Entrepreneur VS Intrapreneur

Jika ditanya, salah satu keinginan terbanyak para karyawan “kantoran” adalah, segera resign, punya usaha sendiri, menjadi entrepreneur dan menjalani kehidupan yang “bebas” dan “sukses”.

Seorang teman pernah berkata, “lebih baik menjadi kepala ayam, daripada menjadi ekor naga!”

Itu adalah sebuah ungkapan yang artinya, lebih baik punya usaha kecil-kecilan tetapi menjadi bosnya, daripada menjadi karyawan di perusahaan besar tetapi tetaplah “bekerja pada orang”.

Sungguhkah entrepreneur lebih baik daripada kerja kantoran? Bagaimana kalau perbandingannya menjadi kepala ayam vs menjadi leher naga? Punya resto kecil-kecilan vs menjadi CEO sebuah perusahaan multinasional?

Banyak sekali karyawan yang menggebu-gebu ingin menjadi entrepreneur, tanpa mengetahui sebuah fakta bahwa: ENTREPRENEURSHIP BUKAN UNTUK SEMUA ORANG!

Ada alasannya kenapa angka wirausaha di Indonesia hanyalah 3,1% dari seluruh populasi.  Artinya, dari 33 orang, hanya 1 yang bisa menjadi seorang entrepreneur. Bahkan di negara maju saja, angka entrepreneurship tidak lebih dari 15%.

Statistik ini menunjukkan, bahwa dengan sekedar mengikuti training, seminar motivasi, dan “personal coaching”, tidak menjamin Anda bisa menjadi seorang entrepreneur karena sekali lagi, entrepreneurship bukan untuk semua orang!

Dan siapa bilang, menjadi pengusaha adalah level kesuksesan yang lebih baik dibanding menjadi karyawan “kantoran”? Begitu bias dan kacaunya definisi kesuksesan yang ada di dunia, sampai kita jadi bingung sendiri dan terjebak kepada berbagai stigma bahwa untuk sukses semua orang harus jadi entrepreneur. Padahal, memang ada orang-orang yang tidak ‘fit’ untuk menjadi entrepreneur dan ketika dia memaksakan diri, dia malah bisa menghancurkan masa depannya sendiri.

Stigma bahwa entrepreneur lebih baik dari intrapreneur (pekerja “kantoran) menciptakan beban rasa bersalah dan beban tuntutan seumur hidup bagi para karyawan yang belum (dan akhirnya tidak) berhasil menjadi seorang wirausahawan. Mereka selalu menganggap diri mereka lebih rendah kastanya setiap kali ketemu orang-orang yang sudah menjadi wirausahawan.

Padahal, sungguhkah entrepreneur selalu lebih baik hidupnya dari intrapreneur?

Hidup ini soal pilihan dan bagaimana kita mengelola (manage) semua konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kita. Kuncinya terletak di kemampuan “life management” kita. Entrepreneur atau intrapreneur hanyalah pilihan hidup yang membawa keuntungan dan kekurangannya masing-masing.

Tidak ada pilihan yang lebih baik. Yang ada hanyalah pilihan yang LEBIH PRODUKTIF. Untuk saya, mungkin menjadi entrepreneur adalah  pilihan yang lebih produktif, tetapi bagi Anda bisa jadi malah merupakan pilihan yang kontra produktif. Atau sebaliknya.

Karena itu, penting untuk Anda mengetahui tipikal dan profil diri Anda sendiri, supaya Anda bisa menentukan apakah menjadi entrepreneur akan membuat Anda menjadi lebih produktif dala  melakukan “life management” ataukah jangan-jangan menjadi intrapreneur justru pilihan yang lebih produktif bagi Anda?

Saya mengenal seorang programmer handal. Dia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang cukup tinggi. Karena keahliannya yang handal, akhirnya banyak orang yang memberinya “project pribadi”. Melihat hal ini, ia berpikir, sudah saatnya dia berhenti kerja dan mulai membuka software house’nya sendiri.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk resign dan mulai menapak kaki untuk memiliki usaha sendiri (walaupun saat itu dia masih satu-satunya karyawan untuk dirinya sendiri). Namun apa yang terjadi? Tanpa lingkungan kerja “kantoran”, dia gagal untuk mengelola waktu, mengelola prioritas, dan banyak deadline kerja yang terbengkalai sehingga project’nya banyak yang gagal.

Singkat cerita, ia kemudian kembali bekerja “kantoran” dan hingga kini ia masih berprofesi sebagai karyawan. Performanya justru semakin bagus. Atasannya memberikan kebebasan jam kerja dan berbagai bonus tambahan untuk performanya yang baik. Rupanya, pola kerja intrapreneur membuatnya lebih produktif untuk mengelola hidupnya dibandingkan dengan menjadi seorang entrepreneur.

Tentu saja, Anda bisa berkata “Ah itu mah orangnya aja yang kurang disiplin”. Itu betul.

Tetapi, untuk melatih disiplin, ada orang-orang tertentu yang membutuhkan lingkungan pendukung (misalnya pola kerja “kantoran”?). Inilah yang saya sebut bahwa entrpreneurship bukan untuk semua orang.

Sukses itu bukan terletak apakah Anda berhasil menjadi pengusaha atau tidak. Tetapi terletak pada bagaimana Anda mampu mengatur hidup Anda, sehingga Anda memiliki kehidupan yang berkualitas, karya yang berdampak, dan memberi nilai bagi orang-orang di sekitar kita. Itu bisa dilakukan baik sebagai entrepreneur maupun sebagai intrapreneur, tergantung mana yang lebih produktif untuk profil tipikal Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


DNA Entrepreneur

“Entrepreneurship bukanlah untuk semua orang.”

