Career Killer

 

“Cara Cepat Untuk Naik Jabatan! (dan Gaji!)”

Begitulah kurang lebih judul seminarnya. Tapi sayang, ketika dihadiri dan disimak, ternyata pemaparan yang diberikan tidaklah sebanding dengan kehebohan judulnya, karena kata “cepat” itu sendiri memanglah relatif. Cepat bagi si pembicara belum tentu cepat menurut saya.

Tetapi pertanyaannya, sungguhkah ada cara yang (setidaknya) bisa mempercepat laju karir “kantoran” kita?

Jika Anda benar-benar mengamati, sebenarnya memang ada beberapa orang (lebih tepatnya, sedikit orang) yang mengalami kenaikan jabatan lebih cepat dibandingkan orang-orang pada umumnya. Salah satu strategi mereka adalah, berpindah-pindah perusahaan. Jika perlu, berpindah fungsi jabatan, yang penting gaji dan level jabatannya naik.

Saya tidak akan membahas soal pindah memindah ini. Saya akan menulis artikel lain soal ini.

Dalam tulisan kali ini, saya lebih ingin membahas, apa yang membuat seseorang mengalami “stuck” dalam karirnya. Sudah bekerja begitu lama, tetapi level pertumbuhannya hanyalah rata-rata (baik secara tingkat jabatan maupun gaji), atau bahkan malah minim.

Hampir seluruh karyawan “kantoran” yang saya jumpai, memiliki mentalitas dan cara pandang yang mirip-mirip dalam bekerja. Inilah yang membuat mereka kemudian masuk dalam golongan “average” itu. Inilah yang saya sebut dengan keadaan “Career Killer”, yaitu sikap, tindakan, dan cara pandang yang tanpa mereka sadari sudah membunuh perkembangan karir mereka sendiri.

Dalam tulisan ini, tidak semua bisa saya bahas karena akan menjadikan artikel ini terlalu panjang. Saya akan mencoba membahas 2 hal yang paling mendasar dan paling “killer” lebih dulu:

 

Auto Pilot Attitude

“Bertambahnya usia membuat Anda menjadi makin tua, tapi tidak menjamin Anda menjadi makin dewasa”

Pernah mendengar quotes bijaksana ini?

Di dalam hidup ini, ada hal-hal yang secara pasti akan meningkat dengan bertambahnya durasi/waktu. Salah satunya usia. Tetapi, kalau kita berbicara kapasitas, keahlian, dan kompetensi, aturan ini tidaklah berlaku (atau setidaknya tidak berlaku kepada sangat banyak hal).

Banyak karyawan yang berpikir, kalau mereka bekerja dalam kurun waktu yang lama, maka otomatis mereka cepat atau lambat akan naik jabatan dan naik gaji. Makin lama waktu yang didekikasikan, harusnya makin banyak pertambahannya. Itu sebabnya, kemudian banyak orang bekerja secara “auto pilot”, alias cuma melakukan rutinitas seadanya dan menjalankan “program” sehari-hari mereka sambil berharap karir mereka akan terus meningkat seiring waktu.

Masalahnya, hampir seluruh tempat kerja kita, bukanlah non-profit organization. Sebagus-bagusnya visi dan value sebuah perusahaan, tetaplah mereka profit-based organization. Artinya, mereka membutuhkan orang-orang yang bisa “make money” untuk perusahaan mereka. Maka, disinilah dituntut kompetensi, keahlian, dan performa kinerja yang setinggi-tingginya.

“Wah… Berarti kita ini cuma sapi perah ya…” Jika itu kalimat yang muncul di kepala Anda, saya exact akan membahas soal ini di poin kedua nanti.

Lanjut lagi. Kompetensi dan kinerja, tidak nongol begitu saja. Semuanya harus DIUSAHAKAN. Perlu pembelajaran, latihan, disiplin, dan niat untuk mewujudkannya. Anda tidak bisa memperoleh semua itu hanya dengan sekedar “auto pilot” setiap hari.

Sayangnya, ada begitu banyak karyawan yang masih tidak menyadari ini. Tapi bagi sebagian kecil yang memahami prinsip ini, mereka melatih diri dan mengembangkan diri sehingga memiliki keunggulan dibanding orang lain. Dan ketika perusahaan melihat orang-orang yang “stand out” ini, tidak heran kemudian mereka mengangkat orang-orang ini menjadi pemimpin dan menaikkan gaji mereka, karena mereka menyumbang kontribusi lebih banyak dari orang lain pada umumnya.

Kuncinya disini adalah, niat dan keinginan untuk mengembangkan diri menjadi lebih kompeten dari orang lain. Jika memang Anda serius ingin karir Anda lebih baik, tinggalkan budaya “auto pilot” Anda.

 

Self Slavery Attitude

Sikap “pembunuh karir” berikutnya adalah sikap atau mentalitas budak.

