Media Sosial Menumpulkan Kecerdasan Emosi?

Sejak media sosial berkembang jauh, kini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Bagi generasi muda, media sosial nyaris tak bisa dihilangkan.

Hasil riset Hootsuite yang dipublikasikan pada Januari 2018, menyatakan bahwa secara rata-rata, dalam satu hari, penduduk di Indonesia bisa menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam untuk media sosial!

Jika dikurangi dengan waktu tidur 8 jam per hari, maka umumnya orang Indonesia “menaruh” 1/5 waktu hidupnya di media sosial setiap hari. Sebuah fenomena yang tidak bisa dianggap angin lalu.

Lalu, pertanyaan berikutnya. Apakah pola hidup digital seperti ini membawa pengaruh yang lebih positif atau jangan-jangan malah lebih banyak pengaruh negatifnya? Sebagai orang yang lama menggeluti Kecerdasan Emosi (EQ), saya ingin membahas fenomena ini dari sisi pengaruh media social terhadap perkembangan Kecerdasan Emosi (EQ) seseorang.

 

DISCONNECTED

Selama ini, kita selalu mengira bahwa media sosial berhasil menghubungkan kita dengan orang-orang yang tadinya mustahil untuk terhubung. Bahkan, berkat media sosial, kita bisa berdialog dengan figur publik yang tadinya tampak tak tersentuh.

Secara sekilas, media sosial berhasil meruntuhkan tembok jarak dan waktu dan berhasil membangun hubungan antar manusia dengan lebih luas dan fleksibel.

Tapi, apakah kita benar-benar terhubung?

Seorang psikolog sosial bernama Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together menuliskan hasil pengamatannya, bahwa akibat “koneksi” yang melimpah yang digelontorkan oleh media sosial, tanpa sadar justru malah mengisolasi kita dari lingkungan sosial itu sendiri. Itu sebabnya, kita melihat fenomena dimana satu keluarga duduk di meja makan dengan seluruh anggotanya menatap layar handphone tanpa terjadi komunikasi apapun satu sama lain.

Tampaknya kita sedang berhubungan dengan orang lain, tapi realitanya, kita malah sedang terputus hubungan di dunia nyata.

Bahkan Sherry menyimpulkan, bahwa sejak manusia menjadikan media sosial sebagai bagian hidup, perasaan kesepian menjadi lebih mudah berkembang dan menguat ketimbang generasi yang hidup tanpa media sosial.

Mengapa fenomena ini terjadi? Saya yakin, karena hubungan kita di media sosial bukanlah hubungan yang nyata. Misalnya, ketika kita menulis “wkwkwkwkw”… Kita tidak sedang sungguh-sungguh tertawa, bahkan ada kemungkinan kita sedang marah.

Ketika kita tampak begitu akrab dalam obrolan di media sosial, belum tentu ketika kita bertemu dengan orangnya, kita benar-benar memiliki keakraban itu.

Artinya, ketika begitu aktif, sibuk, dan terhubung dengan berbagai orang di media sosial, sesungguhnya kita belum tentu benar-benar terhubung dengan mereka. Sementara, semua aktifitas digital itu, memutuskan hubungan kita dengan dunia nyata dan dengan orang-orang yang nyata di sekitar kita. Akibatnya, kita menjadi mudah merasa kesepian.

Dan satu hal lagi. Semua hubungan yang terjadi secara digital (terutama hanya melalui text), sangat minim melibatkan ekspresi emosional kita. Inilah yang membuat generasi muda modern menjadi sangat kaku secara ekspresi sosial, tidak peka dengan kebutuhan emosi orang lain, tidak bisa memiliki etika bersosialiasi dalam lingkungan yang nyata, dan kesulitan meresponi sikap komunikasi orang lain kepada mereka. Karena, media sosial sudah membuat mereka disconnected dengan dunia nyata.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCONTENT

Seorang peneliti sosial, Hanna Krasnova, bersama dengan beberapa rekan peneliti dari Jerman, melakukan riset pada para pengguna Facebook di tahun 2013 (media sosial paling banyak penggunanya di tahun itu).

Hasilnya, 1 dari 3 orang (sepertiga!) mengalami perasaan / mood yang lebih buruk setelah mengunjungi timeline di Facebook. Bayangkan jika ini terjadi setiap hari! Artinya, setiap hari kita terus dilatih untuk memiliki mood yang buruk hanya karena melihat-lihat timeline di media sosial.

Keadaan ini terjadi karena setiap kali melihat timeline, kita akan selalu menemukan orang-orang yang tampaknya hidupnya lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, lebih menyenangkan, lebih sukses, lebih kurus, dan lebih lebih lainnya!

Padahal, semua yang diposting orang-orang itu juga belumlah tentu kenyataannya.

Berapa banyak kita melakukan selfie dengan ekspresi dan wajah yang seru dan heboh, padahal kenyataannya saat berfoto (dan setelah berfoto) kita biasa-biasa saja. Tetapi, “image” seru itulah yang ditangkap orang-orang yang melihatnya dan mereka mulai membandingkan dengan keadaan mereka yang berbeda. Akibatnya, mereka menjadi cemburu, iri, dan merasa hidup mereka tidak sebagus hidup orang lain.