Kalau Anda kebetulan pernah menghadiri seminar motivasi atau kelas-kelas training dimana pembicaranya berkata “Asalkan ada niat dan tahu caranya, semua orang bisa menjadi entrepreneur!”, menurut saya, itu sebuah kalimat yang cacat logika.

Statistik menunjukkan bahwa angka entrepreneurship di Indonesia tahun 2017, adalah 3,1% dan di negara-negara maju berkisar sekitar 8-13%.

Artinya, di Indonesia, dari 33 orang hanya 1 yang berkemungkinan menjadi entrepreneur. Sedangkan di negara-negara maju, dari 33 orang, paling banyak 5 orang saja yang berpeluang menjadi entrepreneur.

Statistik jelas-jelas menyatakan bahwa entrepreneurship BUKAN UNTUK SEMUA ORANG.

Lalu, secara “hukum alam” sendiri, dibutuhkan lebih banyak karyawan ketimbang entrepreneur. Karena setiap 1 orang pemilik usaha membutuhkan minimal 1 orang juga untuk menjadi karyawannya dia. Semakin besar usahanya, semakin banyak pula karyawan yang dia butuhkan untuk bekerja kepadanya.

Kalau semua orang menjadi entrepreneur, lalu siapa yang jadi karyawannya? Kalau 50% populasi menjadi entrepreneur, maka dengan sendirinya itu keadaan itu akan membunuh entrepreneurship karena kekurangan tenaga kerja untuk menjadi karyawan. Maka, memang sudah menjadi “hukum alam” bahwa jumlah entrepreneur selalu jauh lebih kecil dari jumlah karyawan “yang kerja sama orang”.

Maka, memberikan harapan palsu dengan kata-kata “Semua orang bisa menjadi entrepreneur!” adalah sebuah dorongan motivasional yang berbahaya sekaligus kejam. Saya sebut kejam karena memberikan iming-iming palsu tanpa membuka semua fakta kebenarannya.

Dan karena entrepreneurship bukan untuk semua orang, itu sebabnya, Founder Institute, salah satu lembaga pendidikan Start Up yang cukup ternama dari Amerika dan sudah memiliki perwakilan di berbagai kota besar dunia, mencetuskan istilah “DNA Entrepreneur”. Artinya, orang-orang yang menjadi entrepreneur sukses biasanya memiliki ciri-ciri yang mirip.

Akan sangat panjang untuk membahas keseluruhan detail DNA Entrepreneurship ini. Di artikel kali ini, saya hanya akan memaparkan secara singkat, 3 indikator dasar untuk memeriksa apakah di dalam diri kita ada “bakat” seorang entrepreneur. Mari kita mulai!

EMOTIONAL STABILITY

Dunia wirausaha adalah dunia yang penuh gejolak, perubahan, dan sangat dinamis. Banyak hal-hal diluar prediksi yang bisa terjadi dan seringkali kita akan berhadapan dengan situasi-situasi yang tidak jelas namun membutuhkan keputusan yang cepat dan tegas.

Disinilah Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi penting, karena dibutuhkan orang yang memiliki ketenangan emosional. Entrepreneur sejati adalah orang yang berhati-hati, sekaligus berani. Artinya, dia bisa mengambil keputusan yang teguh dengan cepat namun sekaligus juga sudah memperhitungkan konsekuensinya.

Dan yang menarik, sebagian besar entrepreneur sukses adalah orang-orang yang tidak kehilangan ketenangannya meski sedang menghadapi krisis maupun keadaan-keadaan sulit di luar perkiraan. Itu sebabnya, mereka mampu menghadapi resiko dan ancaman dengan tetap tenang tanpa kehilangan pemikirannya.

Seorang entrepreneur adalah orang yang bisa hidup dalam ketidakpastian dan bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan yang dinamis. Apalagi jika kita berbicara mengenai masa-masa perintisan, ketidakpastian income, keadaan yang penuh kejutan ini itu, semuanya harus dihadapi dengan tanpa kehilangan optimisme.

Banyak sekali orang yang batal menginjakkan kaki menjadi wirausahawan lantaran mereka ingin kepastian. Mereka tidak tahan hidup tanpa fix income tiap bulan. Mereka kewalahan menghadapi stok barang yang menumpuk tanpa tahu kapan bisa terjual. Mereka terkaget-kaget dengan perubahan situasi pasar yang tiba-tiba lesu dan hilang tren. Mereka bingung ketika semua cara sudah dilakukan tapi hasilnya tak kunjung nampak.

Dibutuhkan sebuah “kematangan” emosional tersendiri untuk bisa menghadapi situasi-situasi semacam ini. Apakah Anda bisa hidup dalam keadaan-keadaan tersebut?

 

SELF DRIVEN

Seorang entrepreneur adalah orang yang bisa memacu dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan orang lain untuk menyuruhnya bekerja. Ia mampu membangun disiplinnya sendiri.

Cobalah tengok para entrepreneur sejati yang memulai usaha mereka dari nol seorang diri. Mereka punya disiplin kebiasaan yang dibangun dengan konsisten. Mereka bangun pagi tanpa diminta. Mereka lembur jika diperlukan tanpa harus disuruh. Mereka tahu hal-hal apa yang harus dikerjakan untuk supaya berhasil. Mereka tidak mudah kehilangan mood dan bisa konsisten bekerja secara ulet dan tekun.

Jika Anda jenis orang yang membutuhkan orang lain untuk menyemangati Anda. Jika Anda butuh disuruh-suruh dan diingatkan agar bisa produktif. Atau, jika Anda butuh lingkungan yang teratur, jelas, dan membutuhkan sistem pengingat agar Anda bisa bekerja maksimal, maka kemungkinan Anda akan sulit hidup di dalam dunia entrepreneurship.