Bagaimana perusahaan memandang Anda tidaklah lebih penting daripada bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri.

Banyak karyawan menganggap diri mereka sebagai “sapi perah”, “orang bawah”, “pion catur”, “budak jajahan”. JIka Anda memandang diri Anda sendiri seperti itu, maka tidak heran kelakuan Anda menjadi seperti itu.

Tidak peduli apa pandangan orang lain (dan perusahaan atau bos Anda) kepada Anda, Anda harus tetap bisa melihat diri Anda adalah orang yang berharga, dengan begitu sikap dan tindakan Anda akan menjadi berbeda. Tindakan yang berbeda itulah yang mengantarkan karir Anda meningkat (kalau bukan di perusahaan yang sekarang ini, pasti ada perusahaan lain yang bisa melihat potensi Anda).

Ketika kita memposisikan diri menjadi korban, sebenarnya kita sedang memperbudak diri-sendiri. Dan setiap karyawan yang bermental budak, akan menerima perlakukan “perbudakan” dari perusahaan dan atasan mereka. Bukan salah perusahaannya atau bos Anda, tetapi karena Anda sendiri yang memposisikan diri sebagai budak jajahan.

Salah satu ciri paling utama yang menunjukkan bahwa kita bermental budak jajahan adalah: baru bertindak kalau disuruh. Tidak ada seorang budak yang memiliki INISIATIF. Inisiatif hanya dimiliki oleh para innovator, orang yang hidupnya terus berkembang.

Sementara, di berbagai tempat kerja, dengan mudah kita menjumpai orang-orang yang hanya bekerja kalau ada atasannya. Baru bekerja kalau diperintah dan disuruh. Baru mau bergerak kalau dimarahi dan diancam-ancam. Baru serius kalau dipotong gajinya. Artinya, dari perilaku mereka ini, mereka sendiri yang meminta untuk “dijajah”.

Sekali lagi, jika Anda serius ingin mengalami peningkatan karir, berhentilah memposisikan diri sebagai sapi perah. Mulailah berinisiatif untuk berkarya tanpa diminta dan disuruh. Tunjukkan kualitas Anda yang sesungguhnya. Bagaimanapun, orang yang berkualitas akan segera bertemu dengan orang-orang yang akan bisa menghargai kualitas itu.

Tetapi jika Anda terus-menerus memposisikan diri sebagai “budak jajahan”, maka sampai selamanya, orang-orang akan terus memperlakukan Anda sebagai “budak jajahan”.

Selamat berkarir!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Persepsi & Emosi

Suatu hari saya sedang makan bersama beberapa teman di sebuah resto. Dalam salah satu menunya, resto ini menyajikan sebuah menu yaitu nasi goring hitam. Dalam fotonya memang nasi goreng itu berwarna benar-benar hitam, dan inilah salah satu menu andalan yang membuat resto ini cukup dikenal.

Kebetulan, kunjungan itu adalah untuk pertama kalinya kami ke resto itu. Saat pertama kali melihat menu nasi goring hitam, saya merasa sangat tertarik dan penasaran untuk mencobanya. Namun, di saat yang bersamaan istri saya justru merasa “jijik” dengan nasi goring hitam ini. Padahal, biasanya saya adalah tipe konservatif dalam hal makanan sedangkan istri saya adalah tipe eksperimental yang gemar mencoba berbagai jenis makanan. Namun, hari itu, yang terjadi adalah kebalikannya.

Mengapa ini bisa terjadi? Kami berdua sama-sama belum pernah mencicipi nasi goring hitam ini. Mengapa saya bisa merasa tertarik dan berselera sedangkan istri saya merasa jijik dan tidak ingin makan. Inilah faktanya: ternyata persepsi kita SANGAT menentukan perasaan kita. Istri saya berpikir hitam adalah warna yang identik dengan kotor, sehingga ketika ia melihat foto nasi goring hitam, benaknya berpikir “ini seperti nasi yang kotor…” dan karena itulah ia merasa jijik memakan “kotoran”. Sementara bagi saya, warna hitam tidak berarti apa-apa dan saya berpikir, “menarik sekali, belum pernah ada nasi goring seperti ini, jadi pengen tahu bagaimana rasanya…” Karena itu saya merasa bersemangat mencobanya.

Kekuatan Persepsi

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang baru Anda kenal dan Anda merasa tidak senang dengan orang itu karena wajahnya mirip dengan orang lain yang pernah menyakiti Anda? Inilah salah satu contoh dimana persepsi bisa mempengaruhi perasaan kita. Dan seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, perasaan Andalah yang menggerakkan kebanyakan dari keputusan dan tindakan Anda.

