Emotional Toxic Leader

Kualitas seorang pemimpin, menentukan 90% dari kualitas timnya.

Sebuah tim yang bagus, jika dipimpin oleh pemimpin yang destruktif, akan berakhir dengan kerusakan performa pada tim. Hanya 10% kasus dimana sebuah tim berhasil mempertahankan performa dengan pemimpin yang destruktif.

Bahkan, hasil penelitian dari Gallup menyatakan, bahwa pemimpin yang “Toxic” secara emosional, menyebabkan karyawan resign hingga 4 kali lebih banyak!

Seorang ahli manajemen bernama Marcus Buckingham, salah satu penggagas assessment Strength Finder sekaligus penulis buku manajemen laris versi New York Times, menyatakan bahwa:

“Mayoritas orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan pemimpinnya”

Itu sebabnya, kematangan emosional dan Kecerdasan Emosi (EQ), hari-hari ini menjadi salah satu kompetensi wajib yang dimiliki oleh para pemimpin. Bahkan, World Economic Forum memasukkan Kecerdasan Emosi (EQ) sebagai satu dari 10 skill wajib yang harus dimiliki semua orang di marketplace di tahun 2020.

Sekarang, apakah tandanya bahwa seorang pemimpin memiliki kecenderungan “toxic”? Di dalam artikel kali ini, saya akan membahas secara singkat 3 ciri-ciri Emotional Toxic Manager:

 

EMOTIONAL VACUUM

Seorang Emotional Toxic Leader adalah orang yang menyedot energi emosi timnya. Ada beberapa jenis perilaku Emotional Vacuum ini, beberapa orang terus-menerus mengumbar temperamennya, mudah meledak-ledak, dan menunjukkan ketegangan terus dalam bekerja, sehingga orang-orang di sekitarnya akan secara konstan menyediakan energi emosi untuk menghadapi ketegangan demi ketegangan.

Bentuk lainnya adalah perilaku intimidatif dan penuh tekanan yang dilontarkan dalam bentuk kata-kata, sikap penuh tuntutan, dan jarang mau mengerti kondisi orang lain. Sehingga semua orang yang bekerja bersamanya, harus terus menyiapkan diri untuk menjadi sempurna di hadapan pemimpinnya.

Atau, bentuk lain yang justru terlihat berlawanan adalah perilaku baper, mudah tersinggung, mudah galau dan menunjukkan perilaku “emotional blackmail” dengan mengasihani diri-sendiri, playing victim, dan mengisolasi diri setiap kali ada masalah. Sehingga orang-orang yang bekerja bersamanya, habis energi emosinya untuk menebak-nebak, mengakomodasi perasaan sang atasan, dan berusaha memperbaiki suasana.

Ada banyak perilaku Emotional Vacuum, tapi semuanya bermuara pada keadaan yang sama, yaitu setiap bersama sang pemimpin, kita akan merasa tersedot dan kehabisan energi emosi.

 

RUNAWAY LEADERSHIP

Dalam kasus-kasus yang diajukan dalam training leadership, cukup banyak peserta di kelas saya yang mengeluhkan bahwa atasan mereka seringkali lari dari masalah. Ketika ada sesuatu yang tidak beres, beberapa pemimpin tidak ingin menyelesaikannya bersama dan dengan segera melakukan ‘takeover’ lalu kemudian tidak pernah membahasnya lagi, namun sejak itu perilaku dan sikap mereka kepada bawahan menjadi berubah dan menegang.

Banyak karyawan kehabisan energi menjalani hubungan “ackward” ini dengan atasannya setiap hari.

Banyak persepsi dan penilaian-penilaian pribadi dari atasan yang tidak pernah disampaikan dan diselesaikan kepada timnya. Akibatnya, kian lama persepsi yang terbentuk itu semakin memperburuk sikap pemimpin kepada timnya.

Itu sebabnya, dalam beberapa perusahaan kelas atas, sesi “Coaching & Counseling” antara atasan dan timnya, menjadi sebuah sesi wajib yang harus dilakukan (bahkan masuk dalam KPI). Karena sesi ini sebenarnya menjadi sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik untuk menghancurkan ketegangan dan salah persepsi yang terjadi.

Banyak karyawan yang memutuskan resign bukan karena gaji rendah, dan bukan pula karena tekanan pekerjaan. Melainkan, dia bisa merasakan bahwa atasannya “tidak menyukai” dirinya dan setiap hari harus berada dalam komunikasi dengan atasannya membuatnya tidak nyaman secara emosi dan mendorongnya untuk meninggalkan tempat itu.