Karena dunia entrepreneurship membutuhkan orang-orang yang bisa “membangkitkan” etos kerja dari dalam dirinya sendiri. Dan lagi-lagi, trait “self driven” ini juga adalah bagian dari Kecerdasan Emosi (EQ).

 

SOCIAL SMART

Para entrepreneur yang berhasil adalah orang-orang yang fleksibel dan fasih dalam membangun komunikasi dan hubungan dengan orang lain.

Banyak orang berpikir, kalau mau punya usaha kuliner, maka kita harus ahli memasak atau setidaknya ahli dalam dunia kuliner. Atau, jika mau punya usaha bengkel, maka kita haruslah orang yang mengerti dan ahli tentang mesin otomotif.

Kita pikir, keahlian teknis adalah hal terpenting yang membuat usaha kita berhasil. Namun  kenyataannya, justru di luar itu, ada hal yang lebih penting lagi. Yaitu: relasi dan koneksi.

Sebuah usaha yang berhasil bukan cuma karena produk atau jasanya yang bagus. Tetapi, juga karena adanya jaringan relasi dan koneksi yang luas dan kuat. Disinilah kemampuan untuk membangun komunikasi dan hubungan menjadi hal yang sangat penting.


Nah, bagaimana kalau Anda tidak memiliki ketiga hal di atas? Apakah itu artinya Anda harus mengurungkan niat sebagai entrepreneur?

Begini, masih ada beberapa indikator lain yang harus kita periksa. Namun, jika Anda lemah pada 3 indikator di atas, maka memang sebaiknya Anda mempertimbangkan ulang untuk memilih jalur entrepreneur. Karena, toh kesuksesan hidup bukan diukur apakah Anda menjadi entrepreneur atau tidak.

Lalu, beruntungnya kita hidup di era modern yang membuka berbagai kemungkinan yang luas. Di era bisnis modern sekarang ini, jika kita lemah dalam beberapa hal, sebenarnya kita bisa bekerja sama dengan orang lain untuk memulai bisnis bersama-sama. Namun, “join kongsi” ini pun juga memiliki keuntungan dan kelemahannya. Di artikel yang lain saya akan membahas soal ini.

Menutup artikel ini, hal penting yang ingin saya sampaikan adalah: Tuhan menciptakan kita unik dan berbeda-beda. Jalur kesuksesan seseorang belum tentu menjadi jalur kesuksesan untuk kita. Artinya, belum tentu entrepreneurship adalah satu-satunya jalan menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup. Jangan terbebani HARUS menjadi entrepreneur hanya karena ajaran-ajaran “ngawur” dari beberapa orang yang mengharuskan Anda menjadi wirausahawan.

Mengenali diri-sendiri dan memaksimalkan potensi kita, itulah yang lebih penting. Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan diri Anda dengan kelebihan yang Anda miliki. Entrepreneurship hanyalah satu dari sekian opsi yang terbentang. Pilihlah mana yang paling produktif untuk Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Career Killer

 

“Cara Cepat Untuk Naik Jabatan! (dan Gaji!)”

Begitulah kurang lebih judul seminarnya. Tapi sayang, ketika dihadiri dan disimak, ternyata pemaparan yang diberikan tidaklah sebanding dengan kehebohan judulnya, karena kata “cepat” itu sendiri memanglah relatif. Cepat bagi si pembicara belum tentu cepat menurut saya.

Tetapi pertanyaannya, sungguhkah ada cara yang (setidaknya) bisa mempercepat laju karir “kantoran” kita?

Jika Anda benar-benar mengamati, sebenarnya memang ada beberapa orang (lebih tepatnya, sedikit orang) yang mengalami kenaikan jabatan lebih cepat dibandingkan orang-orang pada umumnya. Salah satu strategi mereka adalah, berpindah-pindah perusahaan. Jika perlu, berpindah fungsi jabatan, yang penting gaji dan level jabatannya naik.

Saya tidak akan membahas soal pindah memindah ini. Saya akan menulis artikel lain soal ini.

Dalam tulisan kali ini, saya lebih ingin membahas, apa yang membuat seseorang mengalami “stuck” dalam karirnya. Sudah bekerja begitu lama, tetapi level pertumbuhannya hanyalah rata-rata (baik secara tingkat jabatan maupun gaji), atau bahkan malah minim.

Hampir seluruh karyawan “kantoran” yang saya jumpai, memiliki mentalitas dan cara pandang yang mirip-mirip dalam bekerja. Inilah yang membuat mereka kemudian masuk dalam golongan “average” itu. Inilah yang saya sebut dengan keadaan “Career Killer”, yaitu sikap, tindakan, dan cara pandang yang tanpa mereka sadari sudah membunuh perkembangan karir mereka sendiri.

Dalam tulisan ini, tidak semua bisa saya bahas karena akan menjadikan artikel ini terlalu panjang. Saya akan mencoba membahas 2 hal yang paling mendasar dan paling “killer” lebih dulu:

 

Auto Pilot Attitude

“Bertambahnya usia membuat Anda menjadi makin tua, tapi tidak menjamin Anda menjadi makin dewasa”

Pernah mendengar quotes bijaksana ini?

Di dalam hidup ini, ada hal-hal yang secara pasti akan meningkat dengan bertambahnya durasi/waktu. Salah satunya usia. Tetapi, kalau kita berbicara kapasitas, keahlian, dan kompetensi, aturan ini tidaklah berlaku (atau setidaknya tidak berlaku kepada sangat banyak hal).

