EQ Mentor Certification Batch XII


Kelas EQ Mentor Certification ini adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia sejak 2010. Kelas ini secara komprehensif dan praktis, akan memberikan Anda kemampuan untuk:

  • Memahami apakah Kecerdasan Emosi (EQ) yang sesungguhnya dan bagaimana dampaknya yang begitu luar biasa untuk seluruh aspek kehidupan kita.
  • Memahami kesalahan-kesalahan penerapan EQ. Banyak orang sudah mendengar soal Kecerdasan Emosi, tetapi hingga kini masih sangat sedikit yang benar pemahamannya dan benar-benar bisa mempraktekkannya
  • Menguasai penggunaan Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan pekerjaan maupun personal
  • Menggunakan Kecerdasan Emosi (EQ) untuk mengelola hubungan dengan orang lain mulai dari hubungan kerja hingga hubungan personal dan keluarga.

Selama 3 hari dalam 12 sesi, Anda akan dituntun dengan sangat praktis oleh Josua Iwan Wahyudi, satu dari sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia, yang berhasil menemukan Cristal EQ Model, yaitu sebuah metode praktek EQ yang sangat mudah dan sederhana untuk diaplikasikan oleh siapapun dalam keadaan apapun!

WITH SUPER BONUSES!

Untuk semakin memperdalam dan memperkuat penguasaan Anda terhadap EQ, kami juga akan memberikan kepada Anda 7 BONUS LUAR BIASA:

  1. ShifThink Emotional Intelligence Test (SEIT), yaitu tes Kecerdasan Emosi (EQ) yang memotret gambaran kompetensi EQ Anda secara menyeluruh. Dengan standar internasional, SEIT menjadi satu-satunya tes EQ di Indonesia yang memberikan gambaran utuh mengenai kondisi EQ Anda.
  2. ShifThink Personality Assessment (SPA), yaitu tes personaliti sekaligus tes daya tahan emosional Anda dalam menghadapi tekanan. Termasuk juga di dalamnya Anda akan mendapatkan gambaran komplit mengenai kecenderungan perilaku dan pola berpikir Anda.
  3. Emotional Root Test (ERT), yaitu tes untuk memetakan akar pola-pola emosi Anda, sehingga dalam waktu sangat singkat, Anda dapat menemukan apa akar penghambat yang selama ini membuat Anda menjadi tidak produktif.
  4. Tes S.O.P.A.N, yaitu tes untuk mengetahui apa yang menjadi tombol emosional penggerak Anda. Melalui tes ini kita juga bisa menggunakannya untuk memetakan tombol emosional orang lain.
  5. Buku E-Factor senilai Rp 150.000,-, satu-satunya buku Kecerdasan Emosi (EQ) yang paling komprehensif, sekaligus praktis dan aplikatif di Indonesia. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, didesain dengan sangat atraktif, namun kaya akan tips dan panduan praktis yang ampuh sekaligus mendalam!
  6. Biodot Stress Assessor, sebuah alat khusus untuk mendeteksi tingkat ketegangan / stres Anda. Alat yang diimpor dari Amerika ini sangat akurat dan cepat dalam memberikan Anda gambaran situasi Anda dan bisa digunakan kapanpun dimanapun secara cepat dan mudah!
  7. Panduan 30 hari EQ Accelerator, yaitu sebuah buku yang berisi tuntunan sederhana untuk dibaca dan dipraktekkan setiap hari selama 30 hari. Dengan mengikuti perjalanan tuntunan dari buku ini, dalam 30 hari Anda akan mengalami pertumbuhan Kecerdasan Emosi yang sangat signifikan. Buku ini juga bisa Anda pakai untuk bahan coaching awal dengan klien maupun orang yang Anda mentor!

Mengingat kelas ini sangat eksklusif, penuh dengan pembelajaran yang interaktif dan juga praktek-praktek personal yang mendalam, maka kami membatasi peserta untuk kelas ini hanya 12 orang saja! Karena itu segeralah bertindak cepat untuk mendaftarkan diri Anda!


PilPres: Ujian Kecerdasan Emosi


Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sikap dan perilaku kita, didorong oleh perasaan (emosi) sebagai penekan tombol “enter” (eksekutornya). Memang betul, rasio dan pikiran kita terus bercampur aduk dengan perasaan di dalam proses kita membuat penilaian, kesimpulan, maupun keputusan. Tetapi, perasaan tetaplah sang eksekutor akhir.

Itu sebabnya, walau rasio kita berkata “ini benar” tetapi ketika hati kita merasa “ada yang salah”, kita tetaplah ragu-ragu untuk bertindak, karena kita tidak memiliki sang eksekutor (yaitu emosi kita) untuk menekan tombol “action”.

Hal ini sudah diteliti dan diperkuat dengan sebuah kejadian dimana seorang pasien sakit ayan yang menjalani operasi dan ketika bagian syaraf tertentu di otak yang berhubungan dengan emosi diputus, maka pasien sangat kesulitan untuk membuat keputusan, bahkan untuk aktifitas sesederhana memasang kancing baju.

Masalahnya, siapa yang berperan untuk mengendalikan si emosi ini? Jika dia yang akan menjadi eksekutor pendorong semua tindakan kita, bukankah berbahaya jika emosi ini dibiarkan liar tak terkendali, atau dikendalikan oleh hal-hal di dalam diri kita, yang tidak kita kenali dan ketahui? Atau bahkan dikendalikan oleh orang lain?

Inilah yang sering terjadi. Banyak orang stres ketika ditanya, “Kenapa kamu stress?”, mereka menjawab “tidak tahu, pokoknya stres aja…”. Banyak orang melakukan bermacam-macam hal karena dorongan perasaan mereka tanpa tahu mengapa perasaan itu bisa muncul dan entah sejak kapan perasaan itu menguasai mereka.

Dalam berbagai seminar tentang Kecerdasan Emosi (EQ), saya berulang-ulang menyatakan bahwa mayoritas manusia, hidup dengan mode “auto-pilot”. Mereka bagaikan robot organik, yang hidup setiap hari hanya untuk menjalankan program tindakan-tindakan yang sudah disodorkan oleh perasaan-perasaan yang menguasai mereka.

Contoh, setiap kali berada dalam situasi yang berisi orang-orang yang tak Anda kenal semuanya, apa yang akan Anda lakukan? Beberapa orang biasanya akan mengajak kenalan orang di sampingnya. Beberapa orang memilih duduk di pojokan menyendiri. Beberapa orang berkeliaran membagi-bagi kartu nama sambil “soak akrab sok dekat”. Nyaris semua perilaku itu terjadi “begitu saja” seperti sebuah program yang di’enter.

Kita memang sadar saat melakukannya. Kita tidak pingsan. Tapi, sebenarnya pikiran tidak sadar kitalah yang melakukannya. Program-program otak kitalah yang melakukannya. Itu sebabnya saya menyebutnya sebagai robot organik.


APA HUBUNGANNYA DENGAN PILPRES?

Saya mengamati, dalam suasana Pilpres ini, banyak orang yang bersikap dan bertindak, karena dorongan-dorongan perasaan yang sangat kuat sekali. Dalam berkampanye, dalam berorasi, dalam adu argumentasi di sosmed, dalam berdebat, dalam deklarasi dan konferensi pers, maupun dalam percakapan informal di warung dan kafe-kafe.

