Ternyata, Marah Itu Boleh?


Sejak kecil, kita diajarkan untuk tidak boleh marah dan memandang kemarahan sebagai sesuatu yang buruk. Itu sebabnya banyak orang merasa bahwa marah adalah sebuah momok yang harus dihindari, dihilangkan, dan dibuang dari hidup kita.

Masalahnya, sejak kecil sampai dewasa, kita amat sangat jarang diajari mengenai bagaimana harus mengelola kemarahan di dalam diri kita. Program pendidikan formal yang kita ikuti mengajarkan berbagai pengetahuan canggih namun sangat minim mengajarkan kita soal anger management.

Maka, banyak persepsi negatif yang muncul soal marah. Padahal, dalam Kecerdasan Emosional (EQ), semua emosi/perasaan itu sebenarnya netral dan tergantung kepada bagaimana kita mampu mengelolanya, termasuk marah.

Banyak sekali kesalahpahaman soal Kecerdasan Emosi (EQ) ini. Hampir sebagian besar orang yang saya temui, berpikir bahwa kalau seseorang itu memiliki Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, maka dia tidak akan pernah marah. Cara berpikir ini masih terkait dengan paradigma kita yang terbentuk sejak kecil bahwa marah itu selalu diasosiasikan dengan hal yang buruk dan negatif.

Itu sebabnya juga, cukup banyak peserta pelatihan saya yang “komplain” kenapa perusahaannya mengirim dirinya untuk mengikuti workshop Kecerdasan Emosi (EQ). Mereka umumnya berkata, “Saya nggak pernah marah-marah lho pak… Saya juga nggak ada gangguan emosi lho…”

Sekali lagi, pemikiran ini muncul akibat persepsi negatif kita soal marah.

 

> PENTING DIBACA: “Media Sosial Bisa Menumpulkan Kecerdasan Emosi”<<

 

JATI DIRI ‘MARAH’ YANG SESUNGGUHNYA

Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy. ~Aristoteles

Kalimat Aristoteles ini menyingkapkan kepada kita, bahwa marah memiliki sisi lain yang tidak selalu buruk. Bahkan jika dikelola dengan benar, marah bisa menjadi sebuah kekuatan produktif yang luar biasa.

Banyak sekali karya-karya besar dihasilkan oleh dorongan rasa marah yang produktif. Sebagai contoh cepat saja, Richard Branson membuat Virgin Air karena dia mengalami pelayanan yang buruk dari sebuah maskapai penerbangan yang membuat dia kehilangan waktu dan peluang bisnisnya.  “Kemarahan”nya, mendorongnya untuk membuat maskapai penerbangan sendiri dan malah kemudian menjadi salah satu bisnis andalannya.

Banyak karya-karya dan keputusan-keputusan besar saya yang luar biasa, juga didorong oleh rasa marah terhadap sebuah keadaan atau situasi.

Artinya, marah tidaklah selalu buruk. Marah bisa menjadi produktif kalau kita tahu cara mengelolanya. Disinilah istilah Kecerdasan Emosional (EQ) menjadi lebih jelas, yaitu sebuah kecerdasan/keahlian dalam mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri kita maupun orang lain, agar menghasilkan sesuatu yang produktif.

Dengan begitu, secara garis besar, maka kemarahan bisa dipisahkan menjadi 2 jenis, yaitu kemarahan yang destruktif dan kemarahan yang produktfi (marah dengan EQ).

Bedanya ada dimana?

Marah yang destruktif adalah marah yang di luar kendali kita. Umumnya, ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan atau reaksi OTOMATIS dari diri kita. Ini adalah kemarahan yang muncul sebagai luapan pelampiasan energi yang tak tertahankan dari dalam diri kita. Biasanya ini terjadi karena terlalu lama memendam kekesalan dan tidak tahu bagaimana mengelolanya.

Tentu saja marah yang destruktif bukanlah hal yang baik. Umumnya, jenis marah inilah yang sering kita jumpai sehingga menimbulkan kesan negatif yang kuat dan membuat kita berpikir bahwa marah selalu jelek.

Tetapi, marah yang produktif, adalah jenis marah seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles, yaitu marah dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

Marah yang produktif adalah marah yang terukur, bahkan terencana. Kita menyadari adanya rasa marah itu dan memang dengan sengaja “menggunakan” energi marah itu untuk menyampaikan sebuah pesan yang penting.

Ciri-ciri marah produktif adalah:

  1. Kita melakukannya dengan SADAR dan memang kita sedang memilih untuk mengungkapkan kemarahan kita.
  2. Kita tahu kepada siapa kita mengarahkan kemarahan kita, jadi bukan sekedar “hajar semua”
  3. Kita tahu untuk apa kita mengungkapkan kemarahan kita, dan kita memang sudah merencanakan untuk menggunakan marah kita untuk menghasilkan keadaan tertentu (misalnya, ingin mengajari tim kita untuk lebih disiplin, atau ingin melatih anak kita agar bisa respek).
  4. Memberikan pesan solutif yang membangun. Biasanya, marah yang destruktif isinya cuma pelampiasan kekesalan dan seringkali malah menyakiti. Tapi marah produktif, isi pesannya justru ingin membangun dan mengarahkan untuk sesuatu yang lebih baik.
  5. Tahu kapan berhenti. Kalau marah destruktif, kita tak bisa mengendalikan kapan untuk berhenti karena kita “disetir” oleh luapan emosional kita. Tapi marah produktif, kendalinya ada di kita. Kitalah yang memilih kapan kita berhenti.

 

> GRATIS DOWNLOAD Premium Workbook 7 Hari Praktek Kecerdasan Emosi<<

 

TAK MUDAH TAPI BISA

Saya yakin diantara Anda yang membaca artikel ini, banyak yang berpikir “Wah, susah ya marah produktif…”. Itu sebabnya, Aristoteles berkata bahwa “kekuatan” ini tidak dimiliki oleh semua orang (meski semua orang bisa marah).

Ini adalah sebuah kemampuan yang perlu dipelajari dan dilatih. Orang-orang yang memiliki tingkat Kecerdasan Emosional (EQ) yang tinggi, biasanya mampu mengelola dan memanfaatkan rasa marah mereka untuk tujuan-tujuan yang produktif.

Tapi setidaknya, dari artikel ini, kita belajar bahwa ternyata marah tidak selalu negatif. Marah bahkan bisa menjadi salah satu kekuatan utama yang bisa dipakai untuk meningkatkan produktifitas. Itu sebabnya, melatih Kecerdasan Emosional (EQ), menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan, terutama kalau kita adalah seorang pemimpin.

Dengan Kecerdasan Emosional (EQ), maka kita bisa mengolah perasaan-perasaan kita (termasuk marah), menjadi aset yang berharga untuk kemajuan hidup kita.

Selamat “berlatih marah”!