Banyak karyawan yang berpikir, kalau mereka bekerja dalam kurun waktu yang lama, maka otomatis mereka cepat atau lambat akan naik jabatan dan naik gaji. Makin lama waktu yang didekikasikan, harusnya makin banyak pertambahannya. Itu sebabnya, kemudian banyak orang bekerja secara “auto pilot”, alias cuma melakukan rutinitas seadanya dan menjalankan “program” sehari-hari mereka sambil berharap karir mereka akan terus meningkat seiring waktu.

Masalahnya, hampir seluruh tempat kerja kita, bukanlah non-profit organization. Sebagus-bagusnya visi dan value sebuah perusahaan, tetaplah mereka profit-based organization. Artinya, mereka membutuhkan orang-orang yang bisa “make money” untuk perusahaan mereka. Maka, disinilah dituntut kompetensi, keahlian, dan performa kinerja yang setinggi-tingginya.

“Wah… Berarti kita ini cuma sapi perah ya…” Jika itu kalimat yang muncul di kepala Anda, saya exact akan membahas soal ini di poin kedua nanti.

Lanjut lagi. Kompetensi dan kinerja, tidak nongol begitu saja. Semuanya harus DIUSAHAKAN. Perlu pembelajaran, latihan, disiplin, dan niat untuk mewujudkannya. Anda tidak bisa memperoleh semua itu hanya dengan sekedar “auto pilot” setiap hari.

Sayangnya, ada begitu banyak karyawan yang masih tidak menyadari ini. Tapi bagi sebagian kecil yang memahami prinsip ini, mereka melatih diri dan mengembangkan diri sehingga memiliki keunggulan dibanding orang lain. Dan ketika perusahaan melihat orang-orang yang “stand out” ini, tidak heran kemudian mereka mengangkat orang-orang ini menjadi pemimpin dan menaikkan gaji mereka, karena mereka menyumbang kontribusi lebih banyak dari orang lain pada umumnya.

Kuncinya disini adalah, niat dan keinginan untuk mengembangkan diri menjadi lebih kompeten dari orang lain. Jika memang Anda serius ingin karir Anda lebih baik, tinggalkan budaya “auto pilot” Anda.

 

Self Slavery Attitude

Sikap “pembunuh karir” berikutnya adalah sikap atau mentalitas budak.

Bagaimana perusahaan memandang Anda tidaklah lebih penting daripada bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri.

Banyak karyawan menganggap diri mereka sebagai “sapi perah”, “orang bawah”, “pion catur”, “budak jajahan”. JIka Anda memandang diri Anda sendiri seperti itu, maka tidak heran kelakuan Anda menjadi seperti itu.

Tidak peduli apa pandangan orang lain (dan perusahaan atau bos Anda) kepada Anda, Anda harus tetap bisa melihat diri Anda adalah orang yang berharga, dengan begitu sikap dan tindakan Anda akan menjadi berbeda. Tindakan yang berbeda itulah yang mengantarkan karir Anda meningkat (kalau bukan di perusahaan yang sekarang ini, pasti ada perusahaan lain yang bisa melihat potensi Anda).

Ketika kita memposisikan diri menjadi korban, sebenarnya kita sedang memperbudak diri-sendiri. Dan setiap karyawan yang bermental budak, akan menerima perlakukan “perbudakan” dari perusahaan dan atasan mereka. Bukan salah perusahaannya atau bos Anda, tetapi karena Anda sendiri yang memposisikan diri sebagai budak jajahan.

Salah satu ciri paling utama yang menunjukkan bahwa kita bermental budak jajahan adalah: baru bertindak kalau disuruh. Tidak ada seorang budak yang memiliki INISIATIF. Inisiatif hanya dimiliki oleh para innovator, orang yang hidupnya terus berkembang.

Sementara, di berbagai tempat kerja, dengan mudah kita menjumpai orang-orang yang hanya bekerja kalau ada atasannya. Baru bekerja kalau diperintah dan disuruh. Baru mau bergerak kalau dimarahi dan diancam-ancam. Baru serius kalau dipotong gajinya. Artinya, dari perilaku mereka ini, mereka sendiri yang meminta untuk “dijajah”.

Sekali lagi, jika Anda serius ingin mengalami peningkatan karir, berhentilah memposisikan diri sebagai sapi perah. Mulailah berinisiatif untuk berkarya tanpa diminta dan disuruh. Tunjukkan kualitas Anda yang sesungguhnya. Bagaimanapun, orang yang berkualitas akan segera bertemu dengan orang-orang yang akan bisa menghargai kualitas itu.

Tetapi jika Anda terus-menerus memposisikan diri sebagai “budak jajahan”, maka sampai selamanya, orang-orang akan terus memperlakukan Anda sebagai “budak jajahan”.

Selamat berkarir!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


MELATIH EMOSI ANAK SEJAK DINI MELALUI DONGENG

Seperti kita ketahui, anak-anak sangat menyukai cerita-cerita dongeng ataupun fiksi. Tapi tahukah Anda bahwa dongeng dan cerita anak-anak mempengaruhi dirinya hingga dewasa? Tidak heran jika Anda masih menjumpai orang dewasa yang masih menyukai super hero atau pun tokoh-tokoh dari cerita fiksi lainnya seperti cerita fairy tale yang pernah mereka ketahui. Anak perempuan yang menyukai tokoh-tokoh putri atau pun para anak laki-laki yang memimpikan dirinya sebagi tokoh jagoan yang bisa memerangi kejahatan membuat film-film yang diproduksi oleh Disney, Dreamworks, Warner Bross dan rumah produksi lainnya tidak pernah kehabisan penggemar.

