosinya.

Kalau mau dituliskan lagi, masih begitu banyak hasil penelitian yang menguatkan kenyataan bahwa Kecerdasan Emosi berperan jauh lebih penting daripada IQ dan kecerdasan intelektual di dalam leadership.

Pertanyaannya, seperti apakah yang disebut dengan pemimpin cerdas emosi itu? Apa tandanya seorang pemimpin memiliki EQ yang baik?

Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas beberapa indikator EQ yang bagus pada seorang pemimpin. Tidak akan cukup untuk dibahas seluruhnya, itu sebabnya saya hanya akan mengulas dengan singkat 3 indikator dasar saja.

 

SELF AWARENESS

Salah satu ciri seseorang yang memiliki Kecerdasan Emosi yang baik adalah dia memahami dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia bisa mengerti bagaimana pola moodnya, apa yang menjadi dorongan motivasional untuk dirinya, dan apa kekuatan, kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan menyadari kualitas dirinya sendiri, dia dapat mengatur dirinya sendiri agar bisa berkarya sesuai dengan ‘spec’ yang ia miliki.

Para manajer yang cerdas emosi, tahu bagaimana dia menempatkan dirinya agar dia bisa berfungsi maksimal. Dia tahu hal-hal apa yang harus dia hindari agar tidak merusak moodnya. Dia tahu keadaan-keadaan apa yang bisa merusak performanya dan dia mengerti bagaimana untuk menyiasatinya.

Sungguh tidak banyak orang yang benar-benar mengerti mengenai dirinya sendiri. Bahkan, dalam kelas-kelas pelatihan yang saya adakan, lebih dari 80% orang tidak menyadari pola-pola perilakunya sendiri dan tidak mengerti apa yang mengganggu dan merusak produktifitasnya.

 

BATTLE MANAGEMENT

Seorang pemimpin yang baik, tahu ‘pertempuran’ mana yang perlu ia menangkan dan mana yang perlu ia lepaskan. Seringkali, kita harus membiarkan beberapa ‘pertempuran’ terlihat kalah, dalam rangka untuk memenangkan keseluruhan ‘peperangan’.

Misalnya, kadang-kadang kita perlu untuk terlihat ‘mengalah’ kepada bawahan kita demi untuk memenangkan hatinya sehingga ke depannya justru kita bisa menggerakkan dia untuk tujuan yang lebih besar. Para pemimpin ber’EQ tinggi tahu betul kapan harus berjuang dan ngotot, dan kapan harus melepas dan merelakan terlihat kalah.

Masih banyak para manajer yang tidak mau ‘win-win’ dan selalu maunya menang sendiri. Bahkan dalam hal-hal kecil yang sepele, banyak pemimpin tidak mau mengalah dan merasa harus didahulukan, dimenangkan, dan diutamakan terus-menerus.

Battle management adalah sebuah kompetensi yang membutuhkan ketenangan dan kematangan emosional yang tinggi karena biasanya, dalam sebuah perdebatan, perebutan, atau ‘pertempuran’, dorongan emosi kita begitu meluap-luap sulit dikendalikan. Namun para pemimpin cerdas emosi tahu betul bagaimana menjaga emosinya dan melihat keadaan dengan jernih.

 

EMOTIONAL MAKE UP

Emotional Make Up adalah sebuah kemampuan untuk mengolah emosi atau mood, supaya bisa dipakai untuk menampilkan sesuatu yang lebih produktif. Baik emosi yang terjadi dalam diri kita sendiri, maupun terutama emosi orang lain.

Sebagai contoh, jika ada seorang bawahan yang merasa tidak puas dengan rekan kerjanya karena merasa rekan kerjanya mendapat perlakukan yang lebih ‘dianak emaskan’ daripada dirinya. Seorang pemimpin ber’EQ tinggi akan mampu “mengolah” rasa tidak puas itu menjadi sebuah dorongan motivasional agar orang itu meningkatkan kinerjanya dengan lebih banyak lagi.

Inilah Emotional Make Up.

Tentunya untuk melakukan ini, sang manajer harus pandai membaca ‘tombol-tombol’ penggerak emosi bawahannya. Manajer itu harus empatik, peka dengan kecenderungan-kecenderungan bawahannya, dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa yang tepat untuk melakukan ‘make up’ emosi kepada bawahannya yang sedang tidak puas tersebut.