>> HARUS TAHU: “Emotional Toxic Leader” ~ Baca Sekarang Juga!<<

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


5 Tanda Karyawan Medioker

Konon, dari seluruh pekerja, biasanya kurang dari 10% jumlah karyawan yang tergolong dalam top peformer (karyawan berprestasi tinggi dan menduduki posisi-posisi terbaik). Sisanya? Merekalah yang disebut dengan karyawan medioker, alias karyawan “biasa-biasa saja”. Tentu saja masih ada diantara mereka yang tergolong masuk dalam kelompok karyawan under perform, alias karyawan yang termasuk siap untuk masuk daftar pecat.

Karena jumlah karyawan medioker sangatlah mendominasi dan menjadi mayoritas, maka saya ingin membahas apa saja ciri-ciri karyawan medioker ini, dan sekaligus memeriksa apakah kita memiliki “kelakuan-kelakuan” ini?

Ciri-ciri karyawan medioker ini saya rangkum dalam bentuk instagramable image post. Jadi, akan memudahkan untuk Anda juga berbagi melalui akun media sosial Anda, terutama Facebook dan Instagram.

Untuk memperoleh postingan semacam ini, saya merekomendasikan untuk Anda follow akun instagram @josuaiwanwahyudi.

Selamat menikmati:


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Media Sosial Menumpulkan Kecerdasan Emosi?

Sejak media sosial berkembang jauh, kini media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Bagi generasi muda, media sosial nyaris tak bisa dihilangkan.

Hasil riset Hootsuite yang dipublikasikan pada Januari 2018, menyatakan bahwa secara rata-rata, dalam satu hari, penduduk di Indonesia bisa menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam untuk media sosial!

Jika dikurangi dengan waktu tidur 8 jam per hari, maka umumnya orang Indonesia “menaruh” 1/5 waktu hidupnya di media sosial setiap hari. Sebuah fenomena yang tidak bisa dianggap angin lalu.

Lalu, pertanyaan berikutnya. Apakah pola hidup digital seperti ini membawa pengaruh yang lebih positif atau jangan-jangan malah lebih banyak pengaruh negatifnya? Sebagai orang yang lama menggeluti Kecerdasan Emosi (EQ), saya ingin membahas fenomena ini dari sisi pengaruh media social terhadap perkembangan Kecerdasan Emosi (EQ) seseorang.

 

DISCONNECTED

Selama ini, kita selalu mengira bahwa media sosial berhasil menghubungkan kita dengan orang-orang yang tadinya mustahil untuk terhubung. Bahkan, berkat media sosial, kita bisa berdialog dengan figur publik yang tadinya tampak tak tersentuh.

Secara sekilas, media sosial berhasil meruntuhkan tembok jarak dan waktu dan berhasil membangun hubungan antar manusia dengan lebih luas dan fleksibel.

Tapi, apakah kita benar-benar terhubung?

Seorang psikolog sosial bernama Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together menuliskan hasil pengamatannya, bahwa akibat “koneksi” yang melimpah yang digelontorkan oleh media sosial, tanpa sadar justru malah mengisolasi kita dari lingkungan sosial itu sendiri. Itu sebabnya, kita melihat fenomena dimana satu keluarga duduk di meja makan dengan seluruh anggotanya menatap layar handphone tanpa terjadi komunikasi apapun satu sama lain.

Tampaknya kita sedang berhubungan dengan orang lain, tapi realitanya, kita malah sedang terputus hubungan di dunia nyata.

Bahkan Sherry menyimpulkan, bahwa sejak manusia menjadikan media sosial sebagai bagian hidup, perasaan kesepian menjadi lebih mudah berkembang dan menguat ketimbang generasi yang hidup tanpa media sosial.

Mengapa fenomena ini terjadi? Saya yakin, karena hubungan kita di media sosial bukanlah hubungan yang nyata. Misalnya, ketika kita menulis “wkwkwkwkw”… Kita tidak sedang sungguh-sungguh tertawa, bahkan ada kemungkinan kita sedang marah.

Ketika kita tampak begitu akrab dalam obrolan di media sosial, belum tentu ketika kita bertemu dengan orangnya, kita benar-benar memiliki keakraban itu.

Artinya, ketika begitu aktif, sibuk, dan terhubung dengan berbagai orang di media sosial, sesungguhnya kita belum tentu benar-benar terhubung dengan mereka. Sementara, semua aktifitas digital itu, memutuskan hubungan kita dengan dunia nyata dan dengan orang-orang yang nyata di sekitar kita. Akibatnya, kita menjadi mudah merasa kesepian.

Dan satu hal lagi. Semua hubungan yang terjadi secara digital (terutama hanya melalui text), sangat minim melibatkan ekspresi emosional kita. Inilah yang membuat generasi muda modern menjadi sangat kaku secara ekspresi sosial, tidak peka dengan kebutuhan emosi orang lain, tidak bisa memiliki etika bersosialiasi dalam lingkungan yang nyata, dan kesulitan meresponi sikap komunikasi orang lain kepada mereka. Karena, media sosial sudah membuat mereka disconnected dengan dunia nyata.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCONTENT

Seorang peneliti sosial, Hanna Krasnova, bersama dengan beberapa rekan peneliti dari Jerman, melakukan riset pada para pengguna Facebook di tahun 2013 (media sosial paling banyak penggunanya di tahun itu).

Hasilnya, 1 dari 3 orang (sepertiga!) mengalami perasaan / mood yang lebih buruk setelah mengunjungi timeline di Facebook. Bayangkan jika ini terjadi setiap hari! Artinya, setiap hari kita terus dilatih untuk memiliki mood yang buruk hanya karena melihat-lihat timeline di media sosial.

Keadaan ini terjadi karena setiap kali melihat timeline, kita akan selalu menemukan orang-orang yang tampaknya hidupnya lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, lebih menyenangkan, lebih sukses, lebih kurus, dan lebih lebih lainnya!

Padahal, semua yang diposting orang-orang itu juga belumlah tentu kenyataannya.

Berapa banyak kita melakukan selfie dengan ekspresi dan wajah yang seru dan heboh, padahal kenyataannya saat berfoto (dan setelah berfoto) kita biasa-biasa saja. Tetapi, “image” seru itulah yang ditangkap orang-orang yang melihatnya dan mereka mulai membandingkan dengan keadaan mereka yang berbeda. Akibatnya, mereka menjadi cemburu, iri, dan merasa hidup mereka tidak sebagus hidup orang lain.

Dan jika kenyataan hidup mereka tidak memungkinkan mereka untuk “meniru” apa yang mereka lihat di timeline, saat itulah muncul perasaan depresi dan perasaan “kalah”.

Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

DISCLOSURE

Era media sosial menjadi sebuah era keterbukaan. Tiba-tiba hal-hal yang tadinya tersembunyi dan rahasia menjadi begitu mudah terungkap dengan cepatnya.