Cobalah tengok isi bioskop saat pemutaran film-film seperti Captain America, The Avengers, maupun film animasi macam Tangled, Frozen, The Croods, bahkan hingga film yang sangat “khayal” seperti Transformers. Penonton yang memenuhi bioskop bukan hanya anak-anak, tapi malah lebih banyak orang dewasa (terutama yang ketika kanak-kanak pernah “berjumpa” dengan sosok-sosok di film itu melalui komik, cerita, maupun animasi kartun).

Mungkin bagi beberapa orang, dongeng hanya sekedar cerita khayalan saja tapi tidak bagi anak-anak. Kreatifitas seseorang terbentuk dari daya imajinasinya dan imajinasi itu ada di masa kanak-kanak, khususnya di usia golden age (1-5 tahun). Masa dimana setiap orang di sekeliling anak tersebut khususnya orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengan dirinya akan membentuk dan mempengaruhi cara hidup mereka di masa depan.

Tahukah Anda dongeng memiliki kekuatan yang sangat besar untuk psikologi anak dan kecerdasan emosi mereka? Anda bisa melatih kecerdasan emosi anak melalui mendongeng. Indonesia memiliki kaya akan cerita dongeng dari berbagai daerah, seperti cerita Si Kancil. Sayangnya tidak banyak diterapkan oleh orang tua di masa sekarang. Anak-anak lebih banyak disuguhi oleh media elektronik seperti tv dan video games sebagai pilihan orang tua dalam mengasuh anak saat ini. Ketidakseimbangan emosi dalam diri anak pun terjadi.

Dengan mendongeng, Anda bisa mengekspresikan emosi melalui suara-suara binatang yang ada di cerita tersebut atau suara gemuruh petir dan juga suara lainnya dengan berbagai intonasi dan tekanan. Anak-anak jadi mengenal berbagai emosi dari ekspresi suara, wajah dan gerakan Anda. Secara tidak langsung, Anda merangsang kreatifitas dan pengenalan terhadap berbagai macam ekspresi emosi.

Anda bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin Anda wariskan untuk bekal hidup mereka di masa depan dengan memilih cerita dongeng yang sesuai. Sehingga anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan cerita tersebut seperti kejujuran, ketekunan, hormat, dan nilai-nilai lainnya.

Kualitas waktu yang dibentuk dari budaya mendongeng akan membantu mempererat kedekatan hubungan emosional Anda dengan anak Anda. Ada masa dimana anak Anda akan sulit memberikan waktu untuk mendengarkan Anda karena dunianya sudah berubah. Sebuah penelitian menyebutkan rata-rata setiap orang mengingat peristiwa berkesan dan membekas adalah ketika di masa kecil, yaitu peristiwa yang mengandung emosi baik itu peristiwa yang menyedihkan atau pun yang menyenangkan. Dan tentunya Anda pasti menginginkan anak-anak Anda mengingat Anda melalui peristiwa yang menyenangkan bersamanya. Jadi, mulailah luangkan waktu untuk melakukan “dongeng sebelum tidur”, Anda takkan menyangka betapa dahsyat hasil dari waktu 20 menit yang Anda sisihkan untuknya… Sesuatu yang pasti takkan Anda sesali seumur hidup!


TIDAK HANYA SEKEDAR BICARA

Banyak orang yang mengira kalau mereka sudah fasih dalam berbicara, maka mereka menganggap bahwa diri mereka ahli dalam berkomunikasi.

Tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa sering berbicara dan ngobrol menunjukkan bahwa komunikasi mereka tidak ada masalah. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Komunikasi tidak melulu soal bagaimana kita berbicara, bahkan, seringkali ada banyak bentuk komunikasi yang sama sekali tidak melibatkan kata-kata dan ucapan verbal. Lalu, jika demikian, apa yang bisa kita lakukan agar kita benar-benar menjadi ahli komunikasi?

1. MENDENGAR

Saat berkomunikasi, banyak orang cenderung fokus mencoba menyampaikan apa maksud kita. Itu sebabnya banyak kasus dimana orang berlomba-lomba memotong pembicaraan. Bukan kebetulan sebuah pepatah muncul dan menjadi popular dengan pesannya, “manusia diciptakan memiliki 1 mulut dan 2 telinga supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara”.

Di dalam komunikasi ada saatnya mendengarkan dan ada saatnya berbicara. Mendengarkan di sini artinya  tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi menyimak. Menyimak akan memperlihatkan tanda keperdulian Anda terhadap apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Ketika Anda bertanya kepada orang lain, simaklah jawabannya. Jangan hanya perhatikan kata-kata yang mereka ucapkan, tapi juga bagaimana mereka berbicara. Ajukan pertanyaan yang menyambung pembicaraan. Perhatikan pendapat dan ide mereka. Komunikasi tanpa menyimak akan membuat komunikasi tidak berlangsung dengan baik.

Banyak kasus kesalahpahaman komunikasi dan konflik muncul bukan karena maksud yang tak tersampaikan, melainkan kita yang gagal menangkap apa maksud yang coba disampaikan orang lain.

2. MENYADARI AREA YANG LEMAH DAN MEMPERBAIKINYA

Kita perlu menyadari bahwa dengan hanya bertukar kata tidak menjamin komunikasi sudah baik. Hubungan yang harmonis sekali pun memiliki saat-saat dimana tiba-tiba komunikasi kita terasa tidak “nyambung”.

Komunikasi tidak hanya berbicara tentang apa yang ingin disampaikan, tetapi juga tahu kapan dan bagaimana menyampaikannya. Itu sebabnya, kita harus belajar mengevaluasi cara-cara kita dalam berkomunikasi, meminta feedback dari orang-orang terdekat kita, dan terbuka untuk belajar cara-cara orang lain.