Ada yang digerakkan oleh dorongan emosi kecintaan pada negara, ada yang didorong oleh emosi kemarahan pada ketidakadilan, ada yang didorong oleh emosi takut akan kerusuhan, ada yang didorong oleh emosi kebanggaan sebagai pembela negara. Bermacam-macam sekali, tetapi tidak satupun yang bergerak tanpa dorongan emosi.

Serasional apapun pembelaan, penjelasan, analisa, dan pembenaran yang mereka ungkapkan. Pada akhirnya, di hulu dan akarnya, selalu ada sebuah pemicu emosional yang membuat semuanya benar-benar terlaksana dalam bentuk perkataan, tindakan, dan sikap.

Sekarang pertanyaan lebih jauhnya lagi. Apakah perasaan-perasaan yang mendorong itu, adalah hasil dari program internal Anda sendiri yang Anda juga tidak tahu kapan, dimana, dan kenapa terbentuknya. ATAU, perasaan yang mendorong Anda adalah HASIL PEMROGRAMAN DARI PIHAK TERTENTU? ATAU dorongan perasaan itu adalah hasil pemrograman dari kesadaran Anda sendiri?

Tidak mudah memang membedakan ketiganya.

Perasaan manusia begitu mudah dimanipulasi. Jika Anda belajar tentang mekanisme kerja otak manusia, Anda akan mengerti betapa banyaknya celah yang bisa dipakai untuk mem’program perasaan seseorang dalam waktu singkat dan efektif.

Itu sebabnya, dalam Kecerdasan Emosi (EQ), kemampuan dasar yang paling mendasar yang akan selalu diajarkan di awal adalah: SELF AWARENESS, kesadaran diri. Baru kemudian SOCIAL AWARENESS, kesadaran akan lingkungan sekitar (baik manusia lain maupun alam dan kehidupan).

Bagian AWARENESS ini mengajarkan kepada kita untuk selalu AWAKE (bangun), dan memeriksa, apakah perkataan, sikap, dan perilaku saya ini memang adalah hasil pilihan sadar saya dan bukan karena sedang dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan celah emosional saya?

Bayangkan kalau ada orang yang memiliki “lubang emosional” di rasa berharga, dan dia mencoba “menambalnya” dengan mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Lalu ada orang yang bisa membaca gejala itu dan kemudian “memanipulasi” orang itu dengan memberi “makan” pujian dan sanjungan untuk kemudian menanamkan “program-program” perasaan tertentu, sehingga menghasilkan tindakan tertentu. Inilah yang saya ceritakan tadi, orang ini baru saja menjadi korban manipulasi emosi dan semua perbuatannya hanyalah hasil dari pemrograman dari orang lain.

Kesadaran diri adalah sebuah bentuk intervensi terhadap “program-program” yang coba ditanamkan kepada orang lain. Cara paling simpel yang selalu saya ajarkan di kelas EQ adalah: PAUSE. Coba berhenti dulu sebelum berucap atau bertindak (atau membuat status sosmed!).

Lalu kemudian bertanyalah pada diri-sendiri, benarkah ini pilihan sadar saya? Atau jangan-jangan ini kebiasaan berulang saya setiap kali bertemu situasi yang semacam ini? Atau yang lebih bahaya, jangan-jangan ada pihak tertentu yang ingin saya merasa seperti ini dan bersikap seperti ini?

Andaikan, seluruh rakyat Indonesia mengerti konsep dasar dari Kecerdasan Emosi (EQ) ini, tentu kegaduhan pasca Pilpres tidak akan seriuh sekarang (walaupun mungkin juga jadi “kurang seru” yah…).

Tapi sayang, meski istilah Kecerdasan Emosi (EQ) sudah didengungkan dimana-mana, sudah banyak orang yang (entah benar-benar memahami atau tidak) mengajarkannya dimana-mana. Tapi ternyata, masih sangat sedikit yang benar-benar memahami bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan, terutama di masa-masa pasca Pilpres yang penuh dengan “aksi pemrograman” masif seperti saat ini.

Semoga artikel sederhana ini bisa menjadi semacam “wake up call” bagi kita semua, bahwa kita yang seharusnya menjadi tuan atas perasaan kita sendiri. Saat menulis ini pun, saya terus mencoba bertanya pada diri-sendiri, apa yang menggerakkan saya untuk menulis topik ini, apakah emosi saya sudah terkena “virus pemrograman” pihak tertentu?

Lebih jauh lagi, apa dampak tulisan ini kepada orang lain dan suasana keseluruhan?

Bukankah kita semua belajar agama dan belajar ilmu pengetahuan, supaya menjadi orang yang lebih bijaksana dan memiliki pengendalian diri? Mari kita mulai dengan mengambil kendali atas perasaan dan tindakan kita sendiri. Marilah kita menjadi orang-orang yang sadar diri. Marilah menjadi cerdas emosi.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Ternyata, Marah Itu Boleh?


Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak boleh marah dan memandang kemarahan sebagai sesuatu yang buruk. Itu sebabnya banyak orang merasa bahwa marah adalah sebuah momok yang harus dihindari, dihilangkan, dan dibuang dari hidup kita.

Masalahnya, sejak kecil sampai dewasa, kita amat sangat jarang diajari mengenai bagaimana harus mengelola kemarahan di dalam diri kita. Program pendidikan formal yang kita ikuti mengajarkan berbagai pengetahuan canggih namun sangat minim mengajarkan kita soal anger management.

Maka, banyak persepsi negatif yang muncul soal marah. Padahal, dalam Kecerdasan Emosional (EQ), semua emosi/perasaan itu sebenarnya netral dan tergantung kepada bagaimana kita mampu mengelolanya, termasuk marah.

Banyak sekali kesalahpahaman soal Kecerdasan Emosi (EQ) ini. Hampir sebagian besar orang yang saya temui, berpikir bahwa kalau seseorang itu memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, maka dia tidak akan pernah marah. Cara berpikir ini masih terkait dengan paradigma kita yang terbentuk sejak kecil bahwa marah itu selalu diasosiasikan dengan hal yang buruk dan negatif.

Itu sebabnya juga, cukup banyak peserta pelatihan saya yang “komplain” kenapa perusahaannya mengirim dirinya untuk mengikuti workshop Kecerdasan Emosi (EQ). Mereka umumnya berkata, “Saya nggak pernah marah-marah lho pak… Saya juga nggak ada gangguan emosi lho…”

Sekali lagi, pemikiran ini muncul akibat persepsi negatif kita soal marah.

 

> PENTING DIBACA: “Media Sosial Bisa Menumpulkan Kecerdasan Emosi”<<

 

JATI DIRI ‘MARAH’ YANG SESUNGGUHNYA

Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy. ~Aristoteles

Kalimat Aristoteles ini menyingkapkan kepada kita, bahwa marah memiliki sisi lain yang tidak selalu buruk. Bahkan jika dikelola dengan benar, marah bisa menjadi sebuah kekuatan produktif yang luar biasa.

Banyak sekali karya-karya besar dihasilkan oleh dorongan rasa marah yang produktif. Sebagai contoh cepat saja, Richard Branson membuat Virgin Air karena dia mengalami pelayanan yang buruk dari sebuah maskapai penerbangan yang membuat dia kehilangan waktu dan peluang bisnisnya.  “Kemarahan”nya, mendorongnya untuk membuat maskapai penerbangan sendiri dan malah kemudian menjadi salah satu bisnis andalannya.

Banyak karya-karya dan keputusan-keputusan besar saya yang luar biasa, juga didorong oleh rasa marah terhadap sebuah keadaan atau situasi.