Salah satu kualitas seorang pemimpin adalah keberaniannya untuk membereskan masalah, termasuk masalah hubungan dengan timnya sendiri.

 

PEMERDAYAAN

Emotional Toxic Leader tidak selalu muncul dalam bentuk keras, garang, intimidatif, meledak-ledak, dan melakukan emotional bullying secara agresif.

Beberapa Emotional Toxic Leader, muncul dalam bentuk kalem, cerdas, elegan, dan bahkan bermulut manis dan menunjukkan keramahan yang menenangkan. Tetapi yang berbahaya adalah, di balik keramahan mereka, para pemimpin beracun ini sebenarnya sedang memperdaya timnya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Antara memPerdaya dan memBerdayakan hanyalah berbeda 1 huruf, tetapi efeknya sangatlah jauh.

Pemimpin sejati ingin timnya maju bersama dirinya, mencapai kemenangan bersama, bertumbuh bersama dan ingin timnya juga mencapai kualitas yang tinggi. Itulah tujuannya dia memimpin, ingin melihat dan mengantarkan orang lain meraih peningkatan.

Tetapi para pemimpin beracun, hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya, untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

Di awal-awal memang sulit untuk membedakan antara pemimpin yang memberdayakan dengan pemimpin yang memperdaya. Namun, cepat atau lambat, semuanya akan ketahuan. Ketika sudah terbongkar identitas pemimpin beracun ini, maka tim yang diperdaya dan dieksploitasi akan merasakan pukulan emosional yang besar dan dengan segera membuat mereka menjadi demotivasi.

Banyak sekali karyawan yang “curhat” di tengah sesi training saya bagaimana mereka begitu ingin segera resign atau pindah ke perusahaan lain lantaran merasa diperdaya oleh atasannya. Berbagai variasi kasus mulai hasil kerja kerasnya diakui oleh atasannya sebagai usaha dia, atau diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya tanggung jawab atasannya, atau dijanjikan sesuatu yang sebenarnya takkan pernah diberikan dan janji itu hanya dipakai sebagai iming-iming saja.

Semua perilaku “memperdaya” ini menjadi sebuah pukulan emosional bagi mereka dan membuat mereka kehilangan motivasi mereka untuk bekerja. Perasaan “tidak rela” untuk bekerja bagi atasan yang jelas-jelas tidak memikirkan kepentingan orang lain, membuat mereka tidak bisa lagi memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

 

Menjadi pemimpin bukan cuma masalah melakukan pekerjaan teknis dengan excellent. Ada manajemen emosional yang harus dilakukan kepada tim yang dipimpin. Itu sebabnya, mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menghindarkan kita menjadi Emotional Toxic Leader.

Selamat memimpin!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


3 Tanda Manajer Cerdas Emosi

Media online Norwich University mempublikasikan hasil pengumpulan data mereka, dan menyatakan bahwa para manajer hebat yang menjadi top performer di perusahaan mereka, ternyata 90% dari mereka memiliki kualitas kompetensi Kecerdasan Emosi (EQ) yang lebih tinggi dibandingkan para manajer pada umumnya.

Bahkan, perusahaan Pepsi yang melakukan survey internal dalam perusahaan mereka sendiri, menyatakan bahwa para manajer dan pemimpin yang secara konsisten terus mengembangkan Kecerdasan Emosi (EQ) mereka, menolong perusahaan untuk meningkatkan omzet tahunan hingga 15-20%.

Dan yang jauh lebih menarik lagi, hasil penelitian dari Gallup menunjukkan bahwa para manajer yang Kecerdasan Emosi (EQ)nya ‘payah’, mengakibatkan karyawan resign 4 kali lebih banyak dibandingkan jika perusahaan itu memiliki pemimpin-pemimpin yang lebih cerdas emosinya.

Kalau mau dituliskan lagi, masih begitu banyak hasil penelitian yang menguatkan kenyataan bahwa Kecerdasan Emosi berperan jauh lebih penting daripada IQ dan kecerdasan intelektual di dalam leadership.

Pertanyaannya, seperti apakah yang disebut dengan pemimpin cerdas emosi itu? Apa tandanya seorang pemimpin memiliki EQ yang baik?

Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas beberapa indikator EQ yang bagus pada seorang pemimpin. Tidak akan cukup untuk dibahas seluruhnya, itu sebabnya saya hanya akan mengulas dengan singkat 3 indikator dasar saja.

 

SELF AWARENESS

Salah satu ciri seseorang yang memiliki Kecerdasan Emosi yang baik adalah dia memahami dirinya sendiri dengan sangat baik. Dia bisa mengerti bagaimana pola moodnya, apa yang menjadi dorongan motivasional untuk dirinya, dan apa kekuatan, kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan menyadari kualitas dirinya sendiri, dia dapat mengatur dirinya sendiri agar bisa berkarya sesuai dengan ‘spec’ yang ia miliki.

Para manajer yang cerdas emosi, tahu bagaimana dia menempatkan dirinya agar dia bisa berfungsi maksimal. Dia tahu hal-hal apa yang harus dia hindari agar tidak merusak moodnya. Dia tahu keadaan-keadaan apa yang bisa merusak performanya dan dia mengerti bagaimana untuk menyiasatinya.

Sungguh tidak banyak orang yang benar-benar mengerti mengenai dirinya sendiri. Bahkan, dalam kelas-kelas pelatihan yang saya adakan, lebih dari 80% orang tidak menyadari pola-pola perilakunya sendiri dan tidak mengerti apa yang mengganggu dan merusak produktifitasnya.

 

BATTLE MANAGEMENT

Seorang pemimpin yang baik, tahu ‘pertempuran’ mana yang perlu ia menangkan dan mana yang perlu ia lepaskan. Seringkali, kita harus membiarkan beberapa ‘pertempuran’ terlihat kalah, dalam rangka untuk memenangkan keseluruhan ‘peperangan’.

Misalnya, kadang-kadang kita perlu untuk terlihat ‘mengalah’ kepada bawahan kita demi untuk memenangkan hatinya sehingga ke depannya justru kita bisa menggerakkan dia untuk tujuan yang lebih besar. Para pemimpin ber’EQ tinggi tahu betul kapan harus berjuang dan ngotot, dan kapan harus melepas dan merelakan terlihat kalah.

Masih banyak para manajer yang tidak mau ‘win-win’ dan selalu maunya menang sendiri. Bahkan dalam hal-hal kecil yang sepele, banyak pemimpin tidak mau mengalah dan merasa harus didahulukan, dimenangkan, dan diutamakan terus-menerus.

Battle management adalah sebuah kompetensi yang membutuhkan ketenangan dan kematangan emosional yang tinggi karena biasanya, dalam sebuah perdebatan, perebutan, atau ‘pertempuran’, dorongan emosi kita begitu meluap-luap sulit dikendalikan. Namun para pemimpin cerdas emosi tahu betul bagaimana menjaga emosinya dan melihat keadaan dengan jernih.

 

EMOTIONAL MAKE UP

Emotional Make Up adalah sebuah kemampuan untuk mengolah emosi atau mood, supaya bisa dipakai untuk menampilkan sesuatu yang lebih produktif. Baik emosi yang terjadi dalam diri kita sendiri, maupun terutama emosi orang lain.

Sebagai contoh, jika ada seorang bawahan yang merasa tidak puas dengan rekan kerjanya karena merasa rekan kerjanya mendapat perlakukan yang lebih ‘dianak emaskan’ daripada dirinya. Seorang pemimpin ber’EQ tinggi akan mampu “mengolah” rasa tidak puas itu menjadi sebuah dorongan motivasional agar orang itu meningkatkan kinerjanya dengan lebih banyak lagi.

Inilah Emotional Make Up.

Tentunya untuk melakukan ini, sang manajer harus pandai membaca ‘tombol-tombol’ penggerak emosi bawahannya. Manajer itu harus empatik, peka dengan kecenderungan-kecenderungan bawahannya, dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa yang tepat untuk melakukan ‘make up’ emosi kepada bawahannya yang sedang tidak puas tersebut.

Jika kita mengamati, biasanya para pemimpin-pemimpin hebat, memiliki 3 kemampuan EQ dasar ini dan mampu mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang tepat.

Jika Anda mau menjadi seorang pemimpin hebat dengan Kecerdasan Emosi yang tinggi, mulailah melatih diri di 3 area tersebut.

Selamat memimpin dengan cerdas emosi!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Life Management Skill

Apa keahlian paling penting untuk memperoleh hidup yang sukses dan bahagia?

