Ternyata, Marah Itu Boleh?


Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak boleh marah dan memandang kemarahan sebagai sesuatu yang buruk. Itu sebabnya banyak orang merasa bahwa marah adalah sebuah momok yang harus dihindari, dihilangkan, dan dibuang dari hidup kita.

Masalahnya, sejak kecil sampai dewasa, kita amat sangat jarang diajari mengenai bagaimana harus mengelola kemarahan di dalam diri kita. Program pendidikan formal yang kita ikuti mengajarkan berbagai pengetahuan canggih namun sangat minim mengajarkan kita soal anger management.

Maka, banyak persepsi negatif yang muncul soal marah. Padahal, dalam Kecerdasan Emosional (EQ), semua emosi/perasaan itu sebenarnya netral dan tergantung kepada bagaimana kita mampu mengelolanya, termasuk marah.

Banyak sekali kesalahpahaman soal Kecerdasan Emosi (EQ) ini. Hampir sebagian besar orang yang saya temui, berpikir bahwa kalau seseorang itu memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, maka dia tidak akan pernah marah. Cara berpikir ini masih terkait dengan paradigma kita yang terbentuk sejak kecil bahwa marah itu selalu diasosiasikan dengan hal yang buruk dan negatif.

Itu sebabnya juga, cukup banyak peserta pelatihan saya yang “komplain” kenapa perusahaannya mengirim dirinya untuk mengikuti workshop Kecerdasan Emosi (EQ). Mereka umumnya berkata, “Saya nggak pernah marah-marah lho pak… Saya juga nggak ada gangguan emosi lho…”

Sekali lagi, pemikiran ini muncul akibat persepsi negatif kita soal marah.

 

> PENTING DIBACA: “Media Sosial Bisa Menumpulkan Kecerdasan Emosi”<<

 

JATI DIRI ‘MARAH’ YANG SESUNGGUHNYA

Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy. ~Aristoteles

Kalimat Aristoteles ini menyingkapkan kepada kita, bahwa marah memiliki sisi lain yang tidak selalu buruk. Bahkan jika dikelola dengan benar, marah bisa menjadi sebuah kekuatan produktif yang luar biasa.

Banyak sekali karya-karya besar dihasilkan oleh dorongan rasa marah yang produktif. Sebagai contoh cepat saja, Richard Branson membuat Virgin Air karena dia mengalami pelayanan yang buruk dari sebuah maskapai penerbangan yang membuat dia kehilangan waktu dan peluang bisnisnya.  “Kemarahan”nya, mendorongnya untuk membuat maskapai penerbangan sendiri dan malah kemudian menjadi salah satu bisnis andalannya.

Banyak karya-karya dan keputusan-keputusan besar saya yang luar biasa, juga didorong oleh rasa marah terhadap sebuah keadaan atau situasi.

Artinya, marah tidaklah selalu buruk. Marah bisa menjadi produktif kalau kita tahu cara mengelolanya. Disinilah istilah Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi lebih jelas, yaitu sebuah kecerdasan/keahlian dalam mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri kita maupun orang lain, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Dengan begitu, secara garis besar, maka kemarahan bisa dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu kemarahan yang destruktif dan kemarahan yang produktfi (marah dengan EQ).

Bedanya ada dimana?

Marah yang destruktif adalah marah yang di luar kendali kita. Umumnya, ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan atau reaksi OTOMATIS dari diri kita. Ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan pelampiasan energi yang tak tertahankan dari dalam diri kita. Biasanya ini terjadi karena terlalu lama memendam kekesalan dan tidak tahu bagaimana mengelolanya.

Tentu saja marah yang destruktif bukanlah hal yang baik. Umumnya, jenis marah inilah yang sering kita jumpai sehingga menimbulkan kesan negatif yang kuat dan membuat kita berpikir bahwa marah selalu jelek.

Tetapi, marah yang produktif, adalah jenis marah seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles, yaitu marah dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

Marah yang produktif adalah marah yang terukur, bahkan terencana. Kita menyadari adanya rasa marah itu dan memang dengan sengaja “menggunakan” energi marah itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang penting.

Ciri-ciri marah produktif adalah:

  1. Kita melakukannya dengan SADAR dan memang kita sedang memilih untuk mengungkapkan kemarahan kita.
  2. Kita tahu kepada siapa kita mengarahkan kemarahan kita, jadi bukan sekedar “hajar semua”
  3. Kita tahu untuk apa kita mengungkapkan kemarahan kita, dan kita memang sudah merencanakan untuk menggunakan marah kita untuk menghasilkan keadaan tertentu (misalnya, ingin mengajari tim kita untuk lebih disiplin, atau ingin melatih anak kita agar bisa respek).
  4. Memberikan pesan solutif yang membangun. Biasanya, marah yang destruktif isinya cuma pelampiasan kekesalan dan seringkali malah menyakiti. Tapi marah produktif, isi pesannya justru ingin membangun dan mengarahkan untuk sesuatu yang lebih baik.
  5. Tahu kapan berhenti. Kalau marah destruktif, kita tak bisa mengendalikan kapan untuk berhenti karena kita “disetir” oleh luapan emosional kita. Tapi marah produktif, kendalinya ada di kita. Kitalah yang memilih kapan kita berhenti.

 

> GRATIS DOWNLOAD Premium Workbook 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi<<

 

TAK MUDAH TAPI BISA

Saya yakin diantara Anda yang membaca artikel ini, banyak yang berpikir “Wah, susah ya marah produktif…”. Itu sebabnya, Aristoteles berkata bahwa “kekuatan” ini tidak dimiliki oleh semua orang (meski semua orang bisa marah).

Ini adalah sebuah kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih. Orang-orang yang memiliki tingkat Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, biasanya mampu mengelola dan memanfaatkan rasa marah mereka untuk tujuan-tujuan yang produktif.

Tapi setidaknya, dari artikel ini, kita belajar bahwa ternyata marah tidak selalu negatif. Marah bahkan bisa menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa dipakai untuk meningkatkan produktifitas. Itu sebabnya, melatih Kecerdasan Emosional (EQ), menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan, terutama kalau kita adalah seorang pemimpin.

Dengan Kecerdasan Emosional (EQ), maka kita bisa mengolah perasaan-perasaan kita (termasuk marah), menjadi aset yang berharga untuk kemajuan hidup kita.

Selamat “berlatih marah”!


>> HARUS TAHU: “Emotional Toxic Leader” ~ Baca Sekarang Juga!<<

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.

bagikan info menarik ini!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *