Sibuk Atau Sok Sibuk?

Kali ini saya sedang tergelitik.

Melihat semakin hari roda kehidupan sepertinya berputar 2 kali lebih cepat ketimbang kehidupan 5 tahun yang lalu. Hampir semua orang yang saya kenal di kota metropolis ini mendadak begitu sibuk di tahun-tahun belakangan ini.

Bahkan anak-anak muda yang dulunya kita kira “nganggur” dan banyak waktu luang untuk main, sekarang ini malah lebih sibuk daripada pekerja profesional. Selain sekolah, mereka harus ikutan segudang les, kursus, ekstrakurikuler dan berbagai kegiatan-kegiatan “produktif” lainnya.

Semua minta serba cepat. Semua minta serba instan. Semua menjadi sibuk, bergerak kesana-kemari, melakukan semuanya kalau bisa sekaligus. Lembur menjadi hal biasa. Bekerja di hari libur juga menjadi biasa. Semuanya demi masa depan dan kehidupan yang lebih baik.

Bagaimana dengan Anda? Bagaimana dengan saya? Kadangkala kita juga tergoda dan bahkan mungkin tanpa sadar “terhipnosis” untuk mengikuti arus. Ibarat berlari di atas treadmil, kita tidak sadar bahwa kecepatan sedang ditingkatkan perlahan-lahan dan kita harus berlari lebih cepat dan lebih keras mengayuh kaki agar tidak jatuh.

Jika Anda masih sempat membaca notes ini, marilah kita renungkan beberapa hal ini:

1. Apakah semua kesibukan dan kelelahan Anda sedang mengarah pada arah yang tepat? Benarkah semua yang sedang kita kerjakan dan korbankan ini untuk sesuatu yang benar-benar layak?

Seorang suami sering memarahi istrinya karena suka protes pulang malam dan lembur. Suami itu begitu marah dan membentak istrinya “Emangnya demi siapa gua capek-capek begini? Demi ngasih makan siapaaaa?!” Di tengah kelelahan dan putus asa, istrinya berteriak pula, “Buat apa semua uangmu kalau anakmu tidak pernah berjumpa muka sama sekali?! Masak anak dan istrimu hanya punya kesempatan ngobrol denganmu hanya 1 minggu sekali? Itupun hanya di malam hari?!”

Kadangkala ruwetnya kehidupan dan cepatnya laju dunia membuat kita tanpa sadar sudah teralihkan. Kita mengira mengejar sesuatu yang berharga padahal hanyalah “khayalan semu” belaka. Berapa banyak orang mengejar karir, uang, nama, prestasi, ketenaran, dan semua yang tampaknya berkilau namun sudah mengorbankan keluarga, sahabat, kesehatan, atau bahkan harga diri dan kehormatan?

Bertanyalah detik ini. Apakah yang aku lakukan saat ini benar-benar pantas diperjuangkan? Apakah semua waktu yang sudah dikorbankan benar-benar layak?

2. Apakah semua kesibukan dan kelelahan Anda membuat Anda bergerak maju? Atau hanya membuat Anda SEOLAH-OLAH maju?

Saya sudah berjumpa dengan banyak orang yang sibuk kesana-kemari, orang melihat nampaknya seperti seorang CEO perusahaan multinasional yang sangat padat jadwalnya. Namun sesungguhnya, semua kesibukannya hampir-hampir tidak membawa kemajuan apapun dalam kualitas hidupnya.

Ada banyak orang yang senang terlihat disana-sini karena menjadi seolah-olah seperti selebritis yang dikenal banyak orang. Namun, jika diteliti, semua “ketenaran” itu tidak membawa dampak yang berarti untuk kemajuan dan peningkatan kualitas hidupnya. Inilah yang disebut dengan lari di tempat. Tampak aktif, energi habis, berkeringat dan lelah, namun tidak bertambah maju sejengkalpun.

Itu sebabnya, saya menulis di account Twitter saya, “Siapa bilang Anda harus sibuk untuk tampak sukses?” Justru bukankah kesuksesan sejati adalah ketika Anda tidak sibukpun hidup Anda masih terus bertambah maju dan makin berkualitas?

Detik ini, renungkanlah semua yang Anda lakukan. Apakah itu benar-benar membuat hidup Anda lebih baik? Apakah ada dampak berarti untuk peningkatan kualitas diri Anda? Ataukah hanya sekedar “euforia” agar tampak seperti orang penting yang sibuk? Ataukah hanya sekedar lari kesana-kesini tanpa tujuan yang jelas?

Hidup ini terlalu singkat untuk kita habiskan ke arah yang salah dan untuk kegiatan-kegiatan yang tak berarti. Sebelum semuanya terlambat dan menyesal, kita masih bisa berhenti sejenak dan merenungkan diri.

Josua Iwan Wahyudi
Indonesia EQ Master Trainer


Do You Really Want It?

Kebetulan beberapa hari yang lalu saya memiliki kesempatan untuk kencan dan memiliki quality time dengan istri saya. Jauh-jauh dari Jakarta Barat kami menyeberangi Jakarta menuju salah satu mal di Kelapa Gading dan menghabiskan waktu sekitar 5 jam untuk “dating”.

Di saat-saat gembira inilah istri saya menemukan sebuah statement yang sederhana namun sungguh tajam dan mengena. Ia mengatakan demikian:

“Jika kita tidak menginginkannya, kita tidak akan pernah melakukannya…”

Sungguh sebuah pernyataan yang luar biasa bukan?

Kita sering sekali berpikir “ingin sukes”, namun sering juga kita tidak melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk sukses. Bukan karena tidak mampu, namun karena seringkali kita TIDAK MAU. Mengapa tidak mau? Ada berjuta alasan mulai dari “takut ditolak”, “takut gagal”, “malu”, “malas”, “enggan”, “tidak percaya diri”, “sudah pernah dan tidak berhasil”, dan berbagai alasan lainnya.

Banyak pekerja marketing yang ingin dapat bonus banyak dan cepat kaya tetapi tidak mau mencari calon konsumen, malu menelpon orang, takut mem’prospek orang, dan berdiam diri.

Situasi ini membuat saya bertanya-tanya, “apakah dia benar-benar ingin sukses? ingin kaya? atau jangan-jangan ada bagian emosional dalam dirinya yang TIDAK MENGINGINKANNYA?”

Itu sebabnya dalam workshop EQ “Emotion for Success” yang saya adakan, saya memberikan 2 sesi khusus untuk membahas masalah ini secara tuntas dan melakukan terapi emosional untuk membuang semua perasaan-perasaan penghambat yang kadangkala membuat kita “tidak ingin” melakukan apa yang kita butuhkan untuk menjadi berhasil dan bahagia.

Semoga hari ini kita mendapatkan sebuah pemahaman tentang diri-sendiri, sampai dimanakah kita benar-benar menginginkan melakukan sesuatu. Entah itu dalam pekerjaan, keluarga, masyarakat, dan semua aktifitas kita. Apakah kita benar-benar menginginkan semua yang sedang kita lakukan dan hidupi hari-hari ini? Karena jika kita tidak menginginkannya, kita akan menjalaninya dengan penuh tekanan dan beban.


Persepsi & Emosi

Suatu hari saya sedang makan bersama beberapa teman di sebuah resto. Dalam salah satu menunya, resto ini menyajikan sebuah menu yaitu nasi goring hitam. Dalam fotonya memang nasi goreng itu berwarna benar-benar hitam, dan inilah salah satu menu andalan yang membuat resto ini cukup dikenal.

Kebetulan, kunjungan itu adalah untuk pertama kalinya kami ke resto itu. Saat pertama kali melihat menu nasi goring hitam, saya merasa sangat tertarik dan penasaran untuk mencobanya. Namun, di saat yang bersamaan istri saya justru merasa “jijik” dengan nasi goring hitam ini. Padahal, biasanya saya adalah tipe konservatif dalam hal makanan sedangkan istri saya adalah tipe eksperimental yang gemar mencoba berbagai jenis makanan. Namun, hari itu, yang terjadi adalah kebalikannya.

Mengapa ini bisa terjadi? Kami berdua sama-sama belum pernah mencicipi nasi goring hitam ini. Mengapa saya bisa merasa tertarik dan berselera sedangkan istri saya merasa jijik dan tidak ingin makan. Inilah faktanya: ternyata persepsi kita SANGAT menentukan perasaan kita. Istri saya berpikir hitam adalah warna yang identik dengan kotor, sehingga ketika ia melihat foto nasi goring hitam, benaknya berpikir “ini seperti nasi yang kotor…” dan karena itulah ia merasa jijik memakan “kotoran”. Sementara bagi saya, warna hitam tidak berarti apa-apa dan saya berpikir, “menarik sekali, belum pernah ada nasi goring seperti ini, jadi pengen tahu bagaimana rasanya…” Karena itu saya merasa bersemangat mencobanya.

Kekuatan Persepsi

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang baru Anda kenal dan Anda merasa tidak senang dengan orang itu karena wajahnya mirip dengan orang lain yang pernah menyakiti Anda? Inilah salah satu contoh dimana persepsi bisa mempengaruhi perasaan kita. Dan seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, perasaan Andalah yang menggerakkan kebanyakan dari keputusan dan tindakan Anda.

Itu sebabnya juga kadangkala orang bisa benci (atau jatuh cinta) pada orang yang belum begitu ia kenal karena ia bermain dengan persepsinya. Pernahkah Anda mendengar kisah mengenai 2 orang salesman sepatu yang ditugaskan berjualan di sebuah pulau terpencil yang penduduknya sama sekali belum mengenal apa itu sepatu. Salesman pertama memiliki persepsi, “mereka belum pernah tahu apa itu sepatu, pasti susah jualan sepatu disini…” sementara salesman kedua memiliki persepsi, “mereka belum pernah memakai sepatu… Ini kesempatan untuk memperkenalkan pada mereka!”

Bisa ditebak perasaan seperti apa yang muncul pada kedua salesman itu. Salesman pertama menjadi demotivasi, malas, pesimis, dan tidak berniat jualan. Sedangkan salesman kedua menjadi bersemangat, optimis, dan antusias. Hanya karena persepsi, emosi seseorang bisa berubah dengan cepat dan tentu saja tindakan mereka bisa menjadi berbeda.

Karena itu, penting sekali untuk Anda mulai aware dengan persepsi apa yang muncul dalam pikiran apa. Cobalah mulai meneliti apakah persepsi itu sudah teruji kebenarannya? Apakah persepsi itu mendukung Anda untuk menjadi lebih baik? Sebelum Anda memusuhi dan menyakiti perasaan seseorang, telitilah apakah persepsi Anda memang sudah terbukti? Atau hanya sekedar persepsi tanpa dasar?


EQ & Starting Business?

Banyak orang punya cita-cita ingin memiliki usaha sendiri dan berhenti bekerja pada orang lain. Tapi dari sekian banyak orang yang bermimpi untuk berbisnis sendiri, mungkin tidak sampai dari 10% orang yang benar-benar BERANI bertindak dan mengambil langkah awal. Kekawatiran akan masa depan, ketakutan terhadap ketidakpastian, rasa tidak percaya diri, dan enggan untuk menderita menjadi faktor utama yang menghambat mereka.

Seperti yang saya katakan dalam setiap workshop dan seminar “Emotion for Success”, yang membuat Anda gagal atau berhasil sebenarnya adalah perasaan Anda sendiri. Sebenarnya Tuhan sudah menaruh SEMUA kemampuan yang Anda perlukan dalam diri Anda. Namun yang membuat Anda terhambat seringkali bukan karena kemampuan Anda, melainkan karena perasaan-perasaan Anda.

Berapa banyak diantara kita yang sering berhenti melangkah padahal kita sudah tahu di depan sana ada kesuksesan hanya gara-gara kita merasa takut, merasa minder, merasa tidak aman, merasa kawatir, dan merasakan berbagai emosi penghambat lainnya?

Saya pernah berkenalan dengan seseorang yang gemar membaca berbagai macam buku motivasi, psikologi, dan pengembangan diri. Bukan hanya itu, ia juga sering sekali menghadiri seminar dan workshop para pembicara terkenal baik dalam negeri dan luar negeri. Kalau saya kebetulan punya kesempatan untuk sharing dengan orang ini, saya selalu mendapatkan “ilmu baru” karena ia seperti tidak pernah kehabisan “stok ilmu”. Termasuk salah satu diantaranya adalah topik entrepreneurship. Banyak sekali ilmu berbisnis dan bagaimana memulai usaha sendiri yang dia bagikan kepada saya. Bahkan saya melihat sebenarnya dia sudah sangat cocok untuk menjadi seorang pembicara dalam bidang entrepreneurship.

Namun sayang, meski dia begitu menguasai strategi dan ilmu entrepreneurship. Dan bahkan berkali-kali mendorong orang lain untuk mulai berbisnis, namun dia sendiri tidak pernah memulai bisnisnya sendiri. Apa alasannya? Sederhana, lagi-lagi perasaan-perasaan penghambat seperti takut kalau gagal, merasa belum mampu, merasa masih kecil, merasa terlalu banyak saingan kuat, kawatir kalau tidak seperti yang diharapkan, dan enggan untuk menderita dan bersusah payah di awal membuat ia akhirnya hanya “pandai berbicara tapi tidak berani melakukan”.

SEMUA ORANG (termasuk saya) ketika memulai bisnisnya sendiri, PASTI akan menghadapi perasaan takut, kawatir, dan cemas. Namun yang membedakan entrepreneurship sejati dan yang tidak adalah kemampuan bagaimana mereka mengelola perasaan-perasaan itu dan menjadikannya sebagai pendorong untuk maju. Jika Anda menunggu sampai semua keadaan ideal, suportif, tidak ada resiko, tanpa ancaman, maka sampai kapanpun Anda tidak akan berani berbisnis.

Inilah alasan mengapa dalam workshop “Emotion for Success” 3+3 hari yang saya rancang, saya memasukkan sesi terapi untuk menghilangkan mental block dan perasaan-perasaan penghambat yang membuat kita tidak berani bertindak. Bukan hanya sekedar untuk entrepreneurship, melainkan juga untuk berbagai sisi kehidupan lainnya.Misalnya, sebagai seorang marketing, Anda tahu Anda harus menelpon calon prospek Anda. Namun, setiap kali Anda menelpon dan sang calon tidak mengangkat Anda merasa lega… dalam hati Anda berkata, “Tuh aku udah telpon kan… Tapi nggak diangkat…”

Bukankah ini hal aneh? Anda ingin mendapat klien, tapi Anda lega ketika sang klien tidak mengangkat telpon Anda? Seperti ada perasaan enggan, takut, malas, malu, tidak percaya diri, atau kawatir yang membuat Anda tidak ingin klien mengangkat telponnya. Perasaan-perasaan seperti inilah yang harus dibereskan dalam hidup kita agar semua potensi yang Tuhan taruh dalam diri kita bisa benar-benar meluncur keluar dan menunjukkan kedahsyatannya dalam mengantarkan Anda kepada impian-impian Anda!

Kini, Anda mengerti bukan betapa pentingnya faktor perasaan sebagai penentuk keberhasilan dan kebahagiaan hidup Anda?


EQ & Genghis Khan #1

Tahukah Anda bahwa Genghis Khan adalah seorang pemimpin yang dianggap ber-EQ tinggi? Mengapa demikian? Ada banyak alasan yang menjadi indikasi kematangan emosional Genghis Khan sebagai salah satu pemimpin besar dunia. Dari sekian banyak indikasi tersebut salah satunya adalah daya juang LUAR BIASA yang dimiliki Genghis Khan sejak ia remaja.

Dalam sebuah buku tulisan John Man yang menceritakan secara detail kehidupan Genghis Khan dan perjalanan hidupnya, dituliskan sebuah kejadian fenomenal yang merupakan cikal bakal lahirnya seorang pemimpin besar yang tercatat dalam sejarah manusia.

Ketika Genghis Khan berusia sekitar 13-14 tahun, yaitu usia remaja dimana secara psikologis biasanya orang-orang di usia seperti ini memiliki emosi yang labil dan sulit menguasai diri.Dalam usia akil balig yang peuh gejolak emosi tersebut, Genghis Khan ditangkap oleh suku musuh yang terkenal sangat kuat dan kejam. Sudah tersebar berita bahwa suku ini termasuk suku yang paling ditakuti dan semua orang yang tertawan biasanya tidak memiliki kemungkinan lagi untuk bisa selamat atau lolos.

Ketika itu, sang Genghis Khan muda ditangkap dan ditawan hidup-hidup. Namun, yang menarik adalah selama berhari-hari dalam tawanan, Genghis Khan selalu berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri. Setiap kali ada celah, Genghis Khan selalu berusaha lari meski berkali-kali ia gagal.Tetapi usaha Genghis Khan ternyata diamati oleh seorang petinggi suku tersebut dan petinggi itu memendam kebencian terhadap pemimpin suku.

Ketika ia melihat Genghis Khan, ia menangkap ada yang berbeda dari remaja ini. Di saat semua tawanan sudah kehilangan harapan dan sorot matanya suram, petinggi tersebut melihat sorot mata Genghis Khan yang penuh dengan api semangat hidup yang tidak pernah mati. Petinggi tersebut berpikir, “sepertinya anak muda ini suatu saat akan menjadi pemimpin yang luar biasa!” Terpengaruh oleh semangat juang Genghis Khan muda, petinggi itu akhirnya secara diam-diam membantu Genghis Khan melepaskan diri dan beberapa tahun kemudian petinggi tersebut menjadi salah satu jenderal kepercayaan Genghis Khan.


Emotional Endurance

Cerita ini selalu menginspirasi saya, betapa luar biasa daya tahan emosional Genghis Khan dalam menghadapi keadaan sulit. Bahkan dalam usia yang masih sangat muda dan dalam keadaan yang sudah tiada harapan, Genghis Khan masih tetap punya daya juang, tidak menyerah, dan bahkan senantiasa memiliki sorot mata kehidupan! Daya juangnya yang luar biasa inilah yang kemudian membuka pintu penyelamatan bagi dirinya. Sementara tawanan lain yang sudah menyerah dan hanya menunggu “waktu”, tidak melakukan apapun dan berakhir dalam kematian.

Pelajaran EQ pertama dari Genghis Khan adalah orang yang memiliki kematangan emosi adalah orang yang tidak pernah kehilangan daya juang dalam keadaan apapun. Semua orang bisa menghadapi tembok yang sama, namun yang membedakan orang berhasil dan orang gagal hanyalah seberapa lama dan seberapa tahan Anda terus melakukan pukulan sampai tembok itu runtuh.

Setiap kali Anda berpikir akan menyerah, cobalah berpikir seperti ini, “Coba sekali lagi deh, siapa tahu kali ini berhasil”. Jika Anda terus melakukan seperti itu, saya percaya Anda akan berbeda dari orang lain dan akan memiliki daya juang yang akan mengantarkan Anda kepada kesuksesan hidup yang tidak dimiliki orang lain.

Salam EXCITING!
josua iwan wahyudi
www.shifthinknow.com/emofs


What Money CAN Buy???

Kita tentu sudah sering sekali mendengar berbagai pernyataan, artikel, dan tulisan yang mengatakan bahwa “uang tidak bisa membeli segalanya”. Ada sebuah artikel yang berbedar luas di internet dan mungkin Anda juga pernah mendapatkannya. Bunyinya kurang lebih seperti ini:

.

.

1. uang bisa membeli ketertarikan, tapi bukan rasa hormat
2. uang bisa membeli teman, tapi bukan sahabat
3. uang bisa membeli kesenangan, tapi bukan kebahagiaan
4. uang bisa membeli kemewahan, tapi bukan budaya
5. uang bisa membeli obat, bukan kesehatan
6. uang bisa membeli rumah, bukan suasana kekeluargaan
7. uang bisa membeli kosmetik, bukan kecantikan
8. uang bisa membeli makanan, bukan selera makan
9. uang bisa membeli buku, bukan kebijaksanaan
10. uang bisa membeli ranjang, bukan tidur

Dalam beberapa artikel lain juga ada pernyataan yang bunyinya “uang tidak bisa membeli waktu”…

Nah, dalam artikel kali ini, saya ingin memberikan sedikit perspektif yang berbeda. Mungkin perspektif ini akan sedikit kontroversial dan mengejutkan Anda. Namun, saya berharap sambil Anda membaca, Anda juga menelaah secara perlahan.

Banyak orang menggunakan pernyataan-pernyataan di atas sebagai “kalimat penghibur”, terutama ketika mereka sedang dalam kondisi tidak punya uang, mereka akan berkata “nggak apa… yang penting kan hidup bahagia…”

tentu saja saya SANGAT SETUJU bahwa ada hal-hal penting yang tidak bisa dibeli dengan uang. Saya juga SETUJU bahwa kebahagiaan itu sesuatu yang ada di dalam diri. Kebahagiaan adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri dalam diri internal kita, bukan tergantung oleh hal-hal eksternal. Namun, ada beberapa hal yang saya ingin Anda renungka

Benarkah uang tidak bisa “membeli” sahabat?

Pernahkah Anda mendengar kalimat “gunakanlah Mamon untuk mendapatkan sahabat”? Dalam bahasa Ibrani, Mamon adalah lambang dari uang. Artinya, ada sebuah nasihat yang mengatakan bahwa Anda bisa MEMBERDAYAKAN uang sebagai salah satu modal untuk mendapatkan sahabat. Bagaimanakah sebuah persahabatan dibangun? dari komunikasi yang intens, dari kepercayaan yang dijaga, dan dari berbagai tindakan baik yang kita saling lakukan bukan?

Bukankah sebuah persahabatan akan mudah dibangun kalau kita sering keluar makan bareng (makanya biasanya orang melakukan networking di acara jamuan makan), kalau kita sering memberi dia kado dalam event spesial, kalau kita menolong dia saat dalam kesulitan, misalnya ketika dia kesulitan finansial, kalau kita sering pergi nonton bareng, dan sebagainya. Bukankah semuanya membutuhkan uang?

Saya bukan berbicara mengenai “menyuap” dengan memberi orang lain uang supaya mereka dekat dengan kita. Namun saya sedang berbicara bahwa uang bisa memuluskan jalan dan memperlancar langkah kita dalam membangun hubungan. Itu sebabnya orang-orang kaya kadangkala memiliki orang-orang loyal dengan berbagai kemampuan di sekitar mereka (meski bukan karena melulu uang).

Saya sendiri menyadari, ketika saya belum punya mobil, saya sulit mengajak sahabat-sahabat saya keluar bareng di malam hari hanya untuk sekedar nongkrong. Ketika saya masih sulit dalam keuangan saya sulit mentraktir mereka di hari ulang tahun saya. Saya sulit membelikan kado kalau mereka ulang tahun. Saya tidak bisa membantu saat mereka kesulitan finansial atau sakit. Saya lebih sulit bersilahturami kepada sahabat yang rumahnya dari ujung ke ujung.

Benarkah uang tidak bisa membeli kesehatan?

Saya pernah bertemu seorang trainer yang sangat kuat staminanya dan bisa tahan mengajar dengan antusias selama berhari-hari. Setelah mengamati, ternyata ia secara rutin meminum vitamin dan suplemen mahal yang penuh bahan-bahan alami berkualitas untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Memang, kesehatan itu adalah anugerah Tuhan dan tergantung dari bagaimana kita mengelola tubuh dan makanan kita.

Namun, bukankah dengan adanya suplemen, sarang burung walet, dan berbagai ramuan mahal lainnya sebenarnya tubuh kita menjadi lebih sehat? Bukankah kalau kita memiliki uang, kita bisa cek rutin ke dokter, meminta petunjuk kepada mereka untuk hidup sehat? Bukankah kalau kita memiliki uang, kita bisa memiliki ahli gizi pribadi yang mengatur semua makanan kita agar sehat (saya pernah punya teman yang seperti ini)? Bukankah kalau ada uang kita juga bisa ke gym untuk olahraga sambil networking? Dan bukankah seringkali orang kaya bisa hidup lebih lama karena mereka memiliki uang untuk berobat di rumah sakit terbaik sementara orang miskin kadangkala karena penyakit yang harusnya bisa sembuh malah meninggal karena ditolak oleh rumah sakit?

Memang uang tidak bisa membeli kesehatan. Olahragapun tergantung niat kita, bukan tergantung ada gym atau tidak. Namun, bukankah adanya uang akan memperbesar kemungkinan kita menjadi sehat menjadi berlipat-lipat lebih besar?

Benarkah uang tidak bisa membeli waktu?

Waktu memang tidak akan bisa diputar kembali. Tidak seorangpun bisa membeli waktu, apalagi usia. Namun, di bagian ini saya akan bercerita hal yang sederhana. Bayangkan Anda belum memiliki pembantu. Anda harus mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, memasak, berbelanja, dan melakukan semuanya. Berapa waktu yang Anda habiskan dalam sehari untuk semua itu?

Lalu, ketika Anda sudah punya pembantu dan mereka yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan itu. Bukankah Anda menjadi lebih punya banyak waktu untuk istirahat (tubuh Anda lebih sehat), punya waktu bermain dengan anak (hubungan Anda lebih harmonis dengan anak), punya waktu untuk baca buku (Anda lebih pintar), dan punya waktu bahkan untuk bisnis online (Anda lebih kaya). Bukankah menyewa pembantu butuh uang? memasukkan baju ke laundry butuh uang? Jadi secara tidak langsung sebenarnya Anda sedang “membeli waktu” bukan?

Bukan MATRE

Awas! Artikel ini bukan untuk menjadikan Anda matre… Uang memang bukan tujuan utama dalam kehidupan, namun seringkali uang membantu kita untuk meraih tujuan kita.

Kadangkala ada orang yang antipati dengan uang dan takut untuk mencanangkan uang sebagai salah satu goal setting karena banyak anggapan yang menganggap sepertinya kalau kita memiliki cita-cita menjadi orang kaya kesannya seperti orang yang duniawi banget dan materialistis… Itu sebabnya dalam workshop “Emotion for Success” saya memberikan terapi untuk membersihkan mental block dalam pikiran kita yang membuat kita sulit meraih kekayaan.

Padahal, dengan uang kita bisa melakukan banyak kebaikan. Seperti Andrew Carnegie, seorang raja baja yang terdaftar sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Dia mengatakan, “Saya menghabiskan separuh kehidupan saya untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dan saya akan menghabiskan separuh hidup saya sisanya untuk memakai uang yang saya kumpulkan demi membantu orang lain.”

So… uang memang tidak bisa membeli segalanya, namun seringkali uang bisa membeli banyak hal yang baik dalam kehidupan ini.

Dan ANDA LAYAK untuk mendapatkan hal yang baik tersebut!


Great One, Oprah!

Saya harus mengakui bahwa Oprah Winfrey bukanlah orang biasa. Terlepas dari berbagai spekulasi dan perkataan orang yang menyebut sebagai “strategi marketing” atau “strategi branding”, tapi saya merasa apa yang dilakukan Oprah sungguh berbeda dengan kebanyakan orang berprestasi lainnya.

Di episode minggu ini, Oprah memberikan pengumuman bahwa ia mengambil keputusan untuk mengakhiri acara talk shownya di musim ke-25, yaitu di tahun 2011 nanti. Sisa 18 bulan menuju akhir dari sebuah acara yang sudah menginspirasi jutaan manusia di bumi dan mengantarkan Oprah menjadi salah satu sosok paling berpengaruh di dunia.

Sebuah pembelajaran yang benar-benar saya tangkap kuat adalah, orang yang hebat selalu tahu kapan waktunya mundur. Mereka tidak mundur karena omset turun, rating turun, tren turun, dukungan turun, atau karena alasan-alasan semacam itu. Mereka mundur justru di saat-saat keemasan mereka. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, mengingat kita menjumpai ada banyak orang yang menganut prinsip “aji mumpung”

mumpung masih di atas kalau bisa dimanfaatkan untuk mengeruk benefit sebanyak mungkin. Mumpung masih punya pengaruh kalau bisa terus cari duit sebanyaknya. Bahkan saya seringkali melihat orang-orang yang berusaha kalau bisa di atas selama-lamanya. Maunya Stand Forever. Malahan, hari-hari ini mata saya banyak dibukakan dengan orang-orang yang rela melakukan apapun, menghancurkan orang lain, atau menjegal demi mempertahankan diri dan memegang erat-erat posisi puncaknya.

Salah satu guru kehidupan saya berkata bahwa orang-orang seperti inilah yang disebu sebagai orang tanpa MENTALITAS KELIMPAHAN (Abundance Mentality), yaitu orang yang “susah liat orang senang dan senang liat orang susah”. Boro-boro mundur di saat menduduki puncak, alih-alih mereka malah melakukan apapun yang diperlukan agar selalu di puncak. Padahal, ketika saya melihat Oprah mengumumkan akhir talk show yang ia buat, justru saya lebih simpatik dan saya merasa akan lebih banyak lagi orang yang simpatik, lebih banyak yang menonton acaranya, dan image Oprah semakin positif. Inilah yang disebut dengan “saat kamu memberi, sebenarnya kamu akan menerima juga”.

Sebenarnya bukan hanya Oprah yang melakukan ini. Dalam beberapa masa dalam hidup saya, ada beberapa pemimpin inspiratif dalam hidup saya yang melakukan hal ini. Beberapa diantara mereka melepaskan jabatan kepemimpinan mereka di masa keemasan untuk mewariskan pada generasi berikutnya dan ia sendiri mengambil waktu untuk merenungkan kehidupannya dan mencari panggilan baru apakah yang harus ia selesaikan.

well, memang apa yang dilakukan Oprah bukan hal biasa. Dan sebagian orang yang sinis akan berkata, “Itu kan cuma buat cari sensasi aja biar makin terkenal dan rating acaranya makin tinggi”. Di luar semua pemikiran itu, saya pikir saya ingin belajar menjadi seperti Oprah. Yaitu memiliki kemampuan untuk melepaskan prestasi demi sesuatu lain yang mungkin lebih mulia atau lebih berguna bagi kehidupan banyak orang.