Entrepreneur VS Intrapreneur

Jika ditanya, salah satu keinginan terbanyak para karyawan “kantoran” adalah, segera resign, punya usaha sendiri, menjadi entrepreneur dan menjalani kehidupan yang “bebas” dan “sukses”.

Seorang teman pernah berkata, “lebih baik menjadi kepala ayam, daripada menjadi ekor naga!”

Itu adalah sebuah ungkapan yang artinya, lebih baik punya usaha kecil-kecilan tetapi menjadi bosnya, daripada menjadi karyawan di perusahaan besar tetapi tetaplah “bekerja pada orang”.

Sungguhkah entrepreneur lebih baik daripada kerja kantoran? Bagaimana kalau perbandingannya menjadi kepala ayam vs menjadi leher naga? Punya resto kecil-kecilan vs menjadi CEO sebuah perusahaan multinasional?

Banyak sekali karyawan yang menggebu-gebu ingin menjadi entrepreneur, tanpa mengetahui sebuah fakta bahwa: ENTREPRENEURSHIP BUKAN UNTUK SEMUA ORANG!

Ada alasannya kenapa angka wirausaha di Indonesia hanyalah 3,1% dari seluruh populasi.  Artinya, dari 33 orang, hanya 1 yang bisa menjadi seorang entrepreneur. Bahkan di negara maju saja, angka entrepreneurship tidak lebih dari 15%.

Statistik ini menunjukkan, bahwa dengan sekedar mengikuti training, seminar motivasi, dan “personal coaching”, tidak menjamin Anda bisa menjadi seorang entrepreneur karena sekali lagi, entrepreneurship bukan untuk semua orang!

Dan siapa bilang, menjadi pengusaha adalah level kesuksesan yang lebih baik dibanding menjadi karyawan “kantoran”? Begitu bias dan kacaunya definisi kesuksesan yang ada di dunia, sampai kita jadi bingung sendiri dan terjebak kepada berbagai stigma bahwa untuk sukses semua orang harus jadi entrepreneur. Padahal, memang ada orang-orang yang tidak ‘fit’ untuk menjadi entrepreneur dan ketika dia memaksakan diri, dia malah bisa menghancurkan masa depannya sendiri.

Stigma bahwa entrepreneur lebih baik dari intrapreneur (pekerja “kantoran) menciptakan beban rasa bersalah dan beban tuntutan seumur hidup bagi para karyawan yang belum (dan akhirnya tidak) berhasil menjadi seorang wirausahawan. Mereka selalu menganggap diri mereka lebih rendah kastanya setiap kali ketemu orang-orang yang sudah menjadi wirausahawan.

Padahal, sungguhkah entrepreneur selalu lebih baik hidupnya dari intrapreneur?

Hidup ini soal pilihan dan bagaimana kita mengelola (manage) semua konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kita. Kuncinya terletak di kemampuan “life management” kita. Entrepreneur atau intrapreneur hanyalah pilihan hidup yang membawa keuntungan dan kekurangannya masing-masing.

Tidak ada pilihan yang lebih baik. Yang ada hanyalah pilihan yang LEBIH PRODUKTIF. Untuk saya, mungkin menjadi entrepreneur adalah  pilihan yang lebih produktif, tetapi bagi Anda bisa jadi malah merupakan pilihan yang kontra produktif. Atau sebaliknya.

Karena itu, penting untuk Anda mengetahui tipikal dan profil diri Anda sendiri, supaya Anda bisa menentukan apakah menjadi entrepreneur akan membuat Anda menjadi lebih produktif dala  melakukan “life management” ataukah jangan-jangan menjadi intrapreneur justru pilihan yang lebih produktif bagi Anda?

Saya mengenal seorang programmer handal. Dia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang cukup tinggi. Karena keahliannya yang handal, akhirnya banyak orang yang memberinya “project pribadi”. Melihat hal ini, ia berpikir, sudah saatnya dia berhenti kerja dan mulai membuka software house’nya sendiri.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk resign dan mulai menapak kaki untuk memiliki usaha sendiri (walaupun saat itu dia masih satu-satunya karyawan untuk dirinya sendiri). Namun apa yang terjadi? Tanpa lingkungan kerja “kantoran”, dia gagal untuk mengelola waktu, mengelola prioritas, dan banyak deadline kerja yang terbengkalai sehingga project’nya banyak yang gagal.

Singkat cerita, ia kemudian kembali bekerja “kantoran” dan hingga kini ia masih berprofesi sebagai karyawan. Performanya justru semakin bagus. Atasannya memberikan kebebasan jam kerja dan berbagai bonus tambahan untuk performanya yang baik. Rupanya, pola kerja intrapreneur membuatnya lebih produktif untuk mengelola hidupnya dibandingkan dengan menjadi seorang entrepreneur.

Tentu saja, Anda bisa berkata “Ah itu mah orangnya aja yang kurang disiplin”. Itu betul.

Tetapi, untuk melatih disiplin, ada orang-orang tertentu yang membutuhkan lingkungan pendukung (misalnya pola kerja “kantoran”?). Inilah yang saya sebut bahwa entrpreneurship bukan untuk semua orang.