Berbagai seminar motivasi mengajarkan puluhan “syarat sukses” sampai kita bingung yang manakah yang benar. Yang lebih membingungkan lagi, apa yang diajarkan di sekolah dan pendidikan formal kita, sekitar 80%nya tidak lagi terpakai saat kita sudah dewasa dan menjalani hidup “sesungguh”nya.

Inilah yang membuat banyak orang terkejut oleh realita hidup. Karena justru hal-hal esensi yang dibutuhkan untuk kehidupan, malah tidak diajarkan dalam masa persiapan kita.

Semua keahlian esensi ini yang saya sebut sebagai “Life Management Skill”. Yaitu sebuah keahlian untuk mengelola hidup. Apa saja yang termasuk dalam “Life Management Skill” ini?

 

Consequential Thinking

Hidup ini berbicara soal pilihan. Banyak sekali orang yang belum menyadari bahwa hampir setiap detik mereka selalu membuat pilihan. Pola asuh dan kebudayaan lokal yang berbeda-beda di tiap tempat, menghasilkan sikap yang berbeda-beda pula dalam menyikapi pilihan.

Ada orang-orang yang mampu menyadari bahwa dialah sang penentu pilihan untuk hidupnya dan siap bertanggung jawab atas konsekuensi hasil pilihannya. Tetapi, cukup banyak orang (terutama di sekitar kita di Indonesia), yang merasa bahwa hidupnya dipilihkan oleh orang lain dan lantas merasa menjadi korban ketika pilihan itu menghasilkan konsekuensi yang buruk.

Dasar dari Life Management Skill adalah kesadaran bahwa kita bertanggung jawab untuk memilih dan bertanggung jawab untuk hasil konsekuensi dari pilihan kita. Ketika kita menyadari bahwa akibat-akibat dari pilihan kita bukan untuk disesali dan dijadikan bahan “baper”, tetapi justru menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi, diatasi, dan dikelola, maka disinilah kita memasuki sebuah level life management yang sesungguhnya.

JIka Anda ingin memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan produktif, mulailah melihat bahwa konsekuensi (baik ataupun buruk), hanyalah hasil/akibat dari pilihan-pilihan Anda. Pilihan Anda bisa salah, dan konsekuensinya bisa buruk, tetapi jika Anda mengelolanya dengan benar dan baik, hasilnya untuk hidup Anda, bisa saja menjadi baik dan produktif.

Seperti ungkapan bijak yang berkata, “Hidup itu 10% apa yang terjadi (apa yang Anda pilih), dan 90%nya adalah respon Anda terhadap apa yang terjadi itu (bagaimana Anda mengelola konsekuensi)”

Priority Management

Jangan berusaha mengelola waktu, karena Anda akan frustasi.

Sesungguhnya, waktu tidak bisa dikelola karena waktu adalah kedaulatan absolut Tuhan. Waktu tetap berjalan begitu saja, dengan atau tanpa Anda. Anda tak bisa menunda, tak bisa menghentikan, ataupun mempercepat. Anda hanya bisa mengikuti berjalan bersama waktu. Lalu, bagaimana Anda bisa mengatur-atur waktu?

Yang bisa Anda kelola adalah PRIORITAS hidup Anda.

Banyak orang gagal “mengelola waktu” karena ia gagal mengetahui apa yang menjadi prioritas hidupnya. Banyak orang menghabiskan waktu untuk tidur dan main game. Banyak orang tidak punya waktu untuk olahraga. Banyak orang kesulitan cari waktu untuk keluarganya. Itu semua terjadi karena mereka menetapkan prioritas hidup yang salah, atau mungkin bahwa tidak tahu apa yang menjadi prioritas hidupnya.

Maka Life Management dasar yang berikutnya adalah mengelola prioritas hidup kita. Waktu yang kita alokasikan, selalu mengikuti apa yang kita prioritaskan.

Seorang peserta kelas pelatihan menulis yang saya adakan berkata, “Saya kesulitan cari waktu untuk menulis nih pak…” Lalu saya menjawab, “Kita itu TIDAK PERNAH tidak punya waktu. Kita selalu punya waktu untuk sesuatu yang kita anggap penting (prioritas)”.

Masalahnya, apakah yang Anda anggap penting itu benar-benar penting?