Itu sebabnya juga kadangkala orang bisa benci (atau jatuh cinta) pada orang yang belum begitu ia kenal karena ia bermain dengan persepsinya. Pernahkah Anda mendengar kisah mengenai 2 orang salesman sepatu yang ditugaskan berjualan di sebuah pulau terpencil yang penduduknya sama sekali belum mengenal apa itu sepatu. Salesman pertama memiliki persepsi, “mereka belum pernah tahu apa itu sepatu, pasti susah jualan sepatu disini…” sementara salesman kedua memiliki persepsi, “mereka belum pernah memakai sepatu… Ini kesempatan untuk memperkenalkan pada mereka!”

Bisa ditebak perasaan seperti apa yang muncul pada kedua salesman itu. Salesman pertama menjadi demotivasi, malas, pesimis, dan tidak berniat jualan. Sedangkan salesman kedua menjadi bersemangat, optimis, dan antusias. Hanya karena persepsi, emosi seseorang bisa berubah dengan cepat dan tentu saja tindakan mereka bisa menjadi berbeda.

Karena itu, penting sekali untuk Anda mulai aware dengan persepsi apa yang muncul dalam pikiran apa. Cobalah mulai meneliti apakah persepsi itu sudah teruji kebenarannya? Apakah persepsi itu mendukung Anda untuk menjadi lebih baik? Sebelum Anda memusuhi dan menyakiti perasaan seseorang, telitilah apakah persepsi Anda memang sudah terbukti? Atau hanya sekedar persepsi tanpa dasar?


EQ & Starting Business?

Banyak orang punya cita-cita ingin memiliki usaha sendiri dan berhenti bekerja pada orang lain. Tapi dari sekian banyak orang yang bermimpi untuk berbisnis sendiri, mungkin tidak sampai dari 10% orang yang benar-benar BERANI bertindak dan mengambil langkah awal. Kekawatiran akan masa depan, ketakutan terhadap ketidakpastian, rasa tidak percaya diri, dan enggan untuk menderita menjadi faktor utama yang menghambat mereka.

Seperti yang saya katakan dalam setiap workshop dan seminar “Emotion for Success”, yang membuat Anda gagal atau berhasil sebenarnya adalah perasaan Anda sendiri. Sebenarnya Tuhan sudah menaruh SEMUA kemampuan yang Anda perlukan dalam diri Anda. Namun yang membuat Anda terhambat seringkali bukan karena kemampuan Anda, melainkan karena perasaan-perasaan Anda.

Berapa banyak diantara kita yang sering berhenti melangkah padahal kita sudah tahu di depan sana ada kesuksesan hanya gara-gara kita merasa takut, merasa minder, merasa tidak aman, merasa kawatir, dan merasakan berbagai emosi penghambat lainnya?

Saya pernah berkenalan dengan seseorang yang gemar membaca berbagai macam buku motivasi, psikologi, dan pengembangan diri. Bukan hanya itu, ia juga sering sekali menghadiri seminar dan workshop para pembicara terkenal baik dalam negeri dan luar negeri. Kalau saya kebetulan punya kesempatan untuk sharing dengan orang ini, saya selalu mendapatkan “ilmu baru” karena ia seperti tidak pernah kehabisan “stok ilmu”. Termasuk salah satu diantaranya adalah topik entrepreneurship. Banyak sekali ilmu berbisnis dan bagaimana memulai usaha sendiri yang dia bagikan kepada saya. Bahkan saya melihat sebenarnya dia sudah sangat cocok untuk menjadi seorang pembicara dalam bidang entrepreneurship.

Namun sayang, meski dia begitu menguasai strategi dan ilmu entrepreneurship. Dan bahkan berkali-kali mendorong orang lain untuk mulai berbisnis, namun dia sendiri tidak pernah memulai bisnisnya sendiri. Apa alasannya? Sederhana, lagi-lagi perasaan-perasaan penghambat seperti takut kalau gagal, merasa belum mampu, merasa masih kecil, merasa terlalu banyak saingan kuat, kawatir kalau tidak seperti yang diharapkan, dan enggan untuk menderita dan bersusah payah di awal membuat ia akhirnya hanya “pandai berbicara tapi tidak berani melakukan”.

SEMUA ORANG (termasuk saya) ketika memulai bisnisnya sendiri, PASTI akan menghadapi perasaan takut, kawatir, dan cemas. Namun yang membedakan entrepreneurship sejati dan yang tidak adalah kemampuan bagaimana mereka mengelola perasaan-perasaan itu dan menjadikannya sebagai pendorong untuk maju. Jika Anda menunggu sampai semua keadaan ideal, suportif, tidak ada resiko, tanpa ancaman, maka sampai kapanpun Anda tidak akan berani berbisnis.

