Memahami Karyawan Gen-Y

Sudah 5 tahun terakhir ini, dunia kerja dan bisnis mengalami pergeseran yang cukup drastis. Salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan kultur yang didorong percepatan perkembangan teknologi yang menggila, sehingga menghasilkan generasi yang berbeda sama sekali dengan generasi sebelumnya.

Para karyawan di kantor mulai diisi oleh mayoritas dari angkatan Gen-Y yang tampak seperti “makhluk” berbeda. Pendekatan-pendekatan yang selama ini dilakukan seolah menjadi tidak relevan lagi bagi mereka.

Itu sebabnya, manajemen dan kepemimpinan perlu untuk berubah. Perusahaan yang mampu memberdayakan dan memobilisasi karyawan Gen-Y, akan menerima keuntungan produktifitas yang besar. Sementara mereka yang gagal menyikapi Gen-Y, akan kehilangan daya saingnya secara perlahan.

Namun, keragaman dan luasnya jarak sosial di Indonesia, memunculkan problem tersendiri. Para karyawan Gen-Y di Indonesia, sedikit berbeda jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia yang memiliki corak budaya, jarak persebaran geografis yang luas, serta rentang ekonomi sosial yang jauh, menyebabkan pembentukan Gen-Y yang juga bervariasi.

Meski ciri-ciri umum Gen-Y terdapat pada semua golongan, namun secara spesifik, di Indonesia, para karyawan Gen-Y bisa terbagi menjadi 3 golongan besar seperti yang tertera pada grafis informasi berikut ini:



Memahami klasifikasi ini, akan menolong kita untuk menganalisa dan memperhitungkan bagaimana kita akan membangun tim untuk perusahaan atau tim kita. Karena masing-masing klasifikasi memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.

Dengan mengenali klasifikasi ini juga akan menolong kita untuk lebih memahami tim kita dan menemukan strategi yang tepat untuk memimpin mereka.

Tentu saja klasifikasi ini adalah sebuah generalisasi golongan, sehingga pasti ada ‘anomali’ yang terjadi di masing-masing golongan. Namun, setidaknya, klasifikasi yang dibuat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan selama 5 tahun terakhir ini, akan bisa memberikan kita panduan dan gambaran umum dalam menyikapi para karyawan Gen-Y di sekitar kita.

Selamat memimpin para Gen-Y!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


5 Tanda Karyawan Medioker

Konon, dari seluruh pekerja, biasanya kurang dari 10% jumlah karyawan yang tergolong dalam top peformer (karyawan berprestasi tinggi dan menduduki posisi-posisi terbaik). Sisanya? Merekalah yang disebut dengan karyawan medioker, alias karyawan “biasa-biasa saja”. Tentu saja masih ada diantara mereka yang tergolong masuk dalam kelompok karyawan under perform, alias karyawan yang termasuk siap untuk masuk daftar pecat.

Karena jumlah karyawan medioker sangatlah mendominasi dan menjadi mayoritas, maka saya ingin membahas apa saja ciri-ciri karyawan medioker ini, dan sekaligus memeriksa apakah kita memiliki “kelakuan-kelakuan” ini?

Ciri-ciri karyawan medioker ini saya rangkum dalam bentuk instagramable image post. Jadi, akan memudahkan untuk Anda juga berbagi melalui akun media sosial Anda, terutama Facebook dan Instagram.

Untuk memperoleh postingan semacam ini, saya merekomendasikan untuk Anda follow akun instagram @josuaiwanwahyudi.

Selamat menikmati:


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Career Killer

 

“Cara Cepat Untuk Naik Jabatan! (dan Gaji!)”

Begitulah kurang lebih judul seminarnya. Tapi sayang, ketika dihadiri dan disimak, ternyata pemaparan yang diberikan tidaklah sebanding dengan kehebohan judulnya, karena kata “cepat” itu sendiri memanglah relatif. Cepat bagi si pembicara belum tentu cepat menurut saya.

Tetapi pertanyaannya, sungguhkah ada cara yang (setidaknya) bisa mempercepat laju karir “kantoran” kita?

Jika Anda benar-benar mengamati, sebenarnya memang ada beberapa orang (lebih tepatnya, sedikit orang) yang mengalami kenaikan jabatan lebih cepat dibandingkan orang-orang pada umumnya. Salah satu strategi mereka adalah, berpindah-pindah perusahaan. Jika perlu, berpindah fungsi jabatan, yang penting gaji dan level jabatannya naik.

Saya tidak akan membahas soal pindah memindah ini. Saya akan menulis artikel lain soal ini.

Dalam tulisan kali ini, saya lebih ingin membahas, apa yang membuat seseorang mengalami “stuck” dalam karirnya. Sudah bekerja begitu lama, tetapi level pertumbuhannya hanyalah rata-rata (baik secara tingkat jabatan maupun gaji), atau bahkan malah minim.

Hampir seluruh karyawan “kantoran” yang saya jumpai, memiliki mentalitas dan cara pandang yang mirip-mirip dalam bekerja. Inilah yang membuat mereka kemudian masuk dalam golongan “average” itu. Inilah yang saya sebut dengan keadaan “Career Killer”, yaitu sikap, tindakan, dan cara pandang yang tanpa mereka sadari sudah membunuh perkembangan karir mereka sendiri.