Artinya, marah tidaklah selalu buruk. Marah bisa menjadi produktif kalau kita tahu cara mengelolanya. Disinilah istilah Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi lebih jelas, yaitu sebuah kecerdasan/keahlian dalam mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri kita maupun orang lain, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Dengan begitu, secara garis besar, maka kemarahan bisa dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu kemarahan yang destruktif dan kemarahan yang produktfi (marah dengan EQ).

Bedanya ada dimana?

Marah yang destruktif adalah marah yang di luar kendali kita. Umumnya, ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan atau reaksi OTOMATIS dari diri kita. Ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan pelampiasan energi yang tak tertahankan dari dalam diri kita. Biasanya ini terjadi karena terlalu lama memendam kekesalan dan tidak tahu bagaimana mengelolanya.

Tentu saja marah yang destruktif bukanlah hal yang baik. Umumnya, jenis marah inilah yang sering kita jumpai sehingga menimbulkan kesan negatif yang kuat dan membuat kita berpikir bahwa marah selalu jelek.

Tetapi, marah yang produktif, adalah jenis marah seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles, yaitu marah dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

Marah yang produktif adalah marah yang terukur, bahkan terencana. Kita menyadari adanya rasa marah itu dan memang dengan sengaja “menggunakan” energi marah itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang penting.

Ciri-ciri marah produktif adalah:

  1. Kita melakukannya dengan SADAR dan memang kita sedang memilih untuk mengungkapkan kemarahan kita.
  2. Kita tahu kepada siapa kita mengarahkan kemarahan kita, jadi bukan sekedar “hajar semua”
  3. Kita tahu untuk apa kita mengungkapkan kemarahan kita, dan kita memang sudah merencanakan untuk menggunakan marah kita untuk menghasilkan keadaan tertentu (misalnya, ingin mengajari tim kita untuk lebih disiplin, atau ingin melatih anak kita agar bisa respek).
  4. Memberikan pesan solutif yang membangun. Biasanya, marah yang destruktif isinya cuma pelampiasan kekesalan dan seringkali malah menyakiti. Tapi marah produktif, isi pesannya justru ingin membangun dan mengarahkan untuk sesuatu yang lebih baik.
  5. Tahu kapan berhenti. Kalau marah destruktif, kita tak bisa mengendalikan kapan untuk berhenti karena kita “disetir” oleh luapan emosional kita. Tapi marah produktif, kendalinya ada di kita. Kitalah yang memilih kapan kita berhenti.

 

> GRATIS DOWNLOAD Premium Workbook 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi<<

 

TAK MUDAH TAPI BISA

Saya yakin diantara Anda yang membaca artikel ini, banyak yang berpikir “Wah, susah ya marah produktif…”. Itu sebabnya, Aristoteles berkata bahwa “kekuatan” ini tidak dimiliki oleh semua orang (meski semua orang bisa marah).

Ini adalah sebuah kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih. Orang-orang yang memiliki tingkat Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, biasanya mampu mengelola dan memanfaatkan rasa marah mereka untuk tujuan-tujuan yang produktif.

Tapi setidaknya, dari artikel ini, kita belajar bahwa ternyata marah tidak selalu negatif. Marah bahkan bisa menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa dipakai untuk meningkatkan produktifitas. Itu sebabnya, melatih Kecerdasan Emosional (EQ), menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan, terutama kalau kita adalah seorang pemimpin.

Dengan Kecerdasan Emosional (EQ), maka kita bisa mengolah perasaan-perasaan kita (termasuk marah), menjadi aset yang berharga untuk kemajuan hidup kita.

Selamat “berlatih marah”!


>> HARUS TAHU: “Emotional Toxic Leader” ~ Baca Sekarang Juga!<<

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Media Sosial Menumpulkan Kecerdasan Emosi?

Sejak media sosial berkembang jauh, kini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Bagi generasi muda, media sosial nyaris tak bisa dihilangkan.

Hasil riset Hootsuite yang dipublikasikan pada Januari 2018, menyatakan bahwa secara rata-rata, dalam satu hari, penduduk di Indonesia bisa menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam untuk media sosial!

Jika dikurangi dengan waktu tidur 8 jam per hari, maka umumnya orang Indonesia “menaruh” 1/5 waktu hidupnya di media sosial setiap hari. Sebuah fenomena yang tidak bisa dianggap angin lalu.

Lalu, pertanyaan berikutnya. Apakah pola hidup digital seperti ini membawa pengaruh yang lebih positif atau jangan-jangan malah lebih banyak pengaruh negatifnya? Sebagai orang yang lama menggeluti Kecerdasan Emosi (EQ), saya ingin membahas fenomena ini dari sisi pengaruh media social terhadap perkembangan Kecerdasan Emosi (EQ) seseorang.

 

DISCONNECTED

Selama ini, kita selalu mengira bahwa media sosial berhasil menghubungkan kita dengan orang-orang yang tadinya mustahil untuk terhubung. Bahkan, berkat media sosial, kita bisa berdialog dengan figur publik yang tadinya tampak tak tersentuh.

Secara sekilas, media sosial berhasil meruntuhkan tembok jarak dan waktu dan berhasil membangun hubungan antar manusia dengan lebih luas dan fleksibel.

Tapi, apakah kita benar-benar terhubung?

Seorang psikolog sosial bernama Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together menuliskan hasil pengamatannya, bahwa akibat “koneksi” yang melimpah yang digelontorkan oleh media sosial, tanpa sadar justru malah mengisolasi kita dari lingkungan sosial itu sendiri. Itu sebabnya, kita melihat fenomena dimana satu keluarga duduk di meja makan dengan seluruh anggotanya menatap layar handphone tanpa terjadi komunikasi apapun satu sama lain.

Tampaknya kita sedang berhubungan dengan orang lain, tapi realitanya, kita malah sedang terputus hubungan di dunia nyata.

Bahkan Sherry menyimpulkan, bahwa sejak manusia menjadikan media sosial sebagai bagian hidup, perasaan kesepian menjadi lebih mudah berkembang dan menguat ketimbang generasi yang hidup tanpa media sosial.

Mengapa fenomena ini terjadi? Saya yakin, karena hubungan kita di media sosial bukanlah hubungan yang nyata. Misalnya, ketika kita menulis “wkwkwkwkw”… Kita tidak sedang sungguh-sungguh tertawa, bahkan ada kemungkinan kita sedang marah.

Ketika kita tampak begitu akrab dalam obrolan di media sosial, belum tentu ketika kita bertemu dengan orangnya, kita benar-benar memiliki keakraban itu.

Artinya, ketika begitu aktif, sibuk, dan terhubung dengan berbagai orang di media sosial, sesungguhnya kita belum tentu benar-benar terhubung dengan mereka. Sementara, semua aktifitas digital itu, memutuskan hubungan kita dengan dunia nyata dan dengan orang-orang yang nyata di sekitar kita. Akibatnya, kita menjadi mudah merasa kesepian.

Dan satu hal lagi. Semua hubungan yang terjadi secara digital (terutama hanya melalui text), sangat minim melibatkan ekspresi emosional kita. Inilah yang membuat generasi muda modern menjadi sangat kaku secara ekspresi sosial, tidak peka dengan kebutuhan emosi orang lain, tidak bisa memiliki etika bersosialiasi dalam lingkungan yang nyata, dan kesulitan meresponi sikap komunikasi orang lain kepada mereka. Karena, media sosial sudah membuat mereka disconnected dengan dunia nyata.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCONTENT

Seorang peneliti sosial, Hanna Krasnova, bersama dengan beberapa rekan peneliti dari Jerman, melakukan riset pada para pengguna Facebook di tahun 2013 (media sosial paling banyak penggunanya di tahun itu).