Jika kita mengamati, biasanya para pemimpin-pemimpin hebat, memiliki 3 kemampuan EQ dasar ini dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang tepat.

Jika Anda mau menjadi seorang pemimpin hebat dengan Kecerdasan Emosi yang tinggi, mulailah melatih diri di 3 area tersebut.

Selamat memimpin dengan cerdas emosi!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


AHOK: EQ’nya Tinggi atau Jongkok?

Sejak awal terpilih menjadi wakil gubernur DKI, gaya kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama atau khas dipanggil Ahok sudah menuai pro dan kontra. Penggunaan kata-kata yang frontal, tanpa “polesan” sedikitpun dan tidak jarang dibumbui dengan gerakan tubuh dan ekspresi wajah yang “menyala-nyala” membuat banyak masyarakat kita yang shock karena seolah sangat tidak mewakili ke”timur”an kita.

Namun, di satu sisi, banyak juga yang senang dan mendukung gaya Ahok karena sebenarnya semua yang disampaikan dan dilakukan Ahok mungkin mewakili isi hati dan bentuk perilaku yang ingin mereka ungkapkan, tapi tak punya kesempatan. Sehingga, ketika ada seorang Ahok yang tanpa “babibu” menghajar siapapun yang menurutnya tidak benar, sebagian orang merasa terpuaskan akhirnya ada yang bisa melakukan itu.

Artikel saya kali ini sama sekali tidak akan membahas apakah gaya Ahok itu benar atau salah. Terlalu banyak perdebatan tiada akhir yang sudah membahas hal itu.

Sebagai seorang pakar Kecerdasan Emosi (EQ), justru ada sisi yang lebih menarik untuk dibahas, yaitu, dengan gaya komunikasi dan kepemimpinan yang diterapkan Ahok, apakah dia bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi? Atau malah sebaliknya?

.

MISPERSEPSI EQ

Untuk bisa menyebut seseorang pintar, kita harus punya pemahaman dan indikator seperti apa pintar itu. Untuk bisa menyebut seseorang cantik, kita harus punya pemahaman dan indikator seperti apa cantik itu. Dan begitu pula dengan Kecerdasan Emosi (EQ), untuk bisa menyebut seseorang EQ’nya tinggi atau rendah, kita juga harus memahami lebih dulu apakah Kecerdasan Emosi (EQ) itu dan apa indikator-indikatornya. (Baca tulisan saya “3 tanda Kecerdasan Emosi (EQ) yang baik”).

Masih banyak orang yang memahami Kecerdasan Emosi (EQ) dengan indikator sabar, baik hati, tidak mudah marah, santun, dan kalem. Jika pemahaman kita seperti itu, maka dengan cepat kita akan menyimpulkan Ahok EQ’nya sangat buruk.

Namun, pemahaman di atas BUKANLAH pemahaman EQ yang benar.

Seperti yang selalu saya jelaskan dalam seminar, workshop, dan training EQ yang saya bawakan, Kecerdasan Emosi (EQ) berbicara mengenai kemampuan seseorang untuk MENYADARI semua perasaan yang muncul dalam dirinya (maupun orang lain) dan MENGGUNAKANNYA untuk hasil akhir yang PRODUKTIF! Inilah definisi Kecerdasan Emosi (EQ) yang paling simpel dan aplikatif menurut saya.

Contoh, jika seseorang sedang merasa marah, maka jika orang itu cerdas emosi, dia akan SADAR bahwa dia sedang marah, tahu kenapa alasan dia menjadi marah, dan tahu apa saja yang bisa terjadi jika dia marah. Artinya, orang ini AWARE dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi ketika dia marah.

Sebaliknya, jika orang itu buruk EQ’nya, ketika dia marah, mungkin bahkan dia sudah kehilangan separuh AWARENESSnya karena perasaan marahnya sudah meluap-luap dan membuatnya “tertutup” dari kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika dia marah.

Inilah yang terjadi pada kasus-kasus yang kita jumpai dalam acara-acara kriminal di televisi, dimana sebagian besar pelaku pembunuhan atau kekerasan bahkan tidak bisa mengontrol dirinya sendiri dan “khilaf” atau “hilang sesaat” akibat dorongan emosi yang terlalu kuat. Sehingga, emosinya mengalahkan kesadarannya. Pada titik ini, bahkan biasanya kita kehilangan AWARENESS kita terhadap situasi sekitar kita, apa-apa yang sedang terjadi, dan (apalagi) apa-apa yang bisa terjadi di kemudian hari.