Inilah alasan mengapa dalam workshop “Emotion for Success” 3+3 hari yang saya rancang, saya memasukkan sesi terapi untuk menghilangkan mental block dan perasaan-perasaan penghambat yang membuat kita tidak berani bertindak. Bukan hanya sekedar untuk entrepreneurship, melainkan juga untuk berbagai sisi kehidupan lainnya.Misalnya, sebagai seorang marketing, Anda tahu Anda harus menelpon calon prospek Anda. Namun, setiap kali Anda menelpon dan sang calon tidak mengangkat Anda merasa lega… dalam hati Anda berkata, “Tuh aku udah telpon kan… Tapi nggak diangkat…”

Bukankah ini hal aneh? Anda ingin mendapat klien, tapi Anda lega ketika sang klien tidak mengangkat telpon Anda? Seperti ada perasaan enggan, takut, malas, malu, tidak percaya diri, atau kawatir yang membuat Anda tidak ingin klien mengangkat telponnya. Perasaan-perasaan seperti inilah yang harus dibereskan dalam hidup kita agar semua potensi yang Tuhan taruh dalam diri kita bisa benar-benar meluncur keluar dan menunjukkan kedahsyatannya dalam mengantarkan Anda kepada impian-impian Anda!

Kini, Anda mengerti bukan betapa pentingnya faktor perasaan sebagai penentuk keberhasilan dan kebahagiaan hidup Anda?


Seminar Launching Buku “Emotion for Success”

.

.

..

.

.

.

.

.

.

.
.

Pada tanggal 5 Juni 2010, Shifthink mengadakan seminar 2 jam “Emotion for Success” yang dibagi menjadi 2 shift dan dihadiri oleh kurang lebih total peserta sekitar 170 orang. Dalam seminar yang sangat inspiratif ini, Master Trainer Emotion for Success sekaligus penulis 16 buku bestseller, Josua Iwan Wahyudi membawakan materi mengenai pengaruh Usia Emosi dalam kehidupan kita, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan pekerjaan.

Dengan melalui permainan, beberapa cuplikan video lucu maupun tayangan informatif, Josua Iwan Wahyudi benar-benar menyadarkan para peserta akan pentingnya pengelolaan emosi dalam menentukan kualitas tindakan dan keputusan yang diambil. Bahkan peserta juga sempat merasakan tes usia emosi untuk mengukur seberapa jauh tingkat kematangan emosional mereka.

.

BOSS MANAGEMENT

Dalam seminar kali ini, para peserta juga diajak untuk mengenali 5 jenis bos yang sering dihadapi di kantor dan juga peserta diberikan tips-tips bagaimana menghadapi masing-masing jenis bos tersebut dengan menggunakan tips-tips kecerdasan emosional.

Dengan mengenali jenis bos masing-masing, diharapkan para peserta menjadi lebih cerdas dalam beradaptasi dan mengelola kebutuhan atasan mereka masing-masing. Dengan beberapa contoh kasus nyata, Josua Iwan Wahyudi memberikan tuntunan aplikatif dan praktis dalam menghadapi masing-masing jenis bos yang sudah dibahas sebelumnya.

.

EMOTIONAL CLEANING

Dalam seminar ini, Master Trainer Josua Iwan Wahyudi juga sempat menunjukkan proses terapi singkat untuk membersihkan beban-beban emosional yang kadangkala terwujud dalam bentuk penyakit. Dalam demo ini, salah satu peserta yaitu Sisi Florensia disembuhkan dari sakit pundak hanya dalam hitungan 15-20 menit saja.

Josua Iwan Wahyudi sempat menjelaskan bahwa kadangkala beban emosional yang berlebihan bisa terwujud dalam berbagai bentuk penyakit, misalnya sakit pundak, sakit leher, pusing, gangguan pencernaan atau beberapa penyakit lainnya. Dan bahkan emosi-emosi penghambat ini juga bisa berdampak kepada ketidakberanian kita dalam bertindak, atau terjadinya “pembajakan” terhadap diri kita sendiri saat kita ingin melakukan sesuatu demi mengejar kesuksesan dan mimpi kita. Dengan adanya terapi pembersihan emosi ini, beban-beban emosional di alam bawah sadar bisa dibersihkan dan potensi hidup kita menjadi maksimal.

.

CLOSING

Seminar ini diakhiri dengan pembagian doorprize bagi 2 peserta yang beruntung mendapatkan buku “Emotion for Success” yang sangat luar biasa!

Seminar yang penuh dengan materi inpiratif ini berakhir dengan meninggalkan kesan positif yang luar biasa dari para peserta. Banyak testimoni positif yang tertulis di lembar evaluasi peserta dan juga banyak peserta yang mengharapkan acara-acara seminar seperti ini diadakan kembali oleh Shifthink.

Karena itu, bagi Anda yang belum sempat mengikuti seminar ini, jangan lewatkan workshop Emotion for Success selama 3+3 hari. Simak informasinya di: http://www.shifthinknow.com/emofs

.