Ingat, sama seperti dulu kita belajar berjalan, menulis, berhitung, menyetir mobil, dan banyak keahlian lainnya, begitu pula dengan komunikasi, kita perlu terus belajar menyempurnakan cara-cara komunikasi kita.

3. ENERGI EMOSI

Inilah faktor yang paling jarang disadari oleh kebanyakan orang. Komunikasi tidak hanya terjadi melalui apa yang terlihat, tetapi apa yang tak terlihat dari dalam diri kita juga turut berkomunikasi, yaitu energi emosional.

Sadar tak sadar, saat Anda marah, tanpa perlu mengeluarkan kata-kata dan menunjukkan dari wajah Anda, seringkali energi marah Anda bisa dirasakan oleh orang lain. Itu sebabnya, dalam berkomunikasi Anda harus menyadari energi apa yang Anda radiasikan kepada orang lain.

Banyak pemimpin mencoba memotivasi bawahannya namun ia meradiasikan energy pesimisme. Maka, meski kata-katanya adalah ucapan optimis, namun bawahannya bisa merasakan bahwa sebenarnya pemimpin mereka pesimis.

Itu sebabnya ahli komunikasi yang cerdas mampu melakukan “emotion switch”, yaitu mengubah energi emosi mereka dan mood mereka untuk mendukung isi komunikasi yang sedang mereka sampaikan kepada orang lain.

Nah, selamat berlatih kembali!


MEMBANGUN INTEGRITAS

Banyak orang mengira bahwa promosi, peningkatan karir, pertumbuhan bisnis, atau kemajuan hidup, hanya didasarkan pada kerja keras, keahlian-keahlian, dan sikap optimis. Sedikit orang yang sadar bahwa ada sebuah faktor penting yang memang tampak “kecil” namun efeknya sangat besar. Faktor tersebut bernama Integritas.

Bayangkan jika Anda memiliki bawahan yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Bayangkan Anda berbisnis dengan orang yang bisa berubah-ubah isi janji dan perkataannya. Bayangkan jika sebuah perusahaan tidak memegang komitmen dan prinsip yang mereka publikasikan. Mungkinkah orang lain mau berhubungan lebih lanjut?

Disinilah integritas berperan penting dalam mengokohkan kaki kita di jalur kemajuan.

Bahkan, dalam banyak kasus, orang yang memiliki integritas akan lebih dipercaya daripada mereka yang hanya sekedar ahli tapi sulit dipercaya. Karena itu, cobalah lihat bagaimana “level” integritas Anda… Sudahkah Anda menerapkan 4 indikator integritas sederhana berikut ini:

1. Setia dan tidak meremehkan hal-hal kecil

Kita sering menganggap remeh keteledoran-keteledoran kecil. Kita seringkali tidak ambil pusing dengan “pengingkaran-pengingkaran” kecil. Tapi tahukah Anda? Jika Anda melakukan berulang kali dan terus menerus, tanpa Anda sadari, Anda membangun suatu kebiasaan baru yang membuat orang lain perlahan-lahan bisa melihat bahwa ternyata Anda bukan orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Bangun komitmen dan jaga konsistensi secara terus menerus untuk setia terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang Anda pegang meski mengandung resiko kehilangan kenyamanan Anda.

2. Melakukan secara konsisten apapun situasinya

Kebudayaan di sekeliling kita membangun suatu gaya hidup perasaan yang bernama “tidak enak”. Hal ini yang membuat seseorang terlihat “plin-plan” dan tidak konsisten sehingga ia kehilangan integritasnya. Belajarlah untuk mulai konsisten dalam hal-hal yang sederhana dulu. Misalnya, jika Anda sudah berkomitmen untuk tidak buang sampah sembarangan, maka meski berada di lingkungan yang semuanya membuang sampah dan Anda diminta untuk membuangkan sampah teman di jalan, berusahalah memegang komitmen Anda secara konsisten meski di situasi sulit. Disitulah karakter integritas Anda diperkuat.

3. Membangun budaya kepercayaan.

Membangun kepercayaan tentunya tidak mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan perlu terus dijaga. Anda bisa mulai membantu menciptakan budaya ini di lingkungan kerja Anda. Belajarlah melakukan apa yang sudah Anda janjikan atau katakan, dan beranilah menanggung akibat dari tindakan-tindakan Anda. Banyak orang dianggap kurang berintegritas karena melempar tanggung jawab saat terjadi kesalahan.

4. Berperilaku seperti sedang diawasi

Seringkali ditemukan para pekerja di perusahaan hanya bekerja secara optimal jika ada yang mengawasi atau ada atasan. Mulai sekarang, berusahalah melakukan yang terbaik meski tidak sedang diawasi. Contoh sederhana, taatilah lampu merah meski tidak ada polisi yang mengawasi, karena disitulah integritas kita diuji. Integritas justru dipraktekkan bukan saat dilihat orang, melainkan pada saat tidak ada siapa-siapa disana.

Percayalah, orang yang memiliki integritas kuat, tak akan pernah kekurangan dukungan. Orang yang memiliki integritas, meski melewati masa sulit, akan selalu ada orang lain yang menolong dan memberi jalan padanya, karena integritas seperti nyala cahaya di tengah malam, begitu langka namun terlihat jelas oleh orang lain.


EQ Coaching Indonesian Idol 2014

Tanggal 5 April 2014, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, kembali dipercaya untuk memberikan EQ Coaching kepada finalis Indonesian Idol, kali ini Master Trainer EQ Indonesia memberikan tips melakukan “mood management” kepada Husein, Gio, Virzha, dan Ubay (minus Yuka dan Nowella yang sedang sakit), yang masih bertahan dalam babak 6 besar Indonesian Idol 2014.