.

MENGGUNAKAN UNTUK PRODUKTIFITAS

Selain menjaga kesadaran (awareness) terhadap diri-sendiri dan sekitarnya, orang yang Ber’EQ tinggi juga mampu mengolah, mengatur, dan MENGGUNAKAN atau MEMBERDAYAKAN perasaan yang dia alami maupun orang lain alami untuk mencapai sebuah hasil yang ia anggap PRODUKTIF. Tentu saja ukuran produktif ini berbeda-beda pada tiap orang, tapi at least, kalau seseorang masih sempat berpikir mengenai hasil yang produktif, yaitu hasil yang terbaik dari berbagai kemungkinan hasil yang ada, maka itu artinya dia masih dalam kondisi AWARE (sadar).

Maka, untuk mencapai kondisi hasil akhir yang produktif itulah orang yang ber’EQ tinggi bisa “memanfaatkan” apa yang dia rasakan, maupun dirasakan oleh orang lain.

Contoh, jika kita tahu bahwa satu-satunya cara untuk membuat seseorang keluar dari sebuah ruangan adalah dengan “memanfaatkan” rasa takut dia, maka jika kita memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi, kita akan mampu “membaca” apa titik-titik ketakutan orang itu dan melakukan hal-hal yang menakutkan untuk membuat dia bergerak keluar (mencapai kondisi akhir produktif).

.

BAGAIMANA DENGAN AHOK?

Nah, jika dirangkum dengan sederhana, 3 indikator umum orang yang memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi adalah memiliki kesadaran (awareness) terhadap diri-sendiri dan orang lain, kemudian mampu mengelola dan memanfaatkannya untuk mencapai hasil akhir yang produktif (menurut dia).

Lalu bagaimana dengan Ahok? Apakah Ahok melakukan 3 hal yang “cerdas emosi” tersebut?

Mari kita tilik satu-persatu. Apakah ketika Ahok marah-marah dan bertindak “agresif”, dia melakukannya masih dalam kondisi aware? Atau itu hasil luapan emosi yang tak terkontrol?

Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang masih dalam kondisi aware? Orang itu sadar apa konsekuensi tindakannya dan SIAP MENERIMA konsekuensinya. Jadi, EQ bukan berbicara pada “marah-marahnya”, tetapi lebih kepada “ketika dia marah, apakah dia MEMUTUSKAN dengan sadar untuk marah dan tahu apa akibatnya serta siap menanggung akibat tersebut”?

Menurut Anda, apakah Ahok melakukan semua yang dia tunjukkan selama ini dengan SADAR dan memang MEMILIH untuk bertindak demikian? Menurut Anda, apakah Ahok sudah menghitung semua konsekuensi-konsekuensinya dan siap menanggung konsekuensi itu? Menurut Anda, apakah Ahok “hilang sesaat”, khilaf, tak terkontrol, dan menyesali apa yang dia lakukan kemudian? Silahkan Anda menilainya sendiri dari kacamata pengamatan Anda dan kemudian memutuskan di bagian awareness ini apakah dia memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) yang baik atau tidak.

Lalu yang berikutnya,

Dari sisi Menggunakan emosi untuk hasil akhir yang produktif, menurut Anda, apakah Ahok dengan sadar MEMUTUSKAN untuk menjadi agresif dan “menekan” agar dia bisa mencapai hasil akhir yang menurut dia produktif? Menurut Anda, apakah tindakan represif dan frontalnya itu lahir dari sebuah “strategi” yang memang dia pilih, atau sekedar ledakan emosi sesaat yang tak bisa ia kendalikan dan muncul tanpa bisa dia kontrol?

Menurut Anda, apakah yang dia lakukan selama ini adalah “in purpose” atau hanya sekedar sebuah nature dan habit yang mengendalikan dia?

Bahkan, lebih ekstrim lagi, pemilihan kata-kata (yang bagi sebagian orang seharusnya tak pantas diucapkan oleh orang sekaliber “leader” seperti Ahok) yang dia pilih, menurut Anda, itu memang dengan SADAR dia putuskan untuk diucapkan atau sekedar lahir dari reaksi otomatisnya ketika dia sedang emosional?