Dan jika kenyataan hidup mereka tidak memungkinkan mereka untuk “meniru” apa yang mereka lihat di timeline, saat itulah muncul perasaan depresi dan perasaan “kalah”.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCLOSURE

Era media sosial menjadi sebuah era keterbukaan. Tiba-tiba hal-hal yang tadinya tersembunyi dan rahasia menjadi begitu mudah terungkap dengan cepatnya.

Di satu sisi, hal ini juga mendorong para pengguna media sosial untuk lebih berani mengungkapkan diri. Tahun 2018 menjadi era kejayaan Youtube di Indonesia lantaran membanjirnya para Vlogger yang mengungkapkan diri mereka lewat video tampilan mereka.

Sayangnya, di dalam dunia digital, filterisasi dan pembatasan sangatlah sulit dilakukan. Artinya, semua pengguna media sosial, berapapun usianya dan apapun latar belakangnya, akan terpapar semua konten apapun. Termasuk konten maki-makian dan cerita-cerita basi mengenai kehidupan sebagian vlogger dan spammer.

Inilah yang kemudian juga mendorong para pengguna media sosial untuk tanpa berpikir panjang memasang status, foto, maupun video mereka dalam berbagai keadaan. Termasuk ketika konflik dengan pacar, marah dengan atasan di kantor, sedang perang dingin dengan suami, bahkan termasuk ketika tidak puas di “ranjang” sekalipun!

Lalu apa akibat dari budaya disclosure yang tak terkendali ini?

Inilah yang kemudian membangkitkan digital bullying dengan kuat. Karena akun media sosial yang dengan mudah dibuat “tersamar”, para netizen (istilah untuk penghuni dunia maya) menjadi jauh lebih berani untuk menilai, menyampaikan pendapat tajam, dan bahkan memaki-maki tanpa merasa terbebani. (toh, orang juga tidak tahu siapa jati diri mereka sebenarnya).

Akibat disclosure yang berlebihan, budaya digital bullying mendapatkan “makanan” untuk berkembang.

Sekali lagi, Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

Memang, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ada begitu banyak manfaat dari media sosial. Termasuk artikel inipun mayoritas dibaca akibat dari penyebaran lewat media sosial.

Namun, menggunakan media sosial membutuhkan Kecerdasan Emosi (EQ). Jangan sampai kita terjebak “dikonsumsi” oleh media sosial. Justru kita harus menjadi bijaksana dalam menggunakan media sosial agar Kecerdasan Emosi (EQ) kita tidak menjadi tumpul.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


MABD Public Workshop

Setelah berkali-kali workshop “Menikah Adalah Bunuh Diri!” diadakan di berbagai tempat dan kota, pada tanggal 30 April 2011, untuk pertama kalinya ShifThink mengadakan versi publik dari workshop ini.

Selama 4 sesi penuh, sekitar hampir 30 peserta dilimpahi dengan berbagai materi yang sangat fresh, seru, dan tentunya sangat inspiratif. Bagi mereka yang sudah menikah maupun yang sedang mempersiapkan pernikahan, workshop ini menjadi sebuah pembelajaran yang sangat membuka mata!

EQ Master Trainer Indonesia, Josua Iwan Wahyudi juga memberikan beberapa simulasi dan tes untuk semakin membukakan pemahaman-pemahaman baru bagi para peserta.

Salah satu testimoni yang dialami peserta diungkapkan langsung oleh Ivan Janitra Podiman yang mengaku bahwa setelah mengikuti workshop ini, hubungannya dengan sang pasangan semakin baik dan semakin mampu menyikapi konflik dengan bijaksana.

Jika Anda tertarik mengadakan workshop ini di lingkungan komunitas Anda, segeralah hubungi kami sekarang juga!


EQ for Marriage

EQ Master Trainer kita Josua Iwan Wahyudi berkesempatan untuk sharing mengenai pernikahan dalam topik “Facing Your Marriage”. Pada tanggal 26 Februari di Hotel Citra, di hadapan sekitar 40 orang peserta yang mayoritas sudah menikah, EQ Master Trainer kita Josua Iwan Wahyudi menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita yang ternyata banyak tidak diketahui dan disadari oleh peserta.

Akibat ketidaktahuan ini, seringkali banyak pasangan konflik karena mengira pasangan mereka melakukan semuanya dengan sengaja, padahal itu adalah mekanisme “otomatis” dan alamiah mereka.

Dengan simulasi yang sederhana namun menyenangkan dan seru, EQ Master Trainer kita Josua Iwan Wahyudi menunjukkan bahwa ketika konflik terjadi, sebenarnya kebanyakan hanyalah karena perbedaan persepsi dan seringkali keduanya sama-sama benar dalam sudut pandang mereka. Itu sebabnya sesi seminar kali ini lebih bersifat membukakan paradigma baru tentang situasi dan pemikiran pasangan kita.