Hasilnya, 1 dari 3 orang (sepertiga!) mengalami perasaan / mood yang lebih buruk setelah mengunjungi timeline di Facebook. Bayangkan jika ini terjadi setiap hari! Artinya, setiap hari kita terus dilatih untuk memiliki mood yang buruk hanya karena melihat-lihat timeline di media sosial.

Keadaan ini terjadi karena setiap kali melihat timeline, kita akan selalu menemukan orang-orang yang tampaknya hidupnya lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, lebih menyenangkan, lebih sukses, lebih kurus, dan lebih lebih lainnya!

Padahal, semua yang diposting orang-orang itu juga belumlah tentu kenyataannya.

Berapa banyak kita melakukan selfie dengan ekspresi dan wajah yang seru dan heboh, padahal kenyataannya saat berfoto (dan setelah berfoto) kita biasa-biasa saja. Tetapi, “image” seru itulah yang ditangkap orang-orang yang melihatnya dan mereka mulai membandingkan dengan keadaan mereka yang berbeda. Akibatnya, mereka menjadi cemburu, iri, dan merasa hidup mereka tidak sebagus hidup orang lain.

Dan jika kenyataan hidup mereka tidak memungkinkan mereka untuk “meniru” apa yang mereka lihat di timeline, saat itulah muncul perasaan depresi dan perasaan “kalah”.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCLOSURE

Era media sosial menjadi sebuah era keterbukaan. Tiba-tiba hal-hal yang tadinya tersembunyi dan rahasia menjadi begitu mudah terungkap dengan cepatnya.

Di satu sisi, hal ini juga mendorong para pengguna media sosial untuk lebih berani mengungkapkan diri. Tahun 2018 menjadi era kejayaan Youtube di Indonesia lantaran membanjirnya para Vlogger yang mengungkapkan diri mereka lewat video tampilan mereka.

Sayangnya, di dalam dunia digital, filterisasi dan pembatasan sangatlah sulit dilakukan. Artinya, semua pengguna media sosial, berapapun usianya dan apapun latar belakangnya, akan terpapar semua konten apapun. Termasuk konten maki-makian dan cerita-cerita basi mengenai kehidupan sebagian vlogger dan spammer.

Inilah yang kemudian juga mendorong para pengguna media sosial untuk tanpa berpikir panjang memasang status, foto, maupun video mereka dalam berbagai keadaan. Termasuk ketika konflik dengan pacar, marah dengan atasan di kantor, sedang perang dingin dengan suami, bahkan termasuk ketika tidak puas di “ranjang” sekalipun!

Lalu apa akibat dari budaya disclosure yang tak terkendali ini?

Inilah yang kemudian membangkitkan digital bullying dengan kuat. Karena akun media sosial yang dengan mudah dibuat “tersamar”, para netizen (istilah untuk penghuni dunia maya) menjadi jauh lebih berani untuk menilai, menyampaikan pendapat tajam, dan bahkan memaki-maki tanpa merasa terbebani. (toh, orang juga tidak tahu siapa jati diri mereka sebenarnya).

Akibat disclosure yang berlebihan, budaya digital bullying mendapatkan “makanan” untuk berkembang.

Sekali lagi, Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

Memang, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ada begitu banyak manfaat dari media sosial. Termasuk artikel inipun mayoritas dibaca akibat dari penyebaran lewat media sosial.

Namun, menggunakan media sosial membutuhkan Kecerdasan Emosi (EQ). Jangan sampai kita terjebak “dikonsumsi” oleh media sosial. Justru kita harus menjadi bijaksana dalam menggunakan media sosial agar Kecerdasan Emosi (EQ) kita tidak menjadi tumpul.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


3 Tanda Manajer Cerdas Emosi

Media online Norwich University mempublikasikan hasil pengumpulan data mereka, dan menyatakan bahwa para manajer hebat yang menjadi top performer di perusahaan mereka, ternyata 90% dari mereka memiliki kualitas kompetensi Kecerdasan Emosi (EQ) yang lebih tinggi dibandingkan para manajer pada umumnya.

Bahkan, perusahaan Pepsi yang melakukan survey internal dalam perusahaan mereka sendiri, menyatakan bahwa para manajer dan pemimpin yang secara konsisten terus mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) mereka, menolong perusahaan untuk meningkatkan omzet tahunan hingga 15-20%.

Dan yang jauh lebih menarik lagi, hasil penelitian dari Gallup menunjukkan bahwa para manajer yang Kecerdasan Emosi (EQ)nya ‘payah’, mengakibatkan karyawan resign 4 kali lebih banyak dibandingkan jika perusahaan itu memiliki pemimpin-pemimpin yang lebih cerdas emosinya.

Kalau mau dituliskan lagi, masih begitu banyak hasil penelitian yang menguatkan kenyataan bahwa Kecerdasan Emosi berperan jauh lebih penting daripada IQ dan kecerdasan intelektual di dalam leadership.

Pertanyaannya, seperti apakah yang disebut dengan pemimpin cerdas emosi itu? Apa tandanya seorang pemimpin memiliki EQ yang baik?

Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas beberapa indikator EQ yang bagus pada seorang pemimpin. Tidak akan cukup untuk dibahas seluruhnya, itu sebabnya saya hanya akan mengulas dengan singkat 3 indikator dasar saja.

 

SELF AWARENESS

Salah satu ciri seseorang yang memiliki Kecerdasan Emosi yang baik adalah dia memahami dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia bisa mengerti bagaimana pola moodnya, apa yang menjadi dorongan motivasional untuk dirinya, dan apa kekuatan, kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan menyadari kualitas dirinya sendiri, dia dapat mengatur dirinya sendiri agar bisa berkarya sesuai dengan ‘spec’ yang ia miliki.

Para manajer yang cerdas emosi, tahu bagaimana dia menempatkan dirinya agar dia bisa berfungsi maksimal. Dia tahu hal-hal apa yang harus dia hindari agar tidak merusak moodnya. Dia tahu keadaan-keadaan apa yang bisa merusak performanya dan dia mengerti bagaimana untuk menyiasatinya.

Sungguh tidak banyak orang yang benar-benar mengerti mengenai dirinya sendiri. Bahkan, dalam kelas-kelas pelatihan yang saya adakan, lebih dari 80% orang tidak menyadari pola-pola perilakunya sendiri dan tidak mengerti apa yang mengganggu dan merusak produktifitasnya.

 

BATTLE MANAGEMENT

Seorang pemimpin yang baik, tahu ‘pertempuran’ mana yang perlu ia menangkan dan mana yang perlu ia lepaskan. Seringkali, kita harus membiarkan beberapa ‘pertempuran’ terlihat kalah, dalam rangka untuk memenangkan keseluruhan ‘peperangan’.

Misalnya, kadang-kadang kita perlu untuk terlihat ‘mengalah’ kepada bawahan kita demi untuk memenangkan hatinya sehingga ke depannya justru kita bisa menggerakkan dia untuk tujuan yang lebih besar. Para pemimpin ber’EQ tinggi tahu betul kapan harus berjuang dan ngotot, dan kapan harus melepas dan merelakan terlihat kalah.

