Waspadai Text Communication!

Sebagai pakar Kecerdasan Emosi (EQ) selama  bertahun-tahun, saya mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan komunikasi manusia, baik dalam organisasi, pekerjaan, maupun kehidupan sehari-hari, saya menjumpai ada beberapa problem komunikasi yang menjadi akar munculnya masalah dan herannya problem ini terus berulang-ulang seolah-olah hampir tak ada orang yang menyadari bahwa itu adalah sebuah masalah.

Dalam workshop Communication Skill yang saya adakan, ada salah satu sesi yang secara khusus membahas mengenai Text Communication atau berkomunikasi dengan menggunakan tulisan (teks). Dalam sesi ini saya selalu mengatakan bahwa “berkomunikasi dengan tulisan saja, adalah salah satu bentuk level komunikasi TERENDAH!”

Apa yang saya maksudkan sebagai level komunikasi terendah? Artinya berkomunikasi hanya dengan menggunakan teks saja, sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman. Itu sebabnya, untuk hal-hal yang sifatnya penting dan urgent, saya tak pernah menyarankan untuk dikomunikasikan dengan menggunakan tulisan (kecuali dengan alasan yang amat sangat terpaksa).

Masalahnya, adanya SMS, email, BBM, dan social media membuat kita semakin malas berkomunikasi langsung dan lebih memilih “jalan pintas” yang cepat dan mudah (bahkan murah) dengan menggunakan pesan-pesan teks.

.

Setidaknya, ada 3 alasan mengapa komunikasi menggunakan teks bisa menjadi sangat berbahaya dan rentan terhadap terjadinya miskomunikasi:
.

1. TULISAN TAK BERNADA

Di dalam tulisan sama sekali tidak ada intonasi dan nada. Siapa yang menjadikannya berintonasi dan bernada? Tentu saja si pembaca! Artinya, Anda menyerahkan sepenuhnya control persepsi isi pesan kepada pembaca. Tentunya, dengan adanya tanda baca dan beberapa symbol tulisan bisa menolong kita untuk membuat pembaca mengarah pada intonasi tertentu. Tapi masalahnya, tidak semua orang (bahkan hanya sedikit orang) yang punya skill untuk mengolah tulisan hingga menjadi bernada dan “hidup”

Belum lagi kalau Anda memakai SMS, BBM, dan ruang media yang membatasi jumlah karakter tulisan Anda, maka kita cenderung melupakan semua tanda baca dan persepsi orang yang membacanya. Disinilah banyak mispersepsi terjadi.
.

2. TULISAN TAK BEREKSPRESI

Anda tak pernah bisa menebak bagaimana perasaan dan ekspresi emosional sang penulis. Bisa saja dia menuliskan seolah-olah marah, padahal sebenarnya dia biasa saja. Atau sebaliknya, bisa saja tulisannya seolah-olah dia tidak apa-apa, padahal dia sebenarnya marah. Inilah kelemahan komunikasi lewat tulisan. Dengan bertatap muka, atau minimal hanya mendengar suara saja, kita jauh lebih mudah untuk menebak bagaimana reaksi emosional dan isi pikiran lawan bicara kita yang sesungguhnya.

.

3. TULISAN TERBATAS RUANG DESKRIPSINYA

Mendeskripsikan sesuatu lewat tulisan dibutuhkan sebuah skill khusus. Itu sebabnya tidak semua bisa menjadi penulis dan bahkan ada jabatan atau profesi Copywriter yang pekerjaannya memang merancang sebuah tulisan dan kalimat yang seefektif mungkin dalam menyampaikan suatu informasi. Tentu saja dalam komunikasi sehari-hari di pekerjaan dan hidup Anda, mustahil untuk menyewa “copywriter pribadi” untuk menuliskan semua pesan Anda. Itu sebabnya kadangkala SMS singkat yang sederhana saja bisa menjadi sumber konflik karena tak mampu mendeskripsikan apa isi pikiran kita sebenarnya.
.

Meski tulisan sangat menolong kita berkomunikasi, seperti Anda sedang membaca tulisan saya saat ini. Namun, tetap saja penggunaan tulisan dalam berkomunikasi membutuhkan perhatian dan harus diwaspadai agar tidak menjadi masalah.

Self awareness adalah salah satu kompetensi Kecerdasan Emosi (EQ). Menerapkan EQ dalam komunikasi teks sangatlah sederhana, cukup sadari dan waspadai apa yang Anda tulis dan perkirakan apakah tulisan itu bisa dipersepsikan secara benar dan tepat oleh tipikal orang yang membaca pesan Anda. Let’s emotionally smart!

.
by Josua Iwan Wahyudi
Master Trainer EQ Indonesia
follow @josuawahyudi