Seminar MABD GKI

Pada tanggal 15 Januari, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi diundang untuk memberikan seminar “Menikah Adalah Bunuh Diri!” di GKI Cipinang Elok Jakarta Timur. Sesuai dengan judul buku yang ditulis oleh Bp. Josua Iwan Wahyudi, beliau menjelaskan kepada sekitar 50 peserta mengenai mitos-mitos keliru dalam pernikahan.

Penjelasan mengenai mitos-mitos ini benar-benar menjadi pembahasan yang seru karena benar-benar menyingkapkan arti pernikahan yang sesungguhnya yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipercayai masyarakat pada zaman sekarang.

Dengan contoh-contoh kasus nyata dan penyampaian yang sangat fun, peserta diajak untuk memiliki paradigma baru dan memandang pernikahan secara berbeda dari sisi yang lebih dewasa. Tentu saja tidak ketinggalan dalam seminar ini Bp. Josua Iwan Wahyudi juga sedikit memberikan tips pentingnya pengelolaan emosi dalam sebuah pernikahan. Beliau menyampaikan pentingnya meningkatkan EQ untuk hubungan pernikahan yang lebih baik.


World Cup & Perceraian?

Juara World Cup 2006 - Italia

Adakah hubungan antara keduanya? Hm… Sebenarnya tidak, namun sebuah perceraian pernah terjadi pada sebuah pasangan gara-gara ketika suatu malam sang istri sedang ingin “bermesraan” tapi si suami sedang asyik-asyiknya melotot di depan layar televisi dan tidak menangkap “sinyal-sinyal” yang dilontarkan sang istri.

Akibat peristiwa ini, sang istri menjadi kecewa dan marah sehingga dengan impulsif ia segera mematikan televisi dan berdiri di depan suaminya. Tentu saja si suami secara spontan terpicu kemarahannya dan adegan berikutnya Anda sudah bisa menebaknya: sebuah pertengkaran hebat! Sang istri merasa suaminya lebih mencintai 22 laki-laki berseragam yang berebutan 1 bola, sedangkan si suami merasa istrinya tidak memberinya ruang pribadi dan tidak bisa mengerti bahwa ini adalah event 4 tahun sekali! Si suami merasa kalau hanya sekedar bermesraan kan bisa dilakukan kapan saja, tapi world cup hanya terjadi jarang-jarang!

Dalam buku saya, “2 Species 1 Love”, saya sempat menjelaskan kenapa sepak bola bisa begitu menarik bagi pria sedangkan para wanita lebih tertarik melihat wajah ganteng dan otot macho pemainnya ketimbang melihat sepak bola’nya itu sendiri. Salah satu alasannya karena pria memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan spasial dan berhubungan dengan kompetisi, dan kebetulan olah raga sepak bola menyediakan tontonan terhadap 2 hal tersebut.

World Cup With EQ?

Event World Cup memang fenomenal. Demam piala dunia bisa membuat orang-orang rela bergadang dan  meninggalkan semua aktifitas demi nongkrong 2 jam di depan televisi. Sebagai trainer EQ, saya melihat fenomena ini sebenarnya adalah ujian yang baik untuk kematangan emosional kita. Kadangkala kita kehilangan kemampuan berpikir panjang karena terlanjur terdesak oleh keinginan untuk memuaskan perasaan nonton kita. Banyak orang rela bergadang nonton padahal ia tahu besok harus melakukan presentasi penting. Akibatnya ia kurang tidur, tidak bisa konsentrasi, dan presentasinya tidak sukses. Perasaan ingin nonton World Cup telah mengendalikan dirinya.

Banyak orang rela melepas waktu berkualitas dengan keluarganya demi nongkrong di depan televisi, terhipnotis oleh 22 pria berseragam itu, dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, padahal anaknya ingin bermain dengannya dan penolakan yang ia lakukan membuat sang anak kecewa dan terluka. Padahal jika dipikir-pikir, kalau toh tim jagoan kita menang, apakah yang kita dapatkan? (Kecuali bagi Anda para penjudi pastinya dapat uang!). Buat apa kita bersenang-senang tim kita menang tapi berantem dengan istri/suami kita? Buat apa kita puas nonton tapi besoknya pekerjaan kita kacau dan kepercayaan bos pada kita menurun? Buat apa kita happy nonton bola tapi anak kita dikecewakan?

Tentu saja artikel ini bukan menyuruh Anda untuk berhenti nonton World Cup. Memang ini adalah event langka yang sayang dilewatkan. Namun, marilah kita menikmati World Cup dengan EQ yang cerdas. Tetaplah memikirkan konsekuensi-konsekuensi hobi Anda. Pertimbangkan setiap pengorbanan yang Anda lakukan demi nonton World Cup dan pikirkan apa konsekuensinya. Yang terpenting adalah Anda tahu konsekuensinya dan tahu bagaimana menghadapi konsekuensi tersebut.

So, selamat menonton World Cup dengan kecerdasan emosi!

Hidup Inggris! (btw, siapa jagoan Anda?)