Sukses itu bukan terletak apakah Anda berhasil menjadi pengusaha atau tidak. Tetapi terletak pada bagaimana Anda mampu mengatur hidup Anda, sehingga Anda memiliki kehidupan yang berkualitas, karya yang berdampak, dan memberi nilai bagi orang-orang di sekitar kita. Itu bisa dilakukan baik sebagai entrepreneur maupun sebagai intrapreneur, tergantung mana yang lebih produktif untuk profil tipikal Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


EQ & Starting Business?

Banyak orang punya cita-cita ingin memiliki usaha sendiri dan berhenti bekerja pada orang lain. Tapi dari sekian banyak orang yang bermimpi untuk berbisnis sendiri, mungkin tidak sampai dari 10% orang yang benar-benar BERANI bertindak dan mengambil langkah awal. Kekawatiran akan masa depan, ketakutan terhadap ketidakpastian, rasa tidak percaya diri, dan enggan untuk menderita menjadi faktor utama yang menghambat mereka.

Seperti yang saya katakan dalam setiap workshop dan seminar “Emotion for Success”, yang membuat Anda gagal atau berhasil sebenarnya adalah perasaan Anda sendiri. Sebenarnya Tuhan sudah menaruh SEMUA kemampuan yang Anda perlukan dalam diri Anda. Namun yang membuat Anda terhambat seringkali bukan karena kemampuan Anda, melainkan karena perasaan-perasaan Anda.

Berapa banyak diantara kita yang sering berhenti melangkah padahal kita sudah tahu di depan sana ada kesuksesan hanya gara-gara kita merasa takut, merasa minder, merasa tidak aman, merasa kawatir, dan merasakan berbagai emosi penghambat lainnya?

Saya pernah berkenalan dengan seseorang yang gemar membaca berbagai macam buku motivasi, psikologi, dan pengembangan diri. Bukan hanya itu, ia juga sering sekali menghadiri seminar dan workshop para pembicara terkenal baik dalam negeri dan luar negeri. Kalau saya kebetulan punya kesempatan untuk sharing dengan orang ini, saya selalu mendapatkan “ilmu baru” karena ia seperti tidak pernah kehabisan “stok ilmu”. Termasuk salah satu diantaranya adalah topik entrepreneurship. Banyak sekali ilmu berbisnis dan bagaimana memulai usaha sendiri yang dia bagikan kepada saya. Bahkan saya melihat sebenarnya dia sudah sangat cocok untuk menjadi seorang pembicara dalam bidang entrepreneurship.

Namun sayang, meski dia begitu menguasai strategi dan ilmu entrepreneurship. Dan bahkan berkali-kali mendorong orang lain untuk mulai berbisnis, namun dia sendiri tidak pernah memulai bisnisnya sendiri. Apa alasannya? Sederhana, lagi-lagi perasaan-perasaan penghambat seperti takut kalau gagal, merasa belum mampu, merasa masih kecil, merasa terlalu banyak saingan kuat, kawatir kalau tidak seperti yang diharapkan, dan enggan untuk menderita dan bersusah payah di awal membuat ia akhirnya hanya “pandai berbicara tapi tidak berani melakukan”.

SEMUA ORANG (termasuk saya) ketika memulai bisnisnya sendiri, PASTI akan menghadapi perasaan takut, kawatir, dan cemas. Namun yang membedakan entrepreneurship sejati dan yang tidak adalah kemampuan bagaimana mereka mengelola perasaan-perasaan itu dan menjadikannya sebagai pendorong untuk maju. Jika Anda menunggu sampai semua keadaan ideal, suportif, tidak ada resiko, tanpa ancaman, maka sampai kapanpun Anda tidak akan berani berbisnis.

Inilah alasan mengapa dalam workshop “Emotion for Success” 3+3 hari yang saya rancang, saya memasukkan sesi terapi untuk menghilangkan mental block dan perasaan-perasaan penghambat yang membuat kita tidak berani bertindak. Bukan hanya sekedar untuk entrepreneurship, melainkan juga untuk berbagai sisi kehidupan lainnya.Misalnya, sebagai seorang marketing, Anda tahu Anda harus menelpon calon prospek Anda. Namun, setiap kali Anda menelpon dan sang calon tidak mengangkat Anda merasa lega… dalam hati Anda berkata, “Tuh aku udah telpon kan… Tapi nggak diangkat…”

Bukankah ini hal aneh? Anda ingin mendapat klien, tapi Anda lega ketika sang klien tidak mengangkat telpon Anda? Seperti ada perasaan enggan, takut, malas, malu, tidak percaya diri, atau kawatir yang membuat Anda tidak ingin klien mengangkat telponnya. Perasaan-perasaan seperti inilah yang harus dibereskan dalam hidup kita agar semua potensi yang Tuhan taruh dalam diri kita bisa benar-benar meluncur keluar dan menunjukkan kedahsyatannya dalam mengantarkan Anda kepada impian-impian Anda!

Kini, Anda mengerti bukan betapa pentingnya faktor perasaan sebagai penentuk keberhasilan dan kebahagiaan hidup Anda?