Dalam tulisan ini, tidak semua bisa saya bahas karena akan menjadikan artikel ini terlalu panjang. Saya akan mencoba membahas 2 hal yang paling mendasar dan paling “killer” lebih dulu:

 

Auto Pilot Attitude

“Bertambahnya usia membuat Anda menjadi makin tua, tapi tidak menjamin Anda menjadi makin dewasa”

Pernah mendengar quotes bijaksana ini?

Di dalam hidup ini, ada hal-hal yang secara pasti akan meningkat dengan bertambahnya durasi/waktu. Salah satunya usia. Tetapi, kalau kita berbicara kapasitas, keahlian, dan kompetensi, aturan ini tidaklah berlaku (atau setidaknya tidak berlaku kepada sangat banyak hal).

Banyak karyawan yang berpikir, kalau mereka bekerja dalam kurun waktu yang lama, maka otomatis mereka cepat atau lambat akan naik jabatan dan naik gaji. Makin lama waktu yang didekikasikan, harusnya makin banyak pertambahannya. Itu sebabnya, kemudian banyak orang bekerja secara “auto pilot”, alias cuma melakukan rutinitas seadanya dan menjalankan “program” sehari-hari mereka sambil berharap karir mereka akan terus meningkat seiring waktu.

Masalahnya, hampir seluruh tempat kerja kita, bukanlah non-profit organization. Sebagus-bagusnya visi dan value sebuah perusahaan, tetaplah mereka profit-based organization. Artinya, mereka membutuhkan orang-orang yang bisa “make money” untuk perusahaan mereka. Maka, disinilah dituntut kompetensi, keahlian, dan performa kinerja yang setinggi-tingginya.

“Wah… Berarti kita ini cuma sapi perah ya…” Jika itu kalimat yang muncul di kepala Anda, saya exact akan membahas soal ini di poin kedua nanti.

Lanjut lagi. Kompetensi dan kinerja, tidak nongol begitu saja. Semuanya harus DIUSAHAKAN. Perlu pembelajaran, latihan, disiplin, dan niat untuk mewujudkannya. Anda tidak bisa memperoleh semua itu hanya dengan sekedar “auto pilot” setiap hari.

Sayangnya, ada begitu banyak karyawan yang masih tidak menyadari ini. Tapi bagi sebagian kecil yang memahami prinsip ini, mereka melatih diri dan mengembangkan diri sehingga memiliki keunggulan dibanding orang lain. Dan ketika perusahaan melihat orang-orang yang “stand out” ini, tidak heran kemudian mereka mengangkat orang-orang ini menjadi pemimpin dan menaikkan gaji mereka, karena mereka menyumbang kontribusi lebih banyak dari orang lain pada umumnya.

Kuncinya disini adalah, niat dan keinginan untuk mengembangkan diri menjadi lebih kompeten dari orang lain. Jika memang Anda serius ingin karir Anda lebih baik, tinggalkan budaya “auto pilot” Anda.

 

Self Slavery Attitude

Sikap “pembunuh karir” berikutnya adalah sikap atau mentalitas budak.

Bagaimana perusahaan memandang Anda tidaklah lebih penting daripada bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri.

Banyak karyawan menganggap diri mereka sebagai “sapi perah”, “orang bawah”, “pion catur”, “budak jajahan”. JIka Anda memandang diri Anda sendiri seperti itu, maka tidak heran kelakuan Anda menjadi seperti itu.

Tidak peduli apa pandangan orang lain (dan perusahaan atau bos Anda) kepada Anda, Anda harus tetap bisa melihat diri Anda adalah orang yang berharga, dengan begitu sikap dan tindakan Anda akan menjadi berbeda. Tindakan yang berbeda itulah yang mengantarkan karir Anda meningkat (kalau bukan di perusahaan yang sekarang ini, pasti ada perusahaan lain yang bisa melihat potensi Anda).

Ketika kita memposisikan diri menjadi korban, sebenarnya kita sedang memperbudak diri-sendiri. Dan setiap karyawan yang bermental budak, akan menerima perlakukan “perbudakan” dari perusahaan dan atasan mereka. Bukan salah perusahaannya atau bos Anda, tetapi karena Anda sendiri yang memposisikan diri sebagai budak jajahan.

Salah satu ciri paling utama yang menunjukkan bahwa kita bermental budak jajahan adalah: baru bertindak kalau disuruh. Tidak ada seorang budak yang memiliki INISIATIF. Inisiatif hanya dimiliki oleh para innovator, orang yang hidupnya terus berkembang.

Sementara, di berbagai tempat kerja, dengan mudah kita menjumpai orang-orang yang hanya bekerja kalau ada atasannya. Baru bekerja kalau diperintah dan disuruh. Baru mau bergerak kalau dimarahi dan diancam-ancam. Baru serius kalau dipotong gajinya. Artinya, dari perilaku mereka ini, mereka sendiri yang meminta untuk “dijajah”.

Sekali lagi, jika Anda serius ingin mengalami peningkatan karir, berhentilah memposisikan diri sebagai sapi perah. Mulailah berinisiatif untuk berkarya tanpa diminta dan disuruh. Tunjukkan kualitas Anda yang sesungguhnya. Bagaimanapun, orang yang berkualitas akan segera bertemu dengan orang-orang yang akan bisa menghargai kualitas itu.

Tetapi jika Anda terus-menerus memposisikan diri sebagai “budak jajahan”, maka sampai selamanya, orang-orang akan terus memperlakukan Anda sebagai “budak jajahan”.

Selamat berkarir!


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.