Masih banyak para manajer yang tidak mau ‘win-win’ dan selalu maunya menang sendiri. Bahkan dalam hal-hal kecil yang sepele, banyak pemimpin tidak mau mengalah dan merasa harus didahulukan, dimenangkan, dan diutamakan terus-menerus.

Battle management adalah sebuah kompetensi yang membutuhkan ketenangan dan kematangan emosional yang tinggi karena biasanya, dalam sebuah perdebatan, perebutan, atau ‘pertempuran’, dorongan emosi kita begitu meluap-luap sulit dikendalikan. Namun para pemimpin cerdas emosi tahu betul bagaimana menjaga emosinya dan melihat keadaan dengan jernih.

 

EMOTIONAL MAKE UP

Emotional Make Up adalah sebuah kemampuan untuk mengolah emosi atau mood, supaya bisa dipakai untuk menampilkan sesuatu yang lebih produktif. Baik emosi yang terjadi dalam diri kita sendiri, maupun terutama emosi orang lain.

Sebagai contoh, jika ada seorang bawahan yang merasa tidak puas dengan rekan kerjanya karena merasa rekan kerjanya mendapat perlakukan yang lebih ‘dianak emaskan’ daripada dirinya. Seorang pemimpin ber’EQ tinggi akan mampu “mengolah” rasa tidak puas itu menjadi sebuah dorongan motivasional agar orang itu meningkatkan kinerjanya dengan lebih banyak lagi.

Inilah Emotional Make Up.

Tentunya untuk melakukan ini, sang manajer harus pandai membaca ‘tombol-tombol’ penggerak emosi bawahannya. Manajer itu harus empatik, peka dengan kecenderungan-kecenderungan bawahannya, dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa yang tepat untuk melakukan ‘make up’ emosi kepada bawahannya yang sedang tidak puas tersebut.

Jika kita mengamati, biasanya para pemimpin-pemimpin hebat, memiliki 3 kemampuan EQ dasar ini dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang tepat.

Jika Anda mau menjadi seorang pemimpin hebat dengan Kecerdasan Emosi yang tinggi, mulailah melatih diri di 3 area tersebut.

Selamat memimpin dengan cerdas emosi!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Life Management Skill

Apa keahlian paling penting untuk memperoleh hidup yang sukses dan bahagia?

Berbagai seminar motivasi mengajarkan puluhan “syarat sukses” sampai kita bingung yang manakah yang benar. Yang lebih membingungkan lagi, apa yang diajarkan di sekolah dan pendidikan formal kita, sekitar 80%nya tidak lagi terpakai saat kita sudah dewasa dan menjalani hidup “sesungguh”nya.

Inilah yang membuat banyak orang terkejut oleh realita hidup. Karena justru hal-hal esensi yang dibutuhkan untuk kehidupan, malah tidak diajarkan dalam masa persiapan kita.

Semua keahlian esensi ini yang saya sebut sebagai “Life Management Skill”. Yaitu sebuah keahlian untuk mengelola hidup. Apa saja yang termasuk dalam “Life Management Skill” ini?

 

Consequential Thinking

Hidup ini berbicara soal pilihan. Banyak sekali orang yang belum menyadari bahwa hampir setiap detik mereka selalu membuat pilihan. Pola asuh dan kebudayaan lokal yang berbeda-beda di tiap tempat, menghasilkan sikap yang berbeda-beda pula dalam menyikapi pilihan.

Ada orang-orang yang mampu menyadari bahwa dialah sang penentu pilihan untuk hidupnya dan siap bertanggung jawab atas konsekuensi hasil pilihannya. Tetapi, cukup banyak orang (terutama di sekitar kita di Indonesia), yang merasa bahwa hidupnya dipilihkan oleh orang lain dan lantas merasa menjadi korban ketika pilihan itu menghasilkan konsekuensi yang buruk.

Dasar dari Life Management Skill adalah kesadaran bahwa kita bertanggung jawab untuk memilih dan bertanggung jawab untuk hasil konsekuensi dari pilihan kita. Ketika kita menyadari bahwa akibat-akibat dari pilihan kita bukan untuk disesali dan dijadikan bahan “baper”, tetapi justru menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi, diatasi, dan dikelola, maka disinilah kita memasuki sebuah level life management yang sesungguhnya.

JIka Anda ingin memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan produktif, mulailah melihat bahwa konsekuensi (baik ataupun buruk), hanyalah hasil/akibat dari pilihan-pilihan Anda. Pilihan Anda bisa salah, dan konsekuensinya bisa buruk, tetapi jika Anda mengelolanya dengan benar dan baik, hasilnya untuk hidup Anda, bisa saja menjadi baik dan produktif.

Seperti ungkapan bijak yang berkata, “Hidup itu 10% apa yang terjadi (apa yang Anda pilih), dan 90%nya adalah respon Anda terhadap apa yang terjadi itu (bagaimana Anda mengelola konsekuensi)”

Priority Management

Jangan berusaha mengelola waktu, karena Anda akan frustasi.

Sesungguhnya, waktu tidak bisa dikelola karena waktu adalah kedaulatan absolut Tuhan. Waktu tetap berjalan begitu saja, dengan atau tanpa Anda. Anda tak bisa menunda, tak bisa menghentikan, ataupun mempercepat. Anda hanya bisa mengikuti berjalan bersama waktu. Lalu, bagaimana Anda bisa mengatur-atur waktu?

Yang bisa Anda kelola adalah PRIORITAS hidup Anda.

Banyak orang gagal “mengelola waktu” karena ia gagal mengetahui apa yang menjadi prioritas hidupnya. Banyak orang menghabiskan waktu untuk tidur dan main game. Banyak orang tidak punya waktu untuk olahraga. Banyak orang kesulitan cari waktu untuk keluarganya. Itu semua terjadi karena mereka menetapkan prioritas hidup yang salah, atau mungkin bahwa tidak tahu apa yang menjadi prioritas hidupnya.

Maka Life Management dasar yang berikutnya adalah mengelola prioritas hidup kita. Waktu yang kita alokasikan, selalu mengikuti apa yang kita prioritaskan.

Seorang peserta kelas pelatihan menulis yang saya adakan berkata, “Saya kesulitan cari waktu untuk menulis nih pak…” Lalu saya menjawab, “Kita itu TIDAK PERNAH tidak punya waktu. Kita selalu punya waktu untuk sesuatu yang kita anggap penting (prioritas)”.

Masalahnya, apakah yang Anda anggap penting itu benar-benar penting?

Susun ulang prioritas hidup Anda. Caranya? Mulailah mendata dan membuat daftar, kemana Anda habiskan waktu-waktu Anda? Susunlah berdasarkan konsumsi waktu paling banyak, maka Anda akan mengetahui itulah prioritas-prioritas hidup Anda. Dari daftar itu, evaluasilah, apakah itu sungguh-sungguh yang terpenting, ataukah ada yang lebih penting yang Anda abaikan?

 

Relationship Management

Life Management Skill dasar yang ketiga adalah mengelola hubungan dengan orang lain. Kualitas hidup kita sangat ditentukan dari kualitas hubungan kita dengan orang lain. Baik dengan siapa-siapa kita berhubungan, maupun bagaimana kualitas hubungan itu dengan mereka.

Tuliskan 5-7 orang yang paling dekat dengan Anda dan lihatlah bagaimana kualitas orang-orang itu. Maka itulah gambaran kualitas hidup Anda. Jika nama-nama itu adalah nama-nama orang yang berkualitas tetapi hidup Anda masih “merosot”, maka cobalah teliti seperti apakah cara Anda merawat hubungan Anda dengan mereka.