Di satu sisi, hal ini juga mendorong para pengguna media sosial untuk lebih berani mengungkapkan diri. Tahun 2018 menjadi era kejayaan Youtube di Indonesia lantaran membanjirnya para Vlogger yang mengungkapkan diri mereka lewat video tampilan mereka.

Sayangnya, di dalam dunia digital, filterisasi dan pembatasan sangatlah sulit dilakukan. Artinya, semua pengguna media sosial, berapapun usianya dan apapun latar belakangnya, akan terpapar semua konten apapun. Termasuk konten maki-makian dan cerita-cerita basi mengenai kehidupan sebagian vlogger dan spammer.

Inilah yang kemudian juga mendorong para pengguna media sosial untuk tanpa berpikir panjang memasang status, foto, maupun video mereka dalam berbagai keadaan. Termasuk ketika konflik dengan pacar, marah dengan atasan di kantor, sedang perang dingin dengan suami, bahkan termasuk ketika tidak puas di “ranjang” sekalipun!

Lalu apa akibat dari budaya disclosure yang tak terkendali ini?

Inilah yang kemudian membangkitkan digital bullying dengan kuat. Karena akun media sosial yang dengan mudah dibuat “tersamar”, para netizen (istilah untuk penghuni dunia maya) menjadi jauh lebih berani untuk menilai, menyampaikan pendapat tajam, dan bahkan memaki-maki tanpa merasa terbebani. (toh, orang juga tidak tahu siapa jati diri mereka sebenarnya).

Akibat disclosure yang berlebihan, budaya digital bullying mendapatkan “makanan” untuk berkembang.

Sekali lagi, Kecerdasan Emosi (EQ) mereka menjadi tumpul.

 

Memang, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Ada begitu banyak manfaat dari media sosial. Termasuk artikel inipun mayoritas dibaca akibat dari penyebaran lewat media sosial.

Namun, menggunakan media sosial membutuhkan Kecerdasan Emosi (EQ). Jangan sampai kita terjebak “dikonsumsi” oleh media sosial. Justru kita harus menjadi bijaksana dalam menggunakan media sosial agar Kecerdasan Emosi (EQ) kita tidak menjadi tumpul.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


Life Management Skill

Apa keahlian paling penting untuk memperoleh hidup yang sukses dan bahagia?

Berbagai seminar motivasi mengajarkan puluhan “syarat sukses” sampai kita bingung yang manakah yang benar. Yang lebih membingungkan lagi, apa yang diajarkan di sekolah dan pendidikan formal kita, sekitar 80%nya tidak lagi terpakai saat kita sudah dewasa dan menjalani hidup “sesungguh”nya.

Inilah yang membuat banyak orang terkejut oleh realita hidup. Karena justru hal-hal esensi yang dibutuhkan untuk kehidupan, malah tidak diajarkan dalam masa persiapan kita.

Semua keahlian esensi ini yang saya sebut sebagai “Life Management Skill”. Yaitu sebuah keahlian untuk mengelola hidup. Apa saja yang termasuk dalam “Life Management Skill” ini?

 

Consequential Thinking

Hidup ini berbicara soal pilihan. Banyak sekali orang yang belum menyadari bahwa hampir setiap detik mereka selalu membuat pilihan. Pola asuh dan kebudayaan lokal yang berbeda-beda di tiap tempat, menghasilkan sikap yang berbeda-beda pula dalam menyikapi pilihan.

Ada orang-orang yang mampu menyadari bahwa dialah sang penentu pilihan untuk hidupnya dan siap bertanggung jawab atas konsekuensi hasil pilihannya. Tetapi, cukup banyak orang (terutama di sekitar kita di Indonesia), yang merasa bahwa hidupnya dipilihkan oleh orang lain dan lantas merasa menjadi korban ketika pilihan itu menghasilkan konsekuensi yang buruk.

Dasar dari Life Management Skill adalah kesadaran bahwa kita bertanggung jawab untuk memilih dan bertanggung jawab untuk hasil konsekuensi dari pilihan kita. Ketika kita menyadari bahwa akibat-akibat dari pilihan kita bukan untuk disesali dan dijadikan bahan “baper”, tetapi justru menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi, diatasi, dan dikelola, maka disinilah kita memasuki sebuah level life management yang sesungguhnya.

JIka Anda ingin memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan produktif, mulailah melihat bahwa konsekuensi (baik ataupun buruk), hanyalah hasil/akibat dari pilihan-pilihan Anda. Pilihan Anda bisa salah, dan konsekuensinya bisa buruk, tetapi jika Anda mengelolanya dengan benar dan baik, hasilnya untuk hidup Anda, bisa saja menjadi baik dan produktif.

Seperti ungkapan bijak yang berkata, “Hidup itu 10% apa yang terjadi (apa yang Anda pilih), dan 90%nya adalah respon Anda terhadap apa yang terjadi itu (bagaimana Anda mengelola konsekuensi)”

Priority Management

Jangan berusaha mengelola waktu, karena Anda akan frustasi.

Sesungguhnya, waktu tidak bisa dikelola karena waktu adalah kedaulatan absolut Tuhan. Waktu tetap berjalan begitu saja, dengan atau tanpa Anda. Anda tak bisa menunda, tak bisa menghentikan, ataupun mempercepat. Anda hanya bisa mengikuti berjalan bersama waktu. Lalu, bagaimana Anda bisa mengatur-atur waktu?

Yang bisa Anda kelola adalah PRIORITAS hidup Anda.

Banyak orang gagal “mengelola waktu” karena ia gagal mengetahui apa yang menjadi prioritas hidupnya. Banyak orang menghabiskan waktu untuk tidur dan main game. Banyak orang tidak punya waktu untuk olahraga. Banyak orang kesulitan cari waktu untuk keluarganya. Itu semua terjadi karena mereka menetapkan prioritas hidup yang salah, atau mungkin bahwa tidak tahu apa yang menjadi prioritas hidupnya.

Maka Life Management dasar yang berikutnya adalah mengelola prioritas hidup kita. Waktu yang kita alokasikan, selalu mengikuti apa yang kita prioritaskan.

Seorang peserta kelas pelatihan menulis yang saya adakan berkata, “Saya kesulitan cari waktu untuk menulis nih pak…” Lalu saya menjawab, “Kita itu TIDAK PERNAH tidak punya waktu. Kita selalu punya waktu untuk sesuatu yang kita anggap penting (prioritas)”.

Masalahnya, apakah yang Anda anggap penting itu benar-benar penting?

Susun ulang prioritas hidup Anda. Caranya? Mulailah mendata dan membuat daftar, kemana Anda habiskan waktu-waktu Anda? Susunlah berdasarkan konsumsi waktu paling banyak, maka Anda akan mengetahui itulah prioritas-prioritas hidup Anda. Dari daftar itu, evaluasilah, apakah itu sungguh-sungguh yang terpenting, ataukah ada yang lebih penting yang Anda abaikan?

 

Relationship Management

Life Management Skill dasar yang ketiga adalah mengelola hubungan dengan orang lain. Kualitas hidup kita sangat ditentukan dari kualitas hubungan kita dengan orang lain. Baik dengan siapa-siapa kita berhubungan, maupun bagaimana kualitas hubungan itu dengan mereka.

Tuliskan 5-7 orang yang paling dekat dengan Anda dan lihatlah bagaimana kualitas orang-orang itu. Maka itulah gambaran kualitas hidup Anda. Jika nama-nama itu adalah nama-nama orang yang berkualitas tetapi hidup Anda masih “merosot”, maka cobalah teliti seperti apakah cara Anda merawat hubungan Anda dengan mereka.

Relationship management bukan melulu soal berteman dengan sebanyak mungkin orang, justru ini berbicara mengenai bagaimana Anda memilih siapa-siapa yang ada dalam lingkaran “support system” Anda, dan bagaimana langkah-langkah Anda dalam membangun lingkaran itu dan merawatnya.

Para orang hebat, tahu bagaimana melakukan ini dengan efektif. Itu sebabnya, banyak diantara mereka bukanlah orang yang “terhebat”, tetapi mereka dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menolong mereka untuk menjadi yang “terhebat”.

 

Sayang sekali, Life Management Skill ini nyaris tak pernah diajarkan di dalam pendidikan-pendidikan formal kita. Padahal justru inilah kemampuan yang kita butuhkan. Belum terlambat untuk Anda mulai melatih Life Management Skill Anda dimulai dari sekarang.


 

Josua Iwan Wahyudi (JIW) adalah satu dari sangat sedikit pakar Kecerdasan Emosi (EQ) di Indonesia dan merupakan Master Trainer EQ yang berpengalaman lebih dari 10 tahun memberikan pelatihan di berbagai perusahaan, organisasi, kampus, dan sekolah. Beliau merupakan International Certified EQ Trainer termuda di Indonesia dari Six Seconds International dan merupakan International Certified EQ-i Coach dari Reuben Bar-On. Selain pernah dipercaya menjadi EQ Coach untuk finalis Indonesian Idol 2012,2014, & 2018, serta menjadi EQ Coach untuk Miss Indonesia 2015, sampai kini beliau masih aktif untuk mengajar Kecerdasan Emosi (EQ) untuk berbagai level audiens dan sudah menulis 37 buku! Bahkan, buku “E-Factor” yang beliau tulis, menjadi buku EQ paling aplikatif yang pernah ada di Indonesia.


AHOK: EQ’nya Tinggi atau Jongkok?

Sejak awal terpilih menjadi wakil gubernur DKI, gaya kepemimpinan Basuki Tjahya Purnama atau khas dipanggil Ahok sudah menuai pro dan kontra. Penggunaan kata-kata yang frontal, tanpa “polesan” sedikitpun dan tidak jarang dibumbui dengan gerakan tubuh dan ekspresi wajah yang “menyala-nyala” membuat banyak masyarakat kita yang shock karena seolah sangat tidak mewakili ke”timur”an kita.

Namun, di satu sisi, banyak juga yang senang dan mendukung gaya Ahok karena sebenarnya semua yang disampaikan dan dilakukan Ahok mungkin mewakili isi hati dan bentuk perilaku yang ingin mereka ungkapkan, tapi tak punya kesempatan. Sehingga, ketika ada seorang Ahok yang tanpa “babibu” menghajar siapapun yang menurutnya tidak benar, sebagian orang merasa terpuaskan akhirnya ada yang bisa melakukan itu.

Artikel saya kali ini sama sekali tidak akan membahas apakah gaya Ahok itu benar atau salah. Terlalu banyak perdebatan tiada akhir yang sudah membahas hal itu.

Sebagai seorang pakar Kecerdasan Emosi (EQ), justru ada sisi yang lebih menarik untuk dibahas, yaitu, dengan gaya komunikasi dan kepemimpinan yang diterapkan Ahok, apakah dia bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi? Atau malah sebaliknya?

.

MISPERSEPSI EQ

Untuk bisa menyebut seseorang pintar, kita harus punya pemahaman dan indikator seperti apa pintar itu. Untuk bisa menyebut seseorang cantik, kita harus punya pemahaman dan indikator seperti apa cantik itu. Dan begitu pula dengan Kecerdasan Emosi (EQ), untuk bisa menyebut seseorang EQ’nya tinggi atau rendah, kita juga harus memahami lebih dulu apakah Kecerdasan Emosi (EQ) itu dan apa indikator-indikatornya. (Baca tulisan saya “3 tanda Kecerdasan Emosi (EQ) yang baik”).

Masih banyak orang yang memahami Kecerdasan Emosi (EQ) dengan indikator sabar, baik hati, tidak mudah marah, santun, dan kalem. Jika pemahaman kita seperti itu, maka dengan cepat kita akan menyimpulkan Ahok EQ’nya sangat buruk.

Namun, pemahaman di atas BUKANLAH pemahaman EQ yang benar.

Seperti yang selalu saya jelaskan dalam seminar, workshop, dan training EQ yang saya bawakan, Kecerdasan Emosi (EQ) berbicara mengenai kemampuan seseorang untuk MENYADARI semua perasaan yang muncul dalam dirinya (maupun orang lain) dan MENGGUNAKANNYA untuk hasil akhir yang PRODUKTIF! Inilah definisi Kecerdasan Emosi (EQ) yang paling simpel dan aplikatif menurut saya.

Contoh, jika seseorang sedang merasa marah, maka jika orang itu cerdas emosi, dia akan SADAR bahwa dia sedang marah, tahu kenapa alasan dia menjadi marah, dan tahu apa saja yang bisa terjadi jika dia marah. Artinya, orang ini AWARE dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi ketika dia marah.

Sebaliknya, jika orang itu buruk EQ’nya, ketika dia marah, mungkin bahkan dia sudah kehilangan separuh AWARENESSnya karena perasaan marahnya sudah meluap-luap dan membuatnya “tertutup” dari kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika dia marah.

Inilah yang terjadi pada kasus-kasus yang kita jumpai dalam acara-acara kriminal di televisi, dimana sebagian besar pelaku pembunuhan atau kekerasan bahkan tidak bisa mengontrol dirinya sendiri dan “khilaf” atau “hilang sesaat” akibat dorongan emosi yang terlalu kuat. Sehingga, emosinya mengalahkan kesadarannya. Pada titik ini, bahkan biasanya kita kehilangan AWARENESS kita terhadap situasi sekitar kita, apa-apa yang sedang terjadi, dan (apalagi) apa-apa yang bisa terjadi di kemudian hari.

.

MENGGUNAKAN UNTUK PRODUKTIFITAS

Selain menjaga kesadaran (awareness) terhadap diri-sendiri dan sekitarnya, orang yang Ber’EQ tinggi juga mampu mengolah, mengatur, dan MENGGUNAKAN atau MEMBERDAYAKAN perasaan yang dia alami maupun orang lain alami untuk mencapai sebuah hasil yang ia anggap PRODUKTIF. Tentu saja ukuran produktif ini berbeda-beda pada tiap orang, tapi at least, kalau seseorang masih sempat berpikir mengenai hasil yang produktif, yaitu hasil yang terbaik dari berbagai kemungkinan hasil yang ada, maka itu artinya dia masih dalam kondisi AWARE (sadar).

Maka, untuk mencapai kondisi hasil akhir yang produktif itulah orang yang ber’EQ tinggi bisa “memanfaatkan” apa yang dia rasakan, maupun dirasakan oleh orang lain.

Contoh, jika kita tahu bahwa satu-satunya cara untuk membuat seseorang keluar dari sebuah ruangan adalah dengan “memanfaatkan” rasa takut dia, maka jika kita memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi, kita akan mampu “membaca” apa titik-titik ketakutan orang itu dan melakukan hal-hal yang menakutkan untuk membuat dia bergerak keluar (mencapai kondisi akhir produktif).

.

BAGAIMANA DENGAN AHOK?

Nah, jika dirangkum dengan sederhana, 3 indikator umum orang yang memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) tinggi adalah memiliki kesadaran (awareness) terhadap diri-sendiri dan orang lain, kemudian mampu mengelola dan memanfaatkannya untuk mencapai hasil akhir yang produktif (menurut dia).

Lalu bagaimana dengan Ahok? Apakah Ahok melakukan 3 hal yang “cerdas emosi” tersebut?

Mari kita tilik satu-persatu. Apakah ketika Ahok marah-marah dan bertindak “agresif”, dia melakukannya masih dalam kondisi aware? Atau itu hasil luapan emosi yang tak terkontrol?

Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang masih dalam kondisi aware? Orang itu sadar apa konsekuensi tindakannya dan SIAP MENERIMA konsekuensinya. Jadi, EQ bukan berbicara pada “marah-marahnya”, tetapi lebih kepada “ketika dia marah, apakah dia MEMUTUSKAN dengan sadar untuk marah dan tahu apa akibatnya serta siap menanggung akibat tersebut”?

Menurut Anda, apakah Ahok melakukan semua yang dia tunjukkan selama ini dengan SADAR dan memang MEMILIH untuk bertindak demikian? Menurut Anda, apakah Ahok sudah menghitung semua konsekuensi-konsekuensinya dan siap menanggung konsekuensi itu? Menurut Anda, apakah Ahok “hilang sesaat”, khilaf, tak terkontrol, dan menyesali apa yang dia lakukan kemudian? Silahkan Anda menilainya sendiri dari kacamata pengamatan Anda dan kemudian memutuskan di bagian awareness ini apakah dia memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) yang baik atau tidak.

Lalu yang berikutnya,

Dari sisi Menggunakan emosi untuk hasil akhir yang produktif, menurut Anda, apakah Ahok dengan sadar MEMUTUSKAN untuk menjadi agresif dan “menekan” agar dia bisa mencapai hasil akhir yang menurut dia produktif? Menurut Anda, apakah tindakan represif dan frontalnya itu lahir dari sebuah “strategi” yang memang dia pilih, atau sekedar ledakan emosi sesaat yang tak bisa ia kendalikan dan muncul tanpa bisa dia kontrol?

Menurut Anda, apakah yang dia lakukan selama ini adalah “in purpose” atau hanya sekedar sebuah nature dan habit yang mengendalikan dia?

Bahkan, lebih ekstrim lagi, pemilihan kata-kata (yang bagi sebagian orang seharusnya tak pantas diucapkan oleh orang sekaliber “leader” seperti Ahok) yang dia pilih, menurut Anda, itu memang dengan SADAR dia putuskan untuk diucapkan atau sekedar lahir dari reaksi otomatisnya ketika dia sedang emosional?

Sekali lagi, dari kacamata pengamatan Anda sendiri, silahkan Anda menentukan apakah Ahok memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) yang tinggi atau malah jongkok?

.

JADI, AHOK CERDAS EMOSI ATAU TIDAK?

Sejak awal, saya memang tidak ingin menjawab pertanyaan ini melalui artikel yang saya tulis. Saya hanya ingin memaparkan definisi Kecerdasan Emosi (EQ) yang sesungguhnya dan membiarkan Anda menilai sendiri, sesungguhnya apakah Ahok memang cerdas emosi? Atau dia hanyalah seorang monster emosional? Silahkan Anda tentukan sendiri.

Untuk menambah pemahaman Anda tentang EQ, silahkan membaca ini.

.

JOSUA IWAN WAHYUDI
Master Trainer EQ Indonesia
@josuawahyudi


3 Tanda Kecerdasan Emosi (EQ)

Banyak orang sudah mendengar mengenai EQ atau Emotional Quotient atau Emotional Intelligent yang juga sering disebut dengan Kecerdasan Emosi. Banyak pula orang yang sudah tahu bahwa EQ penting untuk kehidupan dan merupakan indicator kesuksesan yang sangat signifikan.

Namun, jika ditanya, orang seperti apakah yang disebut orang yang cerdas emosi (atau EQnya baik)? Banyak orang masih bingung menjawabnya.

Kebanyakan orang berpikir EQ atau Kecerdasan Emosi berkaitan dengan menjadi sabar, tidak marah-marah, baik hati, dan bisa kalem dalam berbagai keadaan. Inilah mitos keliru mengenai Kecerdasan Emosi atau EQ.

Jika Anda benar-benar belajar mendalam tentang Kecerdasan Emosi / EQ, Anda akan mengetahui bahwa cerdas emosi terletak pada PROSES, bukan HASIL. Apa hasil akhir keputusan dan perilaku seseorang tidak bisa serta merta dipakai untuk menilik tingkat Kecerdasan Emosi / EQ seseorang. Karena, sebuah tindakan yang sama, bisa saja dihasilkan dari 2 proses yang bertolak belakang sama sekali.

Misalnya, tindakan memarahi seseorang. Bagi orang yang EQnya buruk, dia marah sebagai akibat luapan emosi yang tak bisa ia kendalikan lagi dan ia “lampiaskan” begitu saja dalam kemarahannya. Sebaliknya, orang yang cerdas emosi juga mungkin saja memarahi seseorang, namun tindakan marahnya lahir justru dari penguasaan diri dan pengambilan keputusan secara SADAR bahwa memang dia ingin marah agar mendapatkan hasil yang produktif.

Dua-duanya sama-sama marah, namun proses menghasilkan “marah”nya berbeda. Yang satu kehilangan kontrol diri, sedang yang lain, justru lahir dari awareness dan penguasaan diri yang kuat.

Maka disinilah sebenarnya esensi Kecerdasan Emosi / EQ, yaitu pada bagaimana proses lahirnya sebuah keputusan atau tindakan, apakah melewati proses pencerdasan emosional? Atau tidak sama sekali.

Nah, dalam artikel kali ini, saya akan membahas mengenai 3 tanda orang yang matang secara emosional, atau bisa dikatakan memiliki Kecerdasan Emosi (EQ) yang kuat. Tentu saja sebenarnya indikatornya bukan hanya 3 ini, tetapi jika saya tuliskan semua, artikel ini akan menjadi sangat panjang.

Mari kita mulai.

.

Semakin dewasa seseorang, maka seharusnya semakin kuat penguasaan dirinya. Dan itu ditunjukkan melalui cara berpikirnya yang holistik. Artinya, sebelum dia memutuskan atau bertindak, dia sudah menyadari apa dampak dan konsekuensi menyeluruh dari keputusan dan tindakannya.

Lihatlah anak kecil, ketika mereka ingin melakukan sesuatu, mereka SEGERA melakukannya tanpa memikirkan apa akibatnya. Ketika mereka ingin mainan api, mereka segera melakukannya tanpa menyadari bahwa api itu bukan hanya bisa berbahaya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bisa menimbulkan bencana buat lingkungan dan orang-orang sekitarnya.

Orang yang dewasa tidak bertindak hanya karena “pengen” atau sekedar karena dorongan meluap oleh perasaannya. Orang yang cerdas emosi tidak marah hanya karena sedang merasa kesal dan ingin marah. Orang yang EQnya tinggi, tidak melakukan sesuatu karena dorongan perasaan semata.

Justru anak-anaklah yang melakukan semuanya karena dorongan perasaan mereka. Karena itulah anak-anak, kemampuan penguasaan emosinya masih sangat lemah.

Maka, salah satu tanda kecerdasan emosi (EQ) adalah kemampuan seseorang untuk berpikir secara menyeluruh. Ketika kita memutuskan untuk membeli sesuatu, memutuskan untuk bertindak sesuatu, apakah itu melewati proses berpikir yang holistik? Artinya sudah mempertimbangkan dari banyak sisi (bukan hanya dari sisi keuntungan diri-sendiri semata).

.

Tanda kedua kematangan emosional adalah kemampuannya untuk memutuskan atau bertindak berdasarkan karakter, bukan berdasarkan perasaan.

Karakter adalah sesuatu yang dibangun, bukan dibawa sejak lahir. Karakter lahir dari pengulangan kebiasaan yang terus-menerus.

Contoh, pada saat kita ditawarkan “uang suap”, mungkin dorongan keinginan dan perasaan kita mendorong untuk kita menerimanya. Tetapi, sebagai orang yang cerdas emosi dan matang, kita tidak boleh bertindak berdasarkan “pengen”, namun bertindak berdasarkan karakter apa yang ingin kita bangun dalam diri kita.

Maka, ketika kita bertekad membangun karakter “jujur” dan “berintegritas”, meskipun sebenarnya kita ingin sekali menerima suap itu, namun kita harus tetap memutuskan menolaknya. Inilah yang disebut dengan kompetensi Delay Gratification dalam Kecerdasan Emosi (EQ).

.

Tanda kematangan emosional yang ketiga adalah ketahanan terhadap tekanan. Orang yang dewasa sudah  seharusnya mampu memikul tanggung jawab lebih banyak daripada anak kecil. Dan tanggung jawab berbicara mengenai beban dan pressure.

Salah satu keluhan terbesar terhadap Gen-Y dan Gen-Z adalah kerapuhan mereka dalam menerima tekanan. Tentu saja saya tidak ingin menjadi judgemental terhadap generasi muda, namun dari sudut pandang EQ, orang yang cerdas emosi adalah orang yang bisa mengelola tekanan-tekanan dan memiliki self motivation yang tangguh.

Jika seorang dewasa mudah sekali break down hanya karena sedikit tekanan, apa bedanya dia dengan anak-anak yang dengan segera menangis dan menjerit-jerit ketika dimarahi atau ditegur?

Meski masih ada beberapa indicator EQ lainnya, namun setidaknya dengan melatih 3 hal di atas, sebenarnya kita sudah melatih meningkatkan level Kecerdasan Emosi (EQ) kita.

JOSUA IWAN WAHYUDI
Master Trainer EQ Indonesia
@josuawahyudi


MELATIH EMOSI ANAK SEJAK DINI MELALUI DONGENG

Seperti kita ketahui, anak-anak sangat menyukai cerita-cerita dongeng ataupun fiksi. Tapi tahukah Anda bahwa dongeng dan cerita anak-anak mempengaruhi dirinya hingga dewasa? Tidak heran jika Anda masih menjumpai orang dewasa yang masih menyukai super hero atau pun tokoh-tokoh dari cerita fiksi lainnya seperti cerita fairy tale yang pernah mereka ketahui. Anak perempuan yang menyukai tokoh-tokoh putri atau pun para anak laki-laki yang memimpikan dirinya sebagi tokoh jagoan yang bisa memerangi kejahatan membuat film-film yang diproduksi oleh Disney, Dreamworks, Warner Bross dan rumah produksi lainnya tidak pernah kehabisan penggemar.

Cobalah tengok isi bioskop saat pemutaran film-film seperti Captain America, The Avengers, maupun film animasi macam Tangled, Frozen, The Croods, bahkan hingga film yang sangat “khayal” seperti Transformers. Penonton yang memenuhi bioskop bukan hanya anak-anak, tapi malah lebih banyak orang dewasa (terutama yang ketika kanak-kanak pernah “berjumpa” dengan sosok-sosok di film itu melalui komik, cerita, maupun animasi kartun).

Mungkin bagi beberapa orang, dongeng hanya sekedar cerita khayalan saja tapi tidak bagi anak-anak. Kreatifitas seseorang terbentuk dari daya imajinasinya dan imajinasi itu ada di masa kanak-kanak, khususnya di usia golden age (1-5 tahun). Masa dimana setiap orang di sekeliling anak tersebut khususnya orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengan dirinya akan membentuk dan mempengaruhi cara hidup mereka di masa depan.

Tahukah Anda dongeng memiliki kekuatan yang sangat besar untuk psikologi anak dan kecerdasan emosi mereka? Anda bisa melatih kecerdasan emosi anak melalui mendongeng. Indonesia memiliki kaya akan cerita dongeng dari berbagai daerah, seperti cerita Si Kancil. Sayangnya tidak banyak diterapkan oleh orang tua di masa sekarang. Anak-anak lebih banyak disuguhi oleh media elektronik seperti tv dan video games sebagai pilihan orang tua dalam mengasuh anak saat ini. Ketidakseimbangan emosi dalam diri anak pun terjadi.

Dengan mendongeng, Anda bisa mengekspresikan emosi melalui suara-suara binatang yang ada di cerita tersebut atau suara gemuruh petir dan juga suara lainnya dengan berbagai intonasi dan tekanan. Anak-anak jadi mengenal berbagai emosi dari ekspresi suara, wajah dan gerakan Anda. Secara tidak langsung, Anda merangsang kreatifitas dan pengenalan terhadap berbagai macam ekspresi emosi.

Anda bisa menanamkan nilai-nilai yang ingin Anda wariskan untuk bekal hidup mereka di masa depan dengan memilih cerita dongeng yang sesuai. Sehingga anak-anak belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan cerita tersebut seperti kejujuran, ketekunan, hormat, dan nilai-nilai lainnya.

Kualitas waktu yang dibentuk dari budaya mendongeng akan membantu mempererat kedekatan hubungan emosional Anda dengan anak Anda. Ada masa dimana anak Anda akan sulit memberikan waktu untuk mendengarkan Anda karena dunianya sudah berubah. Sebuah penelitian menyebutkan rata-rata setiap orang mengingat peristiwa berkesan dan membekas adalah ketika di masa kecil, yaitu peristiwa yang mengandung emosi baik itu peristiwa yang menyedihkan atau pun yang menyenangkan. Dan tentunya Anda pasti menginginkan anak-anak Anda mengingat Anda melalui peristiwa yang menyenangkan bersamanya. Jadi, mulailah luangkan waktu untuk melakukan “dongeng sebelum tidur”, Anda takkan menyangka betapa dahsyat hasil dari waktu 20 menit yang Anda sisihkan untuknya… Sesuatu yang pasti takkan Anda sesali seumur hidup!


TIDAK HANYA SEKEDAR BICARA

Banyak orang yang mengira kalau mereka sudah fasih dalam berbicara, maka mereka menganggap bahwa diri mereka ahli dalam berkomunikasi.

Tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa sering berbicara dan ngobrol menunjukkan bahwa komunikasi mereka tidak ada masalah. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Komunikasi tidak melulu soal bagaimana kita berbicara, bahkan, seringkali ada banyak bentuk komunikasi yang sama sekali tidak melibatkan kata-kata dan ucapan verbal. Lalu, jika demikian, apa yang bisa kita lakukan agar kita benar-benar menjadi ahli komunikasi?

1. MENDENGAR

Saat berkomunikasi, banyak orang cenderung fokus mencoba menyampaikan apa maksud kita. Itu sebabnya banyak kasus dimana orang berlomba-lomba memotong pembicaraan. Bukan kebetulan sebuah pepatah muncul dan menjadi popular dengan pesannya, “manusia diciptakan memiliki 1 mulut dan 2 telinga supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara”.

Di dalam komunikasi ada saatnya mendengarkan dan ada saatnya berbicara. Mendengarkan di sini artinya  tidak hanya sekedar mendengar saja, tetapi menyimak. Menyimak akan memperlihatkan tanda keperdulian Anda terhadap apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Ketika Anda bertanya kepada orang lain, simaklah jawabannya. Jangan hanya perhatikan kata-kata yang mereka ucapkan, tapi juga bagaimana mereka berbicara. Ajukan pertanyaan yang menyambung pembicaraan. Perhatikan pendapat dan ide mereka. Komunikasi tanpa menyimak akan membuat komunikasi tidak berlangsung dengan baik.

Banyak kasus kesalahpahaman komunikasi dan konflik muncul bukan karena maksud yang tak tersampaikan, melainkan kita yang gagal menangkap apa maksud yang coba disampaikan orang lain.

2. MENYADARI AREA YANG LEMAH DAN MEMPERBAIKINYA

Kita perlu menyadari bahwa dengan hanya bertukar kata tidak menjamin komunikasi sudah baik. Hubungan yang harmonis sekali pun memiliki saat-saat dimana tiba-tiba komunikasi kita terasa tidak “nyambung”.

Komunikasi tidak hanya berbicara tentang apa yang ingin disampaikan, tetapi juga tahu kapan dan bagaimana menyampaikannya. Itu sebabnya, kita harus belajar mengevaluasi cara-cara kita dalam berkomunikasi, meminta feedback dari orang-orang terdekat kita, dan terbuka untuk belajar cara-cara orang lain.

Ingat, sama seperti dulu kita belajar berjalan, menulis, berhitung, menyetir mobil, dan banyak keahlian lainnya, begitu pula dengan komunikasi, kita perlu terus belajar menyempurnakan cara-cara komunikasi kita.

3. ENERGI EMOSI

Inilah faktor yang paling jarang disadari oleh kebanyakan orang. Komunikasi tidak hanya terjadi melalui apa yang terlihat, tetapi apa yang tak terlihat dari dalam diri kita juga turut berkomunikasi, yaitu energi emosional.

Sadar tak sadar, saat Anda marah, tanpa perlu mengeluarkan kata-kata dan menunjukkan dari wajah Anda, seringkali energi marah Anda bisa dirasakan oleh orang lain. Itu sebabnya, dalam berkomunikasi Anda harus menyadari energi apa yang Anda radiasikan kepada orang lain.

Banyak pemimpin mencoba memotivasi bawahannya namun ia meradiasikan energy pesimisme. Maka, meski kata-katanya adalah ucapan optimis, namun bawahannya bisa merasakan bahwa sebenarnya pemimpin mereka pesimis.

Itu sebabnya ahli komunikasi yang cerdas mampu melakukan “emotion switch”, yaitu mengubah energi emosi mereka dan mood mereka untuk mendukung isi komunikasi yang sedang mereka sampaikan kepada orang lain.

Nah, selamat berlatih kembali!


MEMBANGUN INTEGRITAS

Banyak orang mengira bahwa promosi, peningkatan karir, pertumbuhan bisnis, atau kemajuan hidup, hanya didasarkan pada kerja keras, keahlian-keahlian, dan sikap optimis. Sedikit orang yang sadar bahwa ada sebuah faktor penting yang memang tampak “kecil” namun efeknya sangat besar. Faktor tersebut bernama Integritas.

Bayangkan jika Anda memiliki bawahan yang tidak bisa dipegang kata-katanya. Bayangkan Anda berbisnis dengan orang yang bisa berubah-ubah isi janji dan perkataannya. Bayangkan jika sebuah perusahaan tidak memegang komitmen dan prinsip yang mereka publikasikan. Mungkinkah orang lain mau berhubungan lebih lanjut?

Disinilah integritas berperan penting dalam mengokohkan kaki kita di jalur kemajuan.

Bahkan, dalam banyak kasus, orang yang memiliki integritas akan lebih dipercaya daripada mereka yang hanya sekedar ahli tapi sulit dipercaya. Karena itu, cobalah lihat bagaimana “level” integritas Anda… Sudahkah Anda menerapkan 4 indikator integritas sederhana berikut ini:

1. Setia dan tidak meremehkan hal-hal kecil

Kita sering menganggap remeh keteledoran-keteledoran kecil. Kita seringkali tidak ambil pusing dengan “pengingkaran-pengingkaran” kecil. Tapi tahukah Anda? Jika Anda melakukan berulang kali dan terus menerus, tanpa Anda sadari, Anda membangun suatu kebiasaan baru yang membuat orang lain perlahan-lahan bisa melihat bahwa ternyata Anda bukan orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Bangun komitmen dan jaga konsistensi secara terus menerus untuk setia terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang Anda pegang meski mengandung resiko kehilangan kenyamanan Anda.

2. Melakukan secara konsisten apapun situasinya

Kebudayaan di sekeliling kita membangun suatu gaya hidup perasaan yang bernama “tidak enak”. Hal ini yang membuat seseorang terlihat “plin-plan” dan tidak konsisten sehingga ia kehilangan integritasnya. Belajarlah untuk mulai konsisten dalam hal-hal yang sederhana dulu. Misalnya, jika Anda sudah berkomitmen untuk tidak buang sampah sembarangan, maka meski berada di lingkungan yang semuanya membuang sampah dan Anda diminta untuk membuangkan sampah teman di jalan, berusahalah memegang komitmen Anda secara konsisten meski di situasi sulit. Disitulah karakter integritas Anda diperkuat.

3. Membangun budaya kepercayaan.

Membangun kepercayaan tentunya tidak mudah. Butuh waktu yang tidak sebentar dan perlu terus dijaga. Anda bisa mulai membantu menciptakan budaya ini di lingkungan kerja Anda. Belajarlah melakukan apa yang sudah Anda janjikan atau katakan, dan beranilah menanggung akibat dari tindakan-tindakan Anda. Banyak orang dianggap kurang berintegritas karena melempar tanggung jawab saat terjadi kesalahan.

4. Berperilaku seperti sedang diawasi

Seringkali ditemukan para pekerja di perusahaan hanya bekerja secara optimal jika ada yang mengawasi atau ada atasan. Mulai sekarang, berusahalah melakukan yang terbaik meski tidak sedang diawasi. Contoh sederhana, taatilah lampu merah meski tidak ada polisi yang mengawasi, karena disitulah integritas kita diuji. Integritas justru dipraktekkan bukan saat dilihat orang, melainkan pada saat tidak ada siapa-siapa disana.

Percayalah, orang yang memiliki integritas kuat, tak akan pernah kekurangan dukungan. Orang yang memiliki integritas, meski melewati masa sulit, akan selalu ada orang lain yang menolong dan memberi jalan padanya, karena integritas seperti nyala cahaya di tengah malam, begitu langka namun terlihat jelas oleh orang lain.


Emosi Tidak Hanya Ada Pada Manusia?

Baru-baru ini dunia mulai dihebohkan dengan berita mengenai pengembangan sebuah teknologi mutakhir di Eropa. Teknologi ini bertujuan membuat sebuah robot yang bisa memiliki emosi. Robot ini dikenal dengan istilah robot humanoid, yaitu robot yang bisa membangun ikatan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya. Uniknya, robot ini juga bisa mendeteksi emosi manusia melalui aktivitas non verbal seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah, bahkan mahir membaca perasaan orang lain meskipun komunikasi tersebut cukup panjang. Hal ini dikarenakan ‘otak’nya di desain dengan jaringan syaraf pikiran manusia sehingga mampu mengingat segala interaksi dengan banyak orang yang berbeda. Robot ini juga bisa mengalami stres atau pun marah jika ia merasa tidak nyaman dengan manusia yang berinteraksi dengannya.

Selain teknologi robot, ada juga penelitian emoticon terbaru untuk aplikasi chatting yang sedang dikembangkan di Jepang. Jika selama ini Anda mengekspresikan emosi Anda melalui simbol-simbol emoticon yang tersedia di aplikasi yang Anda gunakan, maka kini sedang dikembangkan bentuk emoticon yang berasal dari wajah Anda sendiri. Artinya, orang yang sedang berinteraksi dengan Anda akan lebih mudah membayangkan ekspresi wajah Anda, sehingga ber”texting” menjadi semakin terasa “live”.

Dapatkah Anda bayangkan betapa majunya teknologi saat ini? Emosi yang merupakan bagian kompleks dan unik dalam diri manusia berusaha “ditaruh” di sebuah benda mati dan aplikasi. Mungkin tokoh khayalan semacam Astro Boy dan Doraemon yang selama ini hanya ada di dalam kartun anak-anak sekarang, bisa-bisa segera menjadi nyata.

Kehidupan di jaman sekarang khususnya di kota-kota besar dan negara-negara maju sudah membuat manusia memiliki tingkat individualis lebih tinggi dibanding dahulu. Perubahan kehidupan yang terjadi juga mempengaruhi cara manusia berinterkasi. Interaksi manusia banyak diperbantukan (atau malah digantikan?) dengan alat dan aplikasi komunikasi. Dimana kita juga bisa mengekspresikan perasaan kita dengan emoticon yang tersedia oleh aplikasi tersebut. Tidak hanya bisa membuat orang yang jauh menjadi dekat namun juga bisa membuat orang yang dekat menjadi jauh. Bahkan tidak sedikit konflik terjadi karena kesalahan pahaman.

Saya juga sempat menyaksikan berita bagaimana kehidupan beberapa orang yang tinggal bersama dengan manekin, boneka atau pun robot untuk menemani mereka yang tinggal sendiri. Sungguh unik bagaimana posisi yang pada dasarnya diisi oleh sesama manusia tapi dipilih dan digantikan dengan benda mati.

Namun, pertanyaannya, benarkah interaksi emosional manusia bisa di”program”kan dan bahkan bisa digantikan oleh teknologi digital? Memang sulit untuk menjawab ini karena kita tak pernah tahu masa depan. 100 tahun yang lalu kita tak pernah berpikir bahwa seluruh dunia bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat, namun begitu internet muncul, jarak dan waktu seolah bukan masalah lagi.

Sejauh ini, berdasarkan pengalaman nyata dan kasus yang terjadi di lapangan, maupun hasil survey di berbagai negara dan oleh berbagai ahli, teknologi hanya bisa mempermudah dan mempercepat interaksi namun tak pernah bisa menggantikan koneksi emosional yang ada. Bahkan berbagai seminar yang menggunakan “live streaming” tetap tak bisa memiliki efek koneksi emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan seminar yang “live” dimana sang pembicara benar-benar hadir dan berhadapan langsung di lokasi.

Begitu pula, semua emoticon dan bentuk pengganti ekspresi emosi yang ada hingga hari ini, bahkan tidak mampu mewakili separuh dari perasaan dan apa yang sedang terjadi dalam hati kita. Maka, pesan dari artikel ini adalah, jangan sampai kita mencoba menggantikan hubungan dan interaksi emosional dengan teknologi.

Bagaimanapun perjumpaan langsung tetap belum bisa terwakili oleh teknologi secanggih apapun.