Susun ulang prioritas hidup Anda. Caranya? Mulailah mendata dan membuat daftar, kemana Anda habiskan waktu-waktu Anda? Susunlah berdasarkan konsumsi waktu paling banyak, maka Anda akan mengetahui itulah prioritas-prioritas hidup Anda. Dari daftar itu, evaluasilah, apakah itu sungguh-sungguh yang terpenting, ataukah ada yang lebih penting yang Anda abaikan?

 

Relationship Management

Life Management Skill dasar yang ketiga adalah mengelola hubungan dengan orang lain. Kualitas hidup kita sangat ditentukan dari kualitas hubungan kita dengan orang lain. Baik dengan siapa-siapa kita berhubungan, maupun bagaimana kualitas hubungan itu dengan mereka.

Tuliskan 5-7 orang yang paling dekat dengan Anda dan lihatlah bagaimana kualitas orang-orang itu. Maka itulah gambaran kualitas hidup Anda. Jika nama-nama itu adalah nama-nama orang yang berkualitas tetapi hidup Anda masih “merosot”, maka cobalah teliti seperti apakah cara Anda merawat hubungan Anda dengan mereka.

Relationship management bukan melulu soal berteman dengan sebanyak mungkin orang, justru ini berbicara mengenai bagaimana Anda memilih siapa-siapa yang ada dalam lingkaran “support system” Anda, dan bagaimana langkah-langkah Anda dalam membangun lingkaran itu dan merawatnya.

Para orang hebat, tahu bagaimana melakukan ini dengan efektif. Itu sebabnya, banyak diantara mereka bukanlah orang yang “terhebat”, tetapi mereka dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menolong mereka untuk menjadi yang “terhebat”.

 

Sayang sekali, Life Management Skill ini nyaris tak pernah diajarkan di dalam pendidikan-pendidikan formal kita. Padahal justru inilah kemampuan yang kita butuhkan. Belum terlambat untuk Anda mulai melatih Life Management Skill Anda dimulai dari sekarang.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


EQ Coaching Indonesian Idol 2014

Tanggal 5 April 2014, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, kembali dipercaya untuk memberikan EQ Coaching kepada finalis Indonesian Idol, kali ini Master Trainer EQ Indonesia memberikan tips melakukan “mood management” kepada Husein, Gio, Virzha, dan Ubay (minus Yuka dan Nowella yang sedang sakit), yang masih bertahan dalam babak 6 besar Indonesian Idol 2014.

Dalam sesi EQ Coaching ini, Josua Iwan Wahyudi memberikan 3 tips praktis yang bisa dipraktekkan dengan sangat singkat untuk meningkatkan mood dan perasaan kita terutama dalam menghadapi kompetisi yang ketat, menghadapi situasi sulit yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan dalam menghadapi perjuangan meraih target.

Dengan memberikan banyak contoh nyata baik di industri musik maupun industri diluar musik, Master Trainer EQ  Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, mencoba menunjukkan betapa pentingnya memiliki mood yang stabil dan memiliki kemampuan emotional management yang bisa memunculkan best performance dalam kondisi apapun. Dalam sesi ini, setiap finalis semakin menyadari betapa pentingnya memiliki mood management yang baik agar selalu bisa memberikan penampilan terbaik.


“Rahasia Keunggulan” bersama Ciputra Group

Pada bulan Februari dan Maret 2014, Ciputra Group kembali mengundang Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, untuk memberikan seminar “Rahasia Keunggulan” untuk brokers gathering yang diselenggarakan di 2 tempat, yaitu di Banjarmasin dan Samarinda. Perkembangan bisnis properti yang dirasakan oleh Ciputra Group di luar pulau Jawa, membuat mereka tetap ingin mempertahankan keunggulan mereka menjadi pemain utama di berbagai wilayah di Indonesia.

Itu sebabnya, di 2 lokasi yang berbeda ini, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi memberikan 4 tips praktis bagaimana menjadi pribadi yang unggul dalam situasi dan keadaan apapun. Seminar ini bukan sekedar seminar motivasi karena Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, bukan hanya memberikan suntikan semangat saja, tetapi juga memperlengkapi setiap peserta dengan berbagai trik untuk memiliki kemampuan membaca orang dengan cepat, menyesuaikan gaya komunikasi yang tepat dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri di atas rata-rata, dan juga tips menghadapi keadaan-keadaan sulit yang terjadi.

Di hadapan sekitar 100-150 orang di tiap kota, Master Trainer EQ Indonesia, Josua Iwan Wahyudi, membawakan seminar ini dengan fun, memberikan simulasi langsung untuk membuat peserta memahami materi dengan lebih baik, serta memberikan contoh-contoh nyata yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


Emosi Tidak Hanya Ada Pada Manusia?