Dalam sesi EQ Coaching ini, Josua Iwan Wahyudi memberikan 3 tips praktis yang bisa dipraktekkan dengan sangat singkat untuk meningkatkan mood dan perasaan kita terutama dalam menghadapi kompetisi yang ketat, menghadapi situasi sulit yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan dalam menghadapi perjuangan meraih target.

Dengan memberikan banyak contoh nyata baik di industri musik maupun industri diluar musik, Master Trainer EQ  Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, mencoba menunjukkan betapa pentingnya memiliki mood yang stabil dan memiliki kemampuan emotional management yang bisa memunculkan best performance dalam kondisi apapun. Dalam sesi ini, setiap finalis semakin menyadari betapa pentingnya memiliki mood management yang baik agar selalu bisa memberikan penampilan terbaik.


“Rahasia Keunggulan” bersama Ciputra Group

Pada bulan Februari dan Maret 2014, Ciputra Group kembali mengundang Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, untuk memberikan seminar “Rahasia Keunggulan” untuk brokers gathering yang diselenggarakan di 2 tempat, yaitu di Banjarmasin dan Samarinda. Perkembangan bisnis properti yang dirasakan oleh Ciputra Group di luar pulau Jawa, membuat mereka tetap ingin mempertahankan keunggulan mereka menjadi pemain utama di berbagai wilayah di Indonesia.

Itu sebabnya, di 2 lokasi yang berbeda ini, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi memberikan 4 tips praktis bagaimana menjadi pribadi yang unggul dalam situasi dan keadaan apapun. Seminar ini bukan sekedar seminar motivasi karena Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, bukan hanya memberikan suntikan semangat saja, tetapi juga memperlengkapi setiap peserta dengan berbagai trik untuk memiliki kemampuan membaca orang dengan cepat, menyesuaikan gaya komunikasi yang tepat dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri di atas rata-rata, dan juga tips menghadapi keadaan-keadaan sulit yang terjadi.

Di hadapan sekitar 100-150 orang di tiap kota, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, membawakan seminar ini dengan fun, memberikan simulasi langsung untuk membuat peserta memahami materi dengan lebih baik, serta memberikan contoh-contoh nyata yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


Emosi Tidak Hanya Ada Pada Manusia?

Baru-baru ini dunia mulai dihebohkan dengan berita mengenai pengembangan sebuah teknologi mutakhir di Eropa. Teknologi ini bertujuan membuat sebuah robot yang bisa memiliki emosi. Robot ini dikenal dengan istilah robot humanoid, yaitu robot yang bisa membangun ikatan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya. Uniknya, robot ini juga bisa mendeteksi emosi manusia melalui aktivitas non verbal seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah, bahkan mahir membaca perasaan orang lain meskipun komunikasi tersebut cukup panjang. Hal ini dikarenakan ‘otak’nya di desain dengan jaringan syaraf pikiran manusia sehingga mampu mengingat segala interaksi dengan banyak orang yang berbeda. Robot ini juga bisa mengalami stres atau pun marah jika ia merasa tidak nyaman dengan manusia yang berinteraksi dengannya.

Selain teknologi robot, ada juga penelitian emoticon terbaru untuk aplikasi chatting yang sedang dikembangkan di Jepang. Jika selama ini Anda mengekspresikan emosi Anda melalui simbol-simbol emoticon yang tersedia di aplikasi yang Anda gunakan, maka kini sedang dikembangkan bentuk emoticon yang berasal dari wajah Anda sendiri. Artinya, orang yang sedang berinteraksi dengan Anda akan lebih mudah membayangkan ekspresi wajah Anda, sehingga ber”texting” menjadi semakin terasa “live”.

Dapatkah Anda bayangkan betapa majunya teknologi saat ini? Emosi yang merupakan bagian kompleks dan unik dalam diri manusia berusaha “ditaruh” di sebuah benda mati dan aplikasi. Mungkin tokoh khayalan semacam Astro Boy dan Doraemon yang selama ini hanya ada di dalam kartun anak-anak sekarang, bisa-bisa segera menjadi nyata.

Kehidupan di jaman sekarang khususnya di kota-kota besar dan negara-negara maju sudah membuat manusia memiliki tingkat individualis lebih tinggi dibanding dahulu. Perubahan kehidupan yang terjadi juga mempengaruhi cara manusia berinterkasi. Interaksi manusia banyak diperbantukan (atau malah digantikan?) dengan alat dan aplikasi komunikasi. Dimana kita juga bisa mengekspresikan perasaan kita dengan emoticon yang tersedia oleh aplikasi tersebut. Tidak hanya bisa membuat orang yang jauh menjadi dekat namun juga bisa membuat orang yang dekat menjadi jauh. Bahkan tidak sedikit konflik terjadi karena kesalahan pahaman.

Saya juga sempat menyaksikan berita bagaimana kehidupan beberapa orang yang tinggal bersama dengan manekin, boneka atau pun robot untuk menemani mereka yang tinggal sendiri. Sungguh unik bagaimana posisi yang pada dasarnya diisi oleh sesama manusia tapi dipilih dan digantikan dengan benda mati.

Namun, pertanyaannya, benarkah interaksi emosional manusia bisa di”program”kan dan bahkan bisa digantikan oleh teknologi digital? Memang sulit untuk menjawab ini karena kita tak pernah tahu masa depan. 100 tahun yang lalu kita tak pernah berpikir bahwa seluruh dunia bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat, namun begitu internet muncul, jarak dan waktu seolah bukan masalah lagi.