Relationship management bukan melulu soal berteman dengan sebanyak mungkin orang, justru ini berbicara mengenai bagaimana Anda memilih siapa-siapa yang ada dalam lingkaran “support system” Anda, dan bagaimana langkah-langkah Anda dalam membangun lingkaran itu dan merawatnya.

Para orang hebat, tahu bagaimana melakukan ini dengan efektif. Itu sebabnya, banyak diantara mereka bukanlah orang yang “terhebat”, tetapi mereka dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menolong mereka untuk menjadi yang “terhebat”.

 

Sayang sekali, Life Management Skill ini nyaris tak pernah diajarkan di dalam pendidikan-pendidikan formal kita. Padahal justru inilah kemampuan yang kita butuhkan. Belum terlambat untuk Anda mulai melatih Life Management Skill Anda dimulai dari sekarang.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Entrepreneur VS Intrapreneur

Jika ditanya, salah satu keinginan terbanyak para karyawan “kantoran” adalah, segera resign, punya usaha sendiri, menjadi entrepreneur dan menjalani kehidupan yang “bebas” dan “sukses”.

Seorang teman pernah berkata, “lebih baik menjadi kepala ayam, daripada menjadi ekor naga!”

Itu adalah sebuah ungkapan yang artinya, lebih baik punya usaha kecil-kecilan tetapi menjadi bosnya, daripada menjadi karyawan di perusahaan besar tetapi tetaplah “bekerja pada orang”.

Sungguhkah entrepreneur lebih baik daripada kerja kantoran? Bagaimana kalau perbandingannya menjadi kepala ayam vs menjadi leher naga? Punya resto kecil-kecilan vs menjadi CEO sebuah perusahaan multinasional?

Banyak sekali karyawan yang menggebu-gebu ingin menjadi entrepreneur, tanpa mengetahui sebuah fakta bahwa: ENTREPRENEURSHIP BUKAN UNTUK SEMUA ORANG!

Ada alasannya kenapa angka wirausaha di Indonesia hanyalah 3,1% dari seluruh populasi.  Artinya, dari 33 orang, hanya 1 yang bisa menjadi seorang entrepreneur. Bahkan di negara maju saja, angka entrepreneurship tidak lebih dari 15%.

Statistik ini menunjukkan, bahwa dengan sekedar mengikuti training, seminar motivasi, dan “personal coaching”, tidak menjamin Anda bisa menjadi seorang entrepreneur karena sekali lagi, entrepreneurship bukan untuk semua orang!

Dan siapa bilang, menjadi pengusaha adalah level kesuksesan yang lebih baik dibanding menjadi karyawan “kantoran”? Begitu bias dan kacaunya definisi kesuksesan yang ada di dunia, sampai kita jadi bingung sendiri dan terjebak kepada berbagai stigma bahwa untuk sukses semua orang harus jadi entrepreneur. Padahal, memang ada orang-orang yang tidak ‘fit’ untuk menjadi entrepreneur dan ketika dia memaksakan diri, dia malah bisa menghancurkan masa depannya sendiri.

Stigma bahwa entrepreneur lebih baik dari intrapreneur (pekerja “kantoran) menciptakan beban rasa bersalah dan beban tuntutan seumur hidup bagi para karyawan yang belum (dan akhirnya tidak) berhasil menjadi seorang wirausahawan. Mereka selalu menganggap diri mereka lebih rendah kastanya setiap kali ketemu orang-orang yang sudah menjadi wirausahawan.

Padahal, sungguhkah entrepreneur selalu lebih baik hidupnya dari intrapreneur?

Hidup ini soal pilihan dan bagaimana kita mengelola (manage) semua konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kita. Kuncinya terletak di kemampuan “life management” kita. Entrepreneur atau intrapreneur hanyalah pilihan hidup yang membawa keuntungan dan kekurangannya masing-masing.

Tidak ada pilihan yang lebih baik. Yang ada hanyalah pilihan yang LEBIH PRODUKTIF. Untuk saya, mungkin menjadi entrepreneur adalah  pilihan yang lebih produktif, tetapi bagi Anda bisa jadi malah merupakan pilihan yang kontra produktif. Atau sebaliknya.

Karena itu, penting untuk Anda mengetahui tipikal dan profil diri Anda sendiri, supaya Anda bisa menentukan apakah menjadi entrepreneur akan membuat Anda menjadi lebih produktif dala  melakukan “life management” ataukah jangan-jangan menjadi intrapreneur justru pilihan yang lebih produktif bagi Anda?

Saya mengenal seorang programmer handal. Dia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang cukup tinggi. Karena keahliannya yang handal, akhirnya banyak orang yang memberinya “project pribadi”. Melihat hal ini, ia berpikir, sudah saatnya dia berhenti kerja dan mulai membuka software house’nya sendiri.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk resign dan mulai menapak kaki untuk memiliki usaha sendiri (walaupun saat itu dia masih satu-satunya karyawan untuk dirinya sendiri). Namun apa yang terjadi? Tanpa lingkungan kerja “kantoran”, dia gagal untuk mengelola waktu, mengelola prioritas, dan banyak deadline kerja yang terbengkalai sehingga project’nya banyak yang gagal.

Singkat cerita, ia kemudian kembali bekerja “kantoran” dan hingga kini ia masih berprofesi sebagai karyawan. Performanya justru semakin bagus. Atasannya memberikan kebebasan jam kerja dan berbagai bonus tambahan untuk performanya yang baik. Rupanya, pola kerja intrapreneur membuatnya lebih produktif untuk mengelola hidupnya dibandingkan dengan menjadi seorang entrepreneur.

Tentu saja, Anda bisa berkata “Ah itu mah orangnya aja yang kurang disiplin”. Itu betul.

Tetapi, untuk melatih disiplin, ada orang-orang tertentu yang membutuhkan lingkungan pendukung (misalnya pola kerja “kantoran”?). Inilah yang saya sebut bahwa entrpreneurship bukan untuk semua orang.

Sukses itu bukan terletak apakah Anda berhasil menjadi pengusaha atau tidak. Tetapi terletak pada bagaimana Anda mampu mengatur hidup Anda, sehingga Anda memiliki kehidupan yang berkualitas, karya yang berdampak, dan memberi nilai bagi orang-orang di sekitar kita. Itu bisa dilakukan baik sebagai entrepreneur maupun sebagai intrapreneur, tergantung mana yang lebih produktif untuk profil tipikal Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


DNA Entrepreneur

“Entrepreneurship bukanlah untuk semua orang.”

Kalau Anda kebetulan pernah menghadiri seminar motivasi atau kelas-kelas training dimana pembicaranya berkata “Asalkan ada niat dan tahu caranya, semua orang bisa menjadi entrepreneur!”, menurut saya, itu sebuah kalimat yang cacat logika.

Statistik menunjukkan bahwa angka entrepreneurship di Indonesia tahun 2017, adalah 3,1% dan di negara-negara maju berkisar sekitar 8-13%.

Artinya, di Indonesia, dari 33 orang hanya 1 yang berkemungkinan menjadi entrepreneur. Sedangkan di negara-negara maju, dari 33 orang, paling banyak 5 orang saja yang berpeluang menjadi entrepreneur.

Statistik jelas-jelas menyatakan bahwa entrepreneurship BUKAN UNTUK SEMUA ORANG.

Lalu, secara “hukum alam” sendiri, dibutuhkan lebih banyak karyawan ketimbang entrepreneur. Karena setiap 1 orang pemilik usaha membutuhkan minimal 1 orang juga untuk menjadi karyawannya dia. Semakin besar usahanya, semakin banyak pula karyawan yang dia butuhkan untuk bekerja kepadanya.

Kalau semua orang menjadi entrepreneur, lalu siapa yang jadi karyawannya? Kalau 50% populasi menjadi entrepreneur, maka dengan sendirinya itu keadaan itu akan membunuh entrepreneurship karena kekurangan tenaga kerja untuk menjadi karyawan. Maka, memang sudah menjadi “hukum alam” bahwa jumlah entrepreneur selalu jauh lebih kecil dari jumlah karyawan “yang kerja sama orang”.

Maka, memberikan harapan palsu dengan kata-kata “Semua orang bisa menjadi entrepreneur!” adalah sebuah dorongan motivasional yang berbahaya sekaligus kejam. Saya sebut kejam karena memberikan iming-iming palsu tanpa membuka semua fakta kebenarannya.

Dan karena entrepreneurship bukan untuk semua orang, itu sebabnya, Founder Institute, salah satu lembaga pendidikan Start Up yang cukup ternama dari Amerika dan sudah memiliki perwakilan di berbagai kota besar dunia, mencetuskan istilah “DNA Entrepreneur”. Artinya, orang-orang yang menjadi entrepreneur sukses biasanya memiliki ciri-ciri yang mirip.

Akan sangat panjang untuk membahas keseluruhan detail DNA Entrepreneurship ini. Di artikel kali ini, saya hanya akan memaparkan secara singkat, 3 indikator dasar untuk memeriksa apakah di dalam diri kita ada “bakat” seorang entrepreneur. Mari kita mulai!

EMOTIONAL STABILITY

Dunia wirausaha adalah dunia yang penuh gejolak, perubahan, dan sangat dinamis. Banyak hal-hal diluar prediksi yang bisa terjadi dan seringkali kita akan berhadapan dengan situasi-situasi yang tidak jelas namun membutuhkan keputusan yang cepat dan tegas.

Disinilah Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi penting, karena dibutuhkan orang yang memiliki ketenangan emosional. Entrepreneur sejati adalah orang yang berhati-hati, sekaligus berani. Artinya, dia bisa mengambil keputusan yang teguh dengan cepat namun sekaligus juga sudah memperhitungkan konsekuensinya.

Dan yang menarik, sebagian besar entrepreneur sukses adalah orang-orang yang tidak kehilangan ketenangannya meski sedang menghadapi krisis maupun keadaan-keadaan sulit di luar perkiraan. Itu sebabnya, mereka mampu menghadapi resiko dan ancaman dengan tetap tenang tanpa kehilangan pemikirannya.

Seorang entrepreneur adalah orang yang bisa hidup dalam ketidakpastian dan bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan yang dinamis. Apalagi jika kita berbicara mengenai masa-masa perintisan, ketidakpastian income, keadaan yang penuh kejutan ini itu, semuanya harus dihadapi dengan tanpa kehilangan optimisme.

Banyak sekali orang yang batal menginjakkan kaki menjadi wirausahawan lantaran mereka ingin kepastian. Mereka tidak tahan hidup tanpa fix income tiap bulan. Mereka kewalahan menghadapi stok barang yang menumpuk tanpa tahu kapan bisa terjual. Mereka terkaget-kaget dengan perubahan situasi pasar yang tiba-tiba lesu dan hilang tren. Mereka bingung ketika semua cara sudah dilakukan tapi hasilnya tak kunjung nampak.

Dibutuhkan sebuah “kematangan” emosional tersendiri untuk bisa menghadapi situasi-situasi semacam ini. Apakah Anda bisa hidup dalam keadaan-keadaan tersebut?

 

SELF DRIVEN

Seorang entrepreneur adalah orang yang bisa memacu dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan orang lain untuk menyuruhnya bekerja. Ia mampu membangun disiplinnya sendiri.

Cobalah tengok para entrepreneur sejati yang memulai usaha mereka dari nol seorang diri. Mereka punya disiplin kebiasaan yang dibangun dengan konsisten. Mereka bangun pagi tanpa diminta. Mereka lembur jika diperlukan tanpa harus disuruh. Mereka tahu hal-hal apa yang harus dikerjakan untuk supaya berhasil. Mereka tidak mudah kehilangan mood dan bisa konsisten bekerja secara ulet dan tekun.

Jika Anda jenis orang yang membutuhkan orang lain untuk menyemangati Anda. Jika Anda butuh disuruh-suruh dan diingatkan agar bisa produktif. Atau, jika Anda butuh lingkungan yang teratur, jelas, dan membutuhkan sistem pengingat agar Anda bisa bekerja maksimal, maka kemungkinan Anda akan sulit hidup di dalam dunia entrepreneurship.

Karena dunia entrepreneurship membutuhkan orang-orang yang bisa “membangkitkan” etos kerja dari dalam dirinya sendiri. Dan lagi-lagi, trait “self driven” ini juga adalah bagian dari Kecerdasan Emosi (EQ).

 

SOCIAL SMART

Para entrepreneur yang berhasil adalah orang-orang yang fleksibel dan fasih dalam membangun komunikasi dan hubungan dengan orang lain.

Banyak orang berpikir, kalau mau punya usaha kuliner, maka kita harus ahli memasak atau setidaknya ahli dalam dunia kuliner. Atau, jika mau punya usaha bengkel, maka kita haruslah orang yang mengerti dan ahli tentang mesin otomotif.

Kita pikir, keahlian teknis adalah hal terpenting yang membuat usaha kita berhasil. Namun  kenyataannya, justru di luar itu, ada hal yang lebih penting lagi. Yaitu: relasi dan koneksi.

Sebuah usaha yang berhasil bukan cuma karena produk atau jasanya yang bagus. Tetapi, juga karena adanya jaringan relasi dan koneksi yang luas dan kuat. Disinilah kemampuan untuk membangun komunikasi dan hubungan menjadi hal yang sangat penting.


Nah, bagaimana kalau Anda tidak memiliki ketiga hal di atas? Apakah itu artinya Anda harus mengurungkan niat sebagai entrepreneur?

Begini, masih ada beberapa indikator lain yang harus kita periksa. Namun, jika Anda lemah pada 3 indikator di atas, maka memang sebaiknya Anda mempertimbangkan ulang untuk memilih jalur entrepreneur. Karena, toh kesuksesan hidup bukan diukur apakah Anda menjadi entrepreneur atau tidak.

Lalu, beruntungnya kita hidup di era modern yang membuka berbagai kemungkinan yang luas. Di era bisnis modern sekarang ini, jika kita lemah dalam beberapa hal, sebenarnya kita bisa bekerja sama dengan orang lain untuk memulai bisnis bersama-sama. Namun, “join kongsi” ini pun juga memiliki keuntungan dan kelemahannya. Di artikel yang lain saya akan membahas soal ini.

Menutup artikel ini, hal penting yang ingin saya sampaikan adalah: Tuhan menciptakan kita unik dan berbeda-beda. Jalur kesuksesan seseorang belum tentu menjadi jalur kesuksesan untuk kita. Artinya, belum tentu entrepreneurship adalah satu-satunya jalan menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup. Jangan terbebani HARUS menjadi entrepreneur hanya karena ajaran-ajaran “ngawur” dari beberapa orang yang mengharuskan Anda menjadi wirausahawan.

Mengenali diri-sendiri dan memaksimalkan potensi kita, itulah yang lebih penting. Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan diri Anda dengan kelebihan yang Anda miliki. Entrepreneurship hanyalah satu dari sekian opsi yang terbentang. Pilihlah mana yang paling produktif untuk Anda.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Career Killer

 

“Cara Cepat Untuk Naik Jabatan! (dan Gaji!)”

Begitulah kurang lebih judul seminarnya. Tapi sayang, ketika dihadiri dan disimak, ternyata pemaparan yang diberikan tidaklah sebanding dengan kehebohan judulnya, karena kata “cepat” itu sendiri memanglah relatif. Cepat bagi si pembicara belum tentu cepat menurut saya.

Tetapi pertanyaannya, sungguhkah ada cara yang (setidaknya) bisa mempercepat laju karir “kantoran” kita?

Jika Anda benar-benar mengamati, sebenarnya memang ada beberapa orang (lebih tepatnya, sedikit orang) yang mengalami kenaikan jabatan lebih cepat dibandingkan orang-orang pada umumnya. Salah satu strategi mereka adalah, berpindah-pindah perusahaan. Jika perlu, berpindah fungsi jabatan, yang penting gaji dan level jabatannya naik.

Saya tidak akan membahas soal pindah memindah ini. Saya akan menulis artikel lain soal ini.

Dalam tulisan kali ini, saya lebih ingin membahas, apa yang membuat seseorang mengalami “stuck” dalam karirnya. Sudah bekerja begitu lama, tetapi level pertumbuhannya hanyalah rata-rata (baik secara tingkat jabatan maupun gaji), atau bahkan malah minim.

Hampir seluruh karyawan “kantoran” yang saya jumpai, memiliki mentalitas dan cara pandang yang mirip-mirip dalam bekerja. Inilah yang membuat mereka kemudian masuk dalam golongan “average” itu. Inilah yang saya sebut dengan keadaan “Career Killer”, yaitu sikap, tindakan, dan cara pandang yang tanpa mereka sadari sudah membunuh perkembangan karir mereka sendiri.

Dalam tulisan ini, tidak semua bisa saya bahas karena akan menjadikan artikel ini terlalu panjang. Saya akan mencoba membahas 2 hal yang paling mendasar dan paling “killer” lebih dulu:

 

Auto Pilot Attitude

“Bertambahnya usia membuat Anda menjadi makin tua, tapi tidak menjamin Anda menjadi makin dewasa”

Pernah mendengar quotes bijaksana ini?

Di dalam hidup ini, ada hal-hal yang secara pasti akan meningkat dengan bertambahnya durasi/waktu. Salah satunya usia. Tetapi, kalau kita berbicara kapasitas, keahlian, dan kompetensi, aturan ini tidaklah berlaku (atau setidaknya tidak berlaku kepada sangat banyak hal).

Banyak karyawan yang berpikir, kalau mereka bekerja dalam kurun waktu yang lama, maka otomatis mereka cepat atau lambat akan naik jabatan dan naik gaji. Makin lama waktu yang didekikasikan, harusnya makin banyak pertambahannya. Itu sebabnya, kemudian banyak orang bekerja secara “auto pilot”, alias cuma melakukan rutinitas seadanya dan menjalankan “program” sehari-hari mereka sambil berharap karir mereka akan terus meningkat seiring waktu.

Masalahnya, hampir seluruh tempat kerja kita, bukanlah non-profit organization. Sebagus-bagusnya visi dan value sebuah perusahaan, tetaplah mereka profit-based organization. Artinya, mereka membutuhkan orang-orang yang bisa “make money” untuk perusahaan mereka. Maka, disinilah dituntut kompetensi, keahlian, dan performa kinerja yang setinggi-tingginya.

“Wah… Berarti kita ini cuma sapi perah ya…” Jika itu kalimat yang muncul di kepala Anda, saya exact akan membahas soal ini di poin kedua nanti.

Lanjut lagi. Kompetensi dan kinerja, tidak nongol begitu saja. Semuanya harus DIUSAHAKAN. Perlu pembelajaran, latihan, disiplin, dan niat untuk mewujudkannya. Anda tidak bisa memperoleh semua itu hanya dengan sekedar “auto pilot” setiap hari.

Sayangnya, ada begitu banyak karyawan yang masih tidak menyadari ini. Tapi bagi sebagian kecil yang memahami prinsip ini, mereka melatih diri dan mengembangkan diri sehingga memiliki keunggulan dibanding orang lain. Dan ketika perusahaan melihat orang-orang yang “stand out” ini, tidak heran kemudian mereka mengangkat orang-orang ini menjadi pemimpin dan menaikkan gaji mereka, karena mereka menyumbang kontribusi lebih banyak dari orang lain pada umumnya.

Kuncinya disini adalah, niat dan keinginan untuk mengembangkan diri menjadi lebih kompeten dari orang lain. Jika memang Anda serius ingin karir Anda lebih baik, tinggalkan budaya “auto pilot” Anda.

 

Self Slavery Attitude

Sikap “pembunuh karir” berikutnya adalah sikap atau mentalitas budak.

Bagaimana perusahaan memandang Anda tidaklah lebih penting daripada bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri.

Banyak karyawan menganggap diri mereka sebagai “sapi perah”, “orang bawah”, “pion catur”, “budak jajahan”. JIka Anda memandang diri Anda sendiri seperti itu, maka tidak heran kelakuan Anda menjadi seperti itu.

Tidak peduli apa pandangan orang lain (dan perusahaan atau bos Anda) kepada Anda, Anda harus tetap bisa melihat diri Anda adalah orang yang berharga, dengan begitu sikap dan tindakan Anda akan menjadi berbeda. Tindakan yang berbeda itulah yang mengantarkan karir Anda meningkat (kalau bukan di perusahaan yang sekarang ini, pasti ada perusahaan lain yang bisa melihat potensi Anda).

Ketika kita memposisikan diri menjadi korban, sebenarnya kita sedang memperbudak diri-sendiri. Dan setiap karyawan yang bermental budak, akan menerima perlakukan “perbudakan” dari perusahaan dan atasan mereka. Bukan salah perusahaannya atau bos Anda, tetapi karena Anda sendiri yang memposisikan diri sebagai budak jajahan.

Salah satu ciri paling utama yang menunjukkan bahwa kita bermental budak jajahan adalah: baru bertindak kalau disuruh. Tidak ada seorang budak yang memiliki INISIATIF. Inisiatif hanya dimiliki oleh para innovator, orang yang hidupnya terus berkembang.

Sementara, di berbagai tempat kerja, dengan mudah kita menjumpai orang-orang yang hanya bekerja kalau ada atasannya. Baru bekerja kalau diperintah dan disuruh. Baru mau bergerak kalau dimarahi dan diancam-ancam. Baru serius kalau dipotong gajinya. Artinya, dari perilaku mereka ini, mereka sendiri yang meminta untuk “dijajah”.

Sekali lagi, jika Anda serius ingin mengalami peningkatan karir, berhentilah memposisikan diri sebagai sapi perah. Mulailah berinisiatif untuk berkarya tanpa diminta dan disuruh. Tunjukkan kualitas Anda yang sesungguhnya. Bagaimanapun, orang yang berkualitas akan segera bertemu dengan orang-orang yang akan bisa menghargai kualitas itu.

Tetapi jika Anda terus-menerus memposisikan diri sebagai “budak jajahan”, maka sampai selamanya, orang-orang akan terus memperlakukan Anda sebagai “budak jajahan”.

Selamat berkarir!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.