Sekali lagi, dari kacamata pengamatan Anda sendiri, silahkan Anda menentukan apakah Ahok memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) yang tinggi atau malah jongkok?

.

JADI, AHOK CERDAS EMOSI ATAU TIDAK?

Sejak awal, saya memang tidak ingin menjawab pertanyaan ini melalui artikel yang saya tulis. Saya hanya ingin memaparkan definisi Kecerdasan Emosi (EQ) yang sesungguhnya dan membiarkan Anda menilai sendiri, sesungguhnya apakah Ahok memang cerdas emosi? Atau dia hanyalah seorang monster emosional? Silahkan Anda tentukan sendiri.

Untuk menambah pemahaman Anda tentang EQ, silahkan membaca ini.

.

JOSUA IWAN WAHYUDI
Master Trainer EQ Indonesia
@josuawahyudi


Executive MBTI Leadership Training Abbalove

Pada tanggal 18 September 2013, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, diminta untuk memberikan training Leadership with MBTI untuk executive leader dari Abbalove Ministries. Selain memberikan training MBTI, Josua Iwan Wahyudi bersama tim Shifthink Training Center juga melakukan analisa leadership behaviour terhadap 23 executive leader yang ada.

Assessment ini meliputi dari analisa tipe MBTI, hingga pemetaan Leadership Role, analisa Organizational Behaviour, Leadership Behaviour, dan juga analisa individual performance tendencies.

Shifthink Training Center sendiri adalah satu-satunya lembaga pelatihan di Indonesia yang mampu memberikan assessment MBTI hingga level advanced, Lv.2, dan dilengkapi dengan Leadership Role. Dan pelatihan MBTI yang dibawakan Josua Iwan Wahyudi sangat berbeda dari provider lain karena beliau memberikan contoh-contoh aplikatif dan memberikan langkah penerapan yang kontekstual dengan organisasi klien.

Melalui program assessment dan pelatihan ini, setidaknya tim kepemimpinan menjadi lebih jelas dengan peta kekuatan dan mampu merumuskan placement, perencanaan, dan program pengembangan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.


Leadership Seminar

 Pada tanggal 24 Maret, EQ Master Trainer kita Josua Iwan Wahyudi berkesempatan untuk membawakan workshop leadership selama 2 sesi di GIA Bandung.

Dalam kesempatan kali ini, EQ Master Trainer kita Josua Iwan Wahyudi membawakan topik “Trustworthiness” sebagai salah satu karakter fundamental yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan beberapa simulasi dan games yang menarik, beliau menjelaskan bahwa seorang pemimpin sejati lebih dipilih karena kapasitas dan karakternya ketimbang karena posisi dan jabatannya.

Dengan menunjukkan kasus-kasus nyata yang terjadi di kehidupan sekitar, peserta dituntun untuk mulai membangun karakter menjadi seorang pemimpin yang bisa diandalkan dan dipercaya oleh orang-orang di sekitar mereka.


Workshop People Skill Batch 1

Pada tanggal 18 September 2010, Shifthink mengadakan workshop “Mastering Your People Skill” batch pertama di Hotel Ciputra Jakarta! Workshop ini menjadi sangat istimewa karena inilah workshop people skill dengan harga termurah di Indonesia! Mengapa kami berani mengatakan demikian? Karena hanya dengan sekitar Rp 200.000, peserta bukan hanya mendapatkan 2 sesi full materi, tetapi mereka juga akan membawa pulang SEMUA slide, assessment, video clip, image, dan juga e-book 200 halaman berisi penjelasan materi!

Sekitar 46 orang yang mengikuti workshop ini mengaku sangat puas dengan penyampaian atraktif oleh Master Trainer EQ Indonesia, Josua IwanWahyudi. Dan bahkan beberapa peserta cukup kaget karena mereka baru pertama kalinya mengikuti workshop dengan membawa pulang “oleh-oleh” semua bahan workshop dan bahan presentasinya.

Workshop ini adalah bagian dari komitmen Shifthink untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang low budget namun HIGH IMPACT! Karena itu jangan lewatkan batch berikutnya!