Sejauh ini, berdasarkan pengalaman nyata dan kasus yang terjadi di lapangan, maupun hasil survey di berbagai negara dan oleh berbagai ahli, teknologi hanya bisa mempermudah dan mempercepat interaksi namun tak pernah bisa menggantikan koneksi emosional yang ada. Bahkan berbagai seminar yang menggunakan “live streaming” tetap tak bisa memiliki efek koneksi emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan seminar yang “live” dimana sang pembicara benar-benar hadir dan berhadapan langsung di lokasi.

Begitu pula, semua emoticon dan bentuk pengganti ekspresi emosi yang ada hingga hari ini, bahkan tidak mampu mewakili separuh dari perasaan dan apa yang sedang terjadi dalam hati kita. Maka, pesan dari artikel ini adalah, jangan sampai kita mencoba menggantikan hubungan dan interaksi emosional dengan teknologi.

Bagaimanapun perjumpaan langsung tetap belum bisa terwakili oleh teknologi secanggih apapun.


BE A GOOD LEADER

Adakah pemimpin yang tidak ingin dihormati oleh bawahannya? Adakah pemimpin yang ingin bawahannya “mbalelo” alias tidak melakukan apa yang diperintahkan? Dan adakah pemimpin yang mau memiliki bawahan yang menentang dia, tidak patuh, dan malah membuat pekerjaan makin sulit? Tentu saja pemimpin yang normal tidak akan ada yang mau.

Namun, seringkali, bawahan yang tidak “perform” seperti yang kita harapkan, bukanlah karena mereka ingin bersikap seperti itu. Dalam buku berjudul “Leaders and Self Deception” yang diulis oleh Gallup Organization, dikatakan bahwa 50% pemimpin tidak sadar bahwa penyebab munculnya masalah adalah diri mereka sendiri.

Artinya, kadang-kadang kepemimpinan kitalah yang kemudian menciptakan orang-orang yang sulit dipimpin. Jadi, sebelum marah-marah dan menyalahkan orang lain, bagaimana kalau kita pelajari 3 hal sederhana mengenai kepemimpinan yang efektif, siapa tahu dengan mengubah cara Anda memimpin, masalah menjadi terselesaikan dengan lebih mudah.

1. Lakukan Terlebih Dahulu

Sampai saat ini, budaya meminta dan menuntut lebih banyak ditemukan termasuk di dalam perusahaan. Pemimpin ingin didukung, dipedulikan, dipatuhi dan dihormati tetapi tidak melakukan sikap yang sama kepada bawahannya. Sebagai seorang pemimpin, sangat dibutuhkan tindakan inisiatif dan bergerak lebih dahulu karena dukungan dan penghormatan akan tercipta ketika Anda dengan konsisten melakukannya. Perlakukan bawahan Anda (atau tim Anda) seperti Anda ingin diperlakukan dan jadikan mereka sebagai rekan kerja Anda.

Seorang pakar kepemimpinan, Tim Elmore, berkata bahwa seorang pemimpin adalah seorang “tuan rumah”. Jika Anda sedang berkunjung ke rumah orang lain, siapa yang lebih aktif dan berinisiatif? Biasanya tuan rumah kan? Mereka akan lebih “serving” daripada si tamu. Begitu pula seorang pemimpin, seharusnya dia lebih aktif dan berinisiatif untuk melakukan lebih banyak dan lebih dulu, sehingga orang-orang yang ia pimpin bisa melihat bahwa bukan tanpa alasan Anda dijadikan pemimpin di atas mereka. Dengan demikian, akan muncul respek dan kemauan untuk mengikuti Anda.

2. Menciptakan Komunikasi yang Sehat

Banyak ditemukan komunikasi tak sehat yang terjadi antara bawahan dan atasan. Masih ada atasan yang lebih sering memberikan instruksi dan menagih target tanpa memperhatikan perkembangan dan hambatan yang dialami oleh bawahan. Bagaimanapun, seorang manusia tetap selalu ingin diperlakukan sebagai manusia.

Budaya kerja yang terlalu industrialis kadang-kadang menempatkan karyawan sebagai robot pekerja yang hanya dituntut hasil tanpa diperdulikan sisi kemanusiaan personalnya. Banyak sekali dijumpai atasan-atasan yang bahkan menganggap semua urusan personal ,perasaaan, dan hubungan adalah hal yang menghambat kinerja dan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Padahal, komunikasi yang sehat hanya bisa terbangun ketika kita concern dengan kehidupan di luar pekerjaan sang karyawan. Ketika kita bisa menyentuh sisi kemanusiaan bawahan, kita akan lebih mudah untuk mendiskusikan urusan pekerjaan, sehingga mungkin kita tak perlu lagi “menendang-nendang” si bawahan untuk bergerak.

3. Fokus ke Solusi

Setiap masalah dalam tim atau perusahaan Anda, tanggung jawab dan keputusan terakhir tetap ada di tangan Anda. Susahnya, banyak atasan ketika terjadi masalah, mereka hanya bisa marah, mencari siapa yang salah, dan memberikan tuntutan lebih banyak lagi. Padahal, seseorang dijadikan pemimpin karena dianggap lebih solutif daripada yang lain.

Ketika keadaan menjadi sulit, orang akan melihat dan bergantung pada pemimpin, itu sebabnya Anda harus melatih diri menjadi seorang “solution maker”. Anda boleh saja menegur, marah, dan mengingatkan, namun jangan lupa bahwa solusi harus selalu ada. Bawahan akan lebih menerima kemarahan dan teguran Anda ketika mereka bisa melihat bahwa Anda datang dengan solusi.

Jika orang lain yang malah lebih punya solusi dari Anda, bukankah seharusnya dia yang menjadi pemimpin?

So… Selamat menikmati menjadi pemimpin yang berkualitas!