Baru-baru ini dunia mulai dihebohkan dengan berita mengenai pengembangan sebuah teknologi mutakhir di Eropa. Teknologi ini bertujuan membuat sebuah robot yang bisa memiliki emosi. Robot ini dikenal dengan istilah robot humanoid, yaitu robot yang bisa membangun ikatan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya. Uniknya, robot ini juga bisa mendeteksi emosi manusia melalui aktivitas non verbal seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah, bahkan mahir membaca perasaan orang lain meskipun komunikasi tersebut cukup panjang. Hal ini dikarenakan ‘otak’nya di desain dengan jaringan syaraf pikiran manusia sehingga mampu mengingat segala interaksi dengan banyak orang yang berbeda. Robot ini juga bisa mengalami stres atau pun marah jika ia merasa tidak nyaman dengan manusia yang berinteraksi dengannya.

Selain teknologi robot, ada juga penelitian emoticon terbaru untuk aplikasi chatting yang sedang dikembangkan di Jepang. Jika selama ini Anda mengekspresikan emosi Anda melalui simbol-simbol emoticon yang tersedia di aplikasi yang Anda gunakan, maka kini sedang dikembangkan bentuk emoticon yang berasal dari wajah Anda sendiri. Artinya, orang yang sedang berinteraksi dengan Anda akan lebih mudah membayangkan ekspresi wajah Anda, sehingga ber”texting” menjadi semakin terasa “live”.

Dapatkah Anda bayangkan betapa majunya teknologi saat ini? Emosi yang merupakan bagian kompleks dan unik dalam diri manusia berusaha “ditaruh” di sebuah benda mati dan aplikasi. Mungkin tokoh khayalan semacam Astro Boy dan Doraemon yang selama ini hanya ada di dalam kartun anak-anak sekarang, bisa-bisa segera menjadi nyata.

Kehidupan di jaman sekarang khususnya di kota-kota besar dan negara-negara maju sudah membuat manusia memiliki tingkat individualis lebih tinggi dibanding dahulu. Perubahan kehidupan yang terjadi juga mempengaruhi cara manusia berinterkasi. Interaksi manusia banyak diperbantukan (atau malah digantikan?) dengan alat dan aplikasi komunikasi. Dimana kita juga bisa mengekspresikan perasaan kita dengan emoticon yang tersedia oleh aplikasi tersebut. Tidak hanya bisa membuat orang yang jauh menjadi dekat namun juga bisa membuat orang yang dekat menjadi jauh. Bahkan tidak sedikit konflik terjadi karena kesalahan pahaman.

Saya juga sempat menyaksikan berita bagaimana kehidupan beberapa orang yang tinggal bersama dengan manekin, boneka atau pun robot untuk menemani mereka yang tinggal sendiri. Sungguh unik bagaimana posisi yang pada dasarnya diisi oleh sesama manusia tapi dipilih dan digantikan dengan benda mati.

Namun, pertanyaannya, benarkah interaksi emosional manusia bisa di”program”kan dan bahkan bisa digantikan oleh teknologi digital? Memang sulit untuk menjawab ini karena kita tak pernah tahu masa depan. 100 tahun yang lalu kita tak pernah berpikir bahwa seluruh dunia bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat, namun begitu internet muncul, jarak dan waktu seolah bukan masalah lagi.

Sejauh ini, berdasarkan pengalaman nyata dan kasus yang terjadi di lapangan, maupun hasil survey di berbagai negara dan oleh berbagai ahli, teknologi hanya bisa mempermudah dan mempercepat interaksi namun tak pernah bisa menggantikan koneksi emosional yang ada. Bahkan berbagai seminar yang menggunakan “live streaming” tetap tak bisa memiliki efek koneksi emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan seminar yang “live” dimana sang pembicara benar-benar hadir dan berhadapan langsung di lokasi.

Begitu pula, semua emoticon dan bentuk pengganti ekspresi emosi yang ada hingga hari ini, bahkan tidak mampu mewakili separuh dari perasaan dan apa yang sedang terjadi dalam hati kita. Maka, pesan dari artikel ini adalah, jangan sampai kita mencoba menggantikan hubungan dan interaksi emosional dengan teknologi.

Bagaimanapun perjumpaan langsung tetap belum bisa terwakili oleh teknologi secanggih apapun.