Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.
Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.
Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!
Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:
“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”
Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.
Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:
EMOTIONAL VACUUM
Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.
Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.
Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.
Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.
RUNAWAY LEADERSHIP
Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.
Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.
Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.
Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.
Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.
Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.
PEMERDAYAAN
Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.
Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.
Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.
Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.
Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.
Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.
Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.
Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.
Selamat